Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah.
"Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.
Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum.
"Tas sekolahku hilang"
"Aku yakin ini ulah Matthew"
Julian hanya diam, ia juga berpikir jika Matthew lah yang mengambil tasnya dan mebuangnya ke suatu tempat. Namun ia tak bisa melakukan apapun untuk membalas perbuatan anak itu.
Anak laki-laki berkaca mata itu memandang ke bawah dan melihat sampah yang tercecer di lantai, ia menunduk membersihkannya dan diikuti Julian.
Ketika mereka sibuk mengumpulkan sampah dengan menggunakan baju yang mereka kenakan sebagai wadah, seorang anak laki-laki berambut keriting datang.
"Julian, aku tahu di mana tas sekolahmu berada"
Julian lantas menongak dan berdiri seraya memeluk sampah yang telah terkumpul.
"Dimana?"
Anak laki-laki diam, berpikir sejenak lalu menjawab "Di gudang kosong belakang sekolah" setelah mengatakan itu, anak berambut keriting membalikkan badan dan berlari. Julian dan temannya saling menatap.
"Leo, aku titip sampah-sampah ini, aku akan ke sana mengambil tasku"
"Aku ikut!"
Mereka berdua bergegas menuju gudang kosong belakang sekolah. Dari ujung loker seorang anak bertubuh gempal menyeringai.
Setelah mereka membuang sampah-sampah kertas itu ke tong sampah, kini mereka berdiri di depan gedung kosong belakang sekolah. Julian memperhatikan bangunan tua yang sudah tak terpakai itu. Ia melangkah maju, membuka pelan pintu dan menimbulkan suara decitan karena pintu itu terbuat dari besi.
Leo mengikuti Julian dari belakang, keadaan di dalamnya lembab dan berdebu. Mereka mengitari keadaan gudang yang cukup besar, sepertinya tempat itu bekas gedung olahraga yang sudah tak terpakai dan beralih fungsi sebagai gudang kosong.
Ketika mereka melangkah semakin dalam, tiba-tiba pintu gudang tertutup. Julian dan Leo terkejut dan memutar badan menghadap pintu.
"HEI BUKA PINTUNYA!" Leo berteriak, berlari ke arah pintu.
Julian yang memiliki tubuh yang cukup gempal, sedikit lamban berlari.
"Julian, pintunya tidak bisa di buka!" Seru Leo panik.
"Siapa di luar, tolonf buka pintunya!" Teriak Julian sambil menggedor pintu dengan kuat.
Tiga puluh menit berlalu, tak ada satupun yang mendengar dan menolong mereka membukakan pintu. Napas tersengal dan tenaga mereka mulai berkutang. Keringat terus mengucur memabasahi tubuh dua anak laki-laki itu. Bangunan kosong itu gelap hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah dinding.
Julian dan Leo terduduk lemas di ambang pintu gudang yang terutup.
Udara yang lembab dan aroma pekat gudang kosong itu menyeruak. Rasa takut menyelimuti mereka.
"Julian!" Leo mencengkram lengan Julian tiba-tiba.
Laki-laki itu sontak menoleh meskpun tak bisa melihat dengan jelas, namun ia dapat menangkap wajah Leo yang mulai pucat, sebelah tangannya meremas dadanya.
Julian mulai panik "Leo! Kau baik-baik saja!?"
"Tolong aku, dadaku sesak..." suara Leo tersendat. "Asmaku kambuh dan aku...tidak...memabawa inhaler"
Napas Leo mulai berat. Suara napasnya terdengar hingga membuat Julian semakin panik.
"Leo! Bertahanlah! Aku mohon bertahanlah sedikit lagi! Aku akan berusaha membuka pintu ini!"
Julian baru akan berdiri ketika Leo mencengkram lebih kuat lengannya "Aku, aku..." napas Leo semakin berat, dadanya kembang kempis.
Julian semakin panik, dan ketika ia hendak berdiri untuk membuka pintu dan berteriak minta tolong, Leo tersungkur di pangkuannya.
Mata Julian membelalak. Ia mengguncang tubuh Leo, berharap temannya bangun.
"LEO! BERTAHANLAH! BANGUN LEO!"
***
"LEO!"
Julian terbangun, keringat membasahi pelipisnya. Mimpi buruk itu kembali lagi. Mimpi yang tak pernah berhenti menghantuinya.
Matanya menatap langit-langit kamar. Ia mengatur napasnya dan mengusap wajahnya.
Ia menutup mata dengan punggung tangannya, memejamkan mata berusaha menghilangkan mimpi buruk itu dari pikirannya.
"Kau mimpi buruk?"
Julian memiringkan kepalanya ke arah sumber suara.
Jinny yang saat itu masih terjaga karena ia sama sekali tidak bisa tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tidur di tempat asing selain kamarnya sendiri membuatnya sulit tertidur, apalagi sekarang ia berbaring di kasur seorang laki-laki.
Ketika ia berusaha memejamkan mata, teriakan Julian yang tiba-tiba membuatnya terkejut dan terpaksa harus kembali terjaga.
"Maaf, aku membuatmu terbangun" jawab Julian. Laki-laki itu bangun untuk mengambil air karena tenggorokannya terasa perih.
Jinny yang selalu menyiapkan air ketika tidur, menawarkan segelas air yang ia ambil dari dapur sebelum tidur. Saat itu Julian sudah lebih dulu terlelap, dan ia pergi ke dapur.
"Minumlah"
Julian mengangkat pandangannya dan mendapati Jinny yang sudah berada di hadapannya dan memberikan segelas air dan laki-laki itu menerimanya.
"Terima kasih" kata Julian lalu menenguk habis segelas air yang di terimanya.
Julian mengembuskan napas lepas ketika usai meneguh segelas air penuh. Ia meletakkan gelas di atas meja dekat sofa. Julian memejamkan mata sejenak dan menatap Jinny yang duduk di pinggiran kasur. Ia mengusap keringat di keningnya sebelum berkata "Kau tidak bisa tidur?"
Jinny mengangguk. Ia berusaha untuk memejamkan mata namun tetap tak berhasil. Pikirannya penuh hingga ia sulit untuk tidur.
"Aku sulit tidur jika bukan di kamarku sendiri" gumam gadis itu, memainkan jemarinya.
"Apakah perlu aku ajarkan cara agar kau bisa tidur?"
Jinny mengerjap, memikirkan cara apa yang di maksud laki-laki itu.
"Sekarang matikan lampunya" perintah Julian melemparkan pandangan ke arah lampu tidur meja dan gadis itu mengikuti arah pandangannya.
Gadis itu mengikuti arahan Julian dan mematikan lampu. Setelah itu Julian menyuruhnya untuk berbaring dan memejamkan mata.
"Sekarang kau hitung jumlah anak domba dalam hati"
Jinny memejamkan matanya lalu mengikuti kembali arahan Julian menghitung anak domba. Beberapa menit kemudian gadis itu perlahan tenggelam ke alam bawah sadar dan ia pun mulai tertidur. Julian yang duduk di sofa memperhatikannya. Setelah ia memastikan Jinny tertidur lelap ia tersenyum. Itulah cara yang ia gunakan jika sulit tidur karena terbangun dari mimpi buruknya.
Julian kembali merebahkan tubuhnya, menenggelamkan diri ke dalam selimut. Ia memandang langit-langit kamar, berusaha menghilangkan ingatan tentang mimpinya tadi. Dia menghela napas dalam kemudian memejamkan mata.
***
Pagi harinya, sinar matahari menyusup dari sela jendela. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Julian dan Jinny masih tertidur lelap, bergumal dengan mimpi masing-masing. Tiga puluh menit berlalu hingga Drian menerobos masuk ke dalam kamar berniat membangunkan Julian yang merupakan kegiatannya setiap pagi jika kakaknya itu belum bangun.
Anak laki-laki berwajah oval itu naik ke atas tempat tidur dengan senyum jahilnya dan mencoba menarik selimut. Ketika ia melihat sosok di balik selimut bukanlah sang kakak melainkan seorang perempuan, ia seketika terkejut dan berteriak.
"Mom! Ada perempuan di kamar Julian!" teriak Diran histeris hingga membangunkan Jinny juga Julian. Drian lompat dari kasur dan berlari keluar kamar.
Jinny yang masih setengah sadar melihat samar anak laki-laki melompat dari tempat tidur dan berlari keluar kamar, setelah kesadarannya terkumpul ia terbelalak kejut. Ia pun langusng bangun.
Julian yang juga terbangun mendengar teriakan Drian mengusap matanya, mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi sebelum ia membuka suara.
"Itu Drian, adikku" ucapnya dengan suara serak seraya menoleh ke arah tempat tidur. Setelah mengatakan itu ia kembali mengeratkan selimut, beberalik badan memunggungi Jinny yang masih syok. Laki-laki itu melanjutkan tidur.
Gadis itu mengusap wajahnya dan melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 9:45 pagi. Ketika akan membuka selimut dan hendak ke toilet, Nancy datang dari balik pintu yang diikuti oleh Drian yang mengekor di belakangnnya.
"Selamat pagi, Wilson, apakah tidurmu nyenyak?" sapa Nancy dan menengok ke belakang di mana Drian mengintip Jinny dari belakang tubuh Nancy.
"Selamat pagi, Nancy, sepertinya begitu" jawab Jinny ringan dan tersenyum cerah. Kemudian ia melempar pandangannya ke arah Drian yang memperhatikannya curiga.
"Hei, Drian, dia adalah teman Julian yang menginap semalam di sini" Nancy menarik tubuh Drian ke depan.
"Ini Drian anak bungsuku yang paling nakal, dan Drian itu adalah Wilson. Cepat beri salam padanya, tunjukkan jika kau anak yang baik"
Drian memberengut menatap Nancy dan wanita paruh baya itu tertawa kecil.
"Hai Drian, selamat pagi" sapa Jinny dengan tersenyum manis hingga membuat wajah Drian yang awalnya mengkerut berubah.
"Selamat pagi, Wilson" balas Drian dengan nada kaku namun tersenyum malu pada Jinny. Begitu menggemaskan.
"Aku sudah menyiapkan sarapan di bawah," kata Nancy dan melihat ke arah Julian yang masih terlelap, "Bisakah kau membangunkan Julian?"
"Aku akan membangunkannya, Mom" sahut Drian dan hendak berlari ke arah sofa namun lebih dulu di cegah oleh Nancy.
"Tidak, aku tidak ingin mendengar kehebohan kalian pagi ini"
Nancy menarik Drian keluar kamar, dan anak laki-laki itu sempat meronta karena ingin membangunkan sang kakak.
"Wilson, aku serahkan Julian padamu" ucap Nancy di sela ia menggeret Drian keluar kamar. Jinny menghela napas lega ketika kamar sudah tertutup. Ia diam dan berpikir sejenak. Apakah seperti ini keluarga yang sesungguhnya?
Gadis itu menoleh ke arah sofa di mana Julian masih tertidur pulas. Ia melepas selimut dan turun dari kasur untuk membangunkan Julian.
Hal pertama yang ia lakukan sebelum membangunkan laki-laki itu, ia menyibak gorden hingga memantulkan cahaya dan membuat matanya silau. Pagi yang cerah. Setelah itu ia beralih ke arah Julian, laki-laki itu menggumam karena pantulan cahaya matahari. Namun bukannya bangun ia malah lanjut tidur dengan menutup wajahnya dengan selimut. Jinny mendengus dan menggoyangkan tubuh Julian.
"Hei, sudah pagi, cepat bangun"
Laki-laki tak bergeming mesikpun Jinny sudah menggoyangkan tibuhnya beberapa kali. "Julian, bangunlah, ibumu sudah menyiapkan sarapan"
Tetap saja laki-laki itu tak kunjung bangun. Karena sudah kesal ia mengguncang tubuh Julian cukup keras hingga ia terkejut ketika tangan laki-laki itu menariknya sampai membuatnya terhuyung menimpa tubuh Julian.
"Drian kau—" Julian yang mengira jika itu adalah adikknya, ia terkesiap meski matanya belum bisa terbuka sepenuhnya namun ia bisa mengenali gadis yang menimpa tubuhnya adalah Jinny.
Gadis itu terkesiap ketika ia menyadari jika wajahnya berada cukup dekat dengan Julian. Tatapan mereka bertemu.
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
High dive into frozen waves where the past comes back to lifeFight fear for the selfish pain, it was worth it every timeHold still right before we crash 'cause we both know how this endsA clock ticks 'till it breaks your glass and I drown in you again'Cause you are the piece of me I wish I didn't needChasing relentlessly, still fight and I don't know whyIf our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?If our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?Julian menatap keluar jendela cafe dan mendapati Jinny terduduk mematung di tengah derasnya hujan. Matanya membulat kemudian langsung berlari ke luar menghampiri gadis itu. Ia memeluk Jinny erat.Walk on thr
Aku tenggelam padamu lagiKarena kau adalah bagian dari diriku-Julian Wheeler-***"HEI!APA YANGKALIANLAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU?CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka."Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul
Jika cinta kita adalah tragedy lalu kenapa kau adalah penyembuhku?Jika cinta kita adalah kegilaan, kenapa kau adalah kejernihan ku?-Jinny Wilson-***Alunan musik serta suara merdu dari penyanyi wanita dan pria yang membawakan laguDestinymilikJim Brickman, mengiringi langkah seorang gadis cantik, dengan balutan gaun putih, seraya tersenyum manis menatap lurus kedepan. Tampak para tamu merasakan kebahagiaan dan terhanyut dalam suasana. Gadis itu melewati lorong deretan bangku yang di penuhi para undangan menuju ke sebuah altar, dimana seorang laki-laki tampan nan gagah dengan balutan tuxedo putih menunggunya dengan senyum yang merekah.Gadis itu menyambut uluran tangan
Jinny mendongakkan kepala ke atas dan memejamkan mata menikmati sentuhan angin yang membelai lembut wajahnya. Pikiran tentang kedua orang tuanya ia singkirkan sejenak, ia hanya ingin mendengar suara nyaring kicauan burung gereja yang menari di atas sana. Ia membuka matanya ketika suara laki-laki yang ia kenal menyela diantara gemersak suara dedaunan."Hai, Jinny Wilson, maaf membuatmu menunggu lama" kata Joe yang kini sudah duduk dis amping Jinny.Gadis itu menurunkan pandangannya menghadap Joe dan menyunggikan senyum sempurna. Hanya laki-laki itu yang selalu ada untuknya, setidaknya untuk saat ini ia ingin terus bisa melihat tatapan hangat Joe. Meskipun ia tahu suatu saat nanti Joe akan menemukan cinta sejatinya pada wanita lain. Ya, itu akan terjadi jika ia hanya diam dan tidak melakukan sesuatu terhadap perasaannya pada Joe.
Gadis bermata coklat pekat dan berambut pendek sebahu itu berjalan menyusuri jalan raya menuju pertokoan. Hari itu ia pergi tanpa Joe, karena ia tidak ingin rencana yang sudah ia susun dengan rapi terbongkar. Sebenarnya Joe menawarkan diri untuk mengantarnya setelah rapat senat selasai, tapi Jinny menolak dengan halus dengan alasan ia harus membeli sesuatu yang berhubungan dengan privasi wanita, dan laki-laki tidak boleh tahu akan hal itu.Jinny sudah berada di toko serba guna, dan ia membeli beberapa barang seperti kertas lipat, lilin ulang tahun dan keperluan lainnya yang ia perlukan untuk melancarkan rencana kejutan ulang tahun untuk Joe Fernandez yang ke 21 tahun."Sepertinya sudah cukup" gumamnya setelah barang yang ia perlukan terkumpul di dalam ranjang.Well, hanya satu yang san
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.