"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"
Joe Fernandez
Joe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya.
"Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas denga baik," Joe menutup presentasi dengan tepuk tangan dari semua anggota yang menghadiri rapat "Dan kau Martin. Aku percaya kau bisa mengelola dana dengan baik"
Martin yang memang merupakan sahabat Joe sejak SMA itu mengangguk mantap. Joe tahu betul sifat temannya, jadi ia tak ragu memberikan tanggung jawab besar untuk mengatur keuangan Bazzar.
Semua anggota yang menghadiri rapat bangkit dari kursi masing-masing setelah Joe menutup rapat hari itu. Satu persatu anggota meninggalkan ruangan, hanya Joe dan Martin yang masih diam.
"Aku ingin mengundang penyanyi terkenal di Bazzar nanti" ucap Martin sembari membereskan barang-barangnya.
"Lebih baik menggunakan potensi mahasiswa untuk mengisi acara hiburan nanti," tolak Joe, melirik sekilas Martin dan merapikan proposal lalu memasukkannya ke dalam ransel, "Kita memilik club paduan suara yang baik disini, bila perlu kita membuka pendaftaran bagi mahasiswa yang ingin menampilkan bakat menyanyinya di atas panggung"
Martin menjentikkan jarinya usai mendengar usulan Joe "Itu ide yang bagus, Joe!" seru Martin dengan mata yang berbinar, "Aku akan membuat pengumuman dan memasang selebaran di mading kampus"
Joe hanya tertawa kecil melihat kelambanan temannya dalam berpikir. Martin memang tidak pernah berubah sejak kali pertama mengenalnya. Selalu lamban namun selalu melakukan hal yang membuat Joe takjub meski harus melibatkan dirinya ke dalam sebuah masalah.
"Joe apakah kaumau ikut denganku bersama Nichole ke karaoke?" tanya Martin, menoleh kearah Joe setelah ia selesai membereskan semua barangnya dan bersiap keluar ruangan.
Joe yang masih merapikan barang-barangnya menatap Martin yang sudah lebih dulu berdiri "Tidak, Martin, aku..."
"Jinny Wilson! Dia sudah menunggumu, dan kalian selalu pulang bersama, bukan?" sela Martin dengan wajah polosnya.
"Hm-hm"
"Baiklah, aku tidak ingin membuat temanku ini mengecewakan seorang wanita yang sudah setia menunggu" goda Martin serya mengerlingkan mata dan melambaikan tangan pada Joe lalu keluar meninggalkan ruangan.
Joe mengangkat alis tidak mengerti. Ia tidak paham maksud dari ekspresi wajah Martin ketika laki-laki itu menggodanya. Memang benar, bukan, jika selama ini ia selalu pulang bersama dengaan Jinny dan gadis itu setia menunggu hingga rapat senat selesai. Dan, tidak ada yang aneh dengan itu. Yah, setidaknya itu yang dipikirkan Joe, tapi tidak dengan Martin.
Ia baru saja bangkit dari duduknya ketika sebuah amplop terjatuh dari sela buku yang ia bawa. Yep, ia tahu itu amplop yang diberikan Jinny sebagai hadiah untuknya. Kemarin malam ia tidak sempat membuka dan membaca isinya di karenakan ayahnya menelpon mengabarkan keadaan kakeknya yang sedang sakit di Mexico. Percakapan melalui telepon dengan ayahnya berlangsung hingga satu jam lamanya, karena membahas beberapa hal yang sangat penting.
Laki-laki keturunan Mexico-Canada itu membuka isi amlop dan mendapati selembar kertas dan juga sebuah kerajinan tangan dari origami yang membentuk sebuah kupon.
Matanya bergerak kekiri dan kanan membaca coretan tangan Jinny. Sesekali ia tersenyum kecil membaca kata-kata yang ada dalam surat tersebut.
Dear My Lovely Friend Joe Fernandez
Selamat ulang tahun temanku, sahabat yang paling berharga bagiku. Maaf aku bukan orang yang mudah mengutarakan apa yang aku rasakan secara langsung. Aku memutuskan untuk menulis surat ini dan menjadikannya sebagai hadiah ulang tahunmu, dan aku harap kau menerimanya. Aku ingin mengatakan, jangan berjalan di belakangku, mungkin aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak mampu mengikutimu. Berjalanlah di sisiku dan jadilah sahabatku. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik, terima kasih kau sudah menjagaku, menerimaku apa adanya dari segala kekurangan yang aku miliki. Mungkin suatu saat nanti kau akan menemukan seseorang yang akan mendampingi hidupmu. Di saat itu juga aku berharap kau tidak melupakanku.
Jangan lupa untuk bahagia :)
***
"Hai, boleh aku duduk di sini?" tanya Joe yang saat itu sedang mencari tempat duduk karena semua kursi sudah penuh.
Jinny mengangkat pandangannya menatap Joe yang sedang membawa nampan berisi makanan. Ia menoleh ke sekeliling dan melihat semua kursi sudah terisi penuh. Jinny mengangguk ragu tanpa suara.
Joe tersenyum dan meletakkan nampan di atas meja, ia kemudian duduk di seberang Jinny yang sedang menyantap makanannya.
"Kau Jinny Wilson, bukan?"
Baru saja Jinny akan memakan suapan selanjutnya, tangannya terhenti di udara. Ia terdiam, menatap ragu Joe yang sedang menunggu jawaban seraya mengunyah makan siangnya. Jinny hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Aku Joe Fernandez," ucap Joe memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan ke arah Jinny "Aku duduk di belakangmu, aku harap kita bisa berteman"
Gadis itu tertegun menatap tangan Joe, ia menelan makanannya lalu beralih memandang Joe yang duduk diseberang. Ia bingung apakah harus menjabat tangan laki-laki itu atau tidak. Setelah berpikir beberapa detik, dengan ragu ia menjabat tangan Joe.
Joe tersenyum dan melanjutkan menyantap makan siangnya tanpa bertanya lebih lanjut mengingat mereka baru saling mengenal.
Satu minggu setelah perkenalan tersebut Joe selalu menghampiri Jinny. Laki-laki itu selalu memperhatikan Jinny yang selalu menyendiri tanpa mencoba bersosialiasi dengan teman perempuan lainnya. Jinny seakan menutup dirinya dan tenggelam dengan dunianya sendiri. Tiap Joe mengajak berbicara, gadis itu hanya membalasnya dengan seadanya.
"Kaumau ikut denganku ke festival akhir pekan ini?" tanya Joe ketika ia dan Jinny hanya berdua di kelas setelah pelajaran usai.
"Aku...Maaf, aku..."
"Aku akan menunggumu jam enam sore di sekolah, kau harus datang!" sela Joe cepat tanpa menunggu jawaban Jinny. Karena itu pasti tahu bahwa gadis itu akan menolak ajakannya untuk kesekian kalinya.
Jinny mengangkat alis bingung, dan baru saja ia akan mengeluarkan suara laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelas. Ia hanya diam memandangi punggung Joe yang semakin menjauh dan menghilang dari balik pintu.
***
Jinny terus melihat jam dinding kamarnya, pukul 17:50. Sepuluh menit yang tersisa untuknya bersiap untuk berangkat ke sekolah menemui Joe, namun semakin ia melihat jam, semakin ia ragu untuk datang. Jinny pun melanjutkan membaca buku diatas tempat tidur. Mungkin laki-laki itu hanya mengerjainya saja, dan setelah ia datang ke sekolah dia tidak ada di sana. Begitu pikirnya. Ia sudah hafal betul jika seseorang akan mengerjainya, itu sudah menjadi makanan sehari-harinya ketika SMP dulu.
Tiga puluh menit berjalan gadis itu masih tetap membaca buku hingga satu jam berlalu, ia tak beranjak dari posisinya. Ada rasa khawatir dalam hatinya, ia menutup buku dan menoleh kearah jam dinding, suah pukul depalan malam. Rasa cemas terus melandanya, ia mengembuskan nafas gusar kemudian turun dari tempat tidur dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu lalu melangkah keluar kamar. Ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya harus pergi ke sekolah yang bahkan ia sendiripun tak tahu apakah laki-laki itu benar menunggunya disana.
Ingin lebih cepat sampai, ia berlari setelah turun dari bus. Malam itu ia hanya mengenakan jaket dan jins serta sneaker, karena ia merasa tidak perlu mengenakan dress dan highheels. Itu sangat berlebihan.
Napasnya terengah ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah yang terutup rapat. Matanya melihat sosok laki-laki yang sedang berdiri disana. Yep! Joe ternyata benar-benar menunggunya dan menepis segala pikiran buruknya selama ini pada laki-laki itu. Jinny melangkah pelan seraya mengatur napas.
Joe mengangakat pandangannya setelah Jinny berdiri tepat di hadapannya, ia tersenyum.
"Akhirnya kau datang, Jinny"
"Kenapa kau menungguku? Aku bahkan tidak mengiyakan ajakanmu waktu itu"
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"
Jinny mengerjap dan melempar pandangan tanpa arah. Apa yang dikatakan Joe benar, kenapa ia datang jika menolak ajakan laki-laki itu. Entahlah, Jinny sendiripun tak tahu jawabannya. Ia hanya mengikuti pikirannya saja.
***
Joe mengerjap ketiak ponselnya berdering, ia tersadar dari lamuannya tentang masa SMA dan pertemuan pertamanya dengan Jinny saat itu. Ia mengembuskan napas dan melihat nama yang tertera di layar, ibunya menelpon.
"Oke, Mom, aku akan segera kesana" ucap Joe dan menutup sambungan telepon. Ia melangkah lebar menyusuri koridor menuju danau belakang kampus untuk menemui Jinny yang sudah menunggunya.
Satu jam sebelum Joe datang, Jinny tampak bosan membolak balikkan halaman demi halaman buku yang ia baca. Ia mengembuskan napas seraya menelisik jam tangannya. Sudah pukul lima sore, langitpun sudah semakin gelap, dan Joe belum juga selesai. Sudah dua jam ia menunggu laki-laki itu disana.
Seseorang menepuk pundak Jinny pelan, berpikir jika orang itu adalah Joe ia bersemangat menengok dengan tersenyum sempurna. Namun seketika raut wajahnya berubah saat melihat orang itu bukanlah Joe melainkan Julian.
"Oh, hai, Julian" Jinny menyapa dengan canggung.
Julian hanya tersenyum dan duduk di samping Jinny.
"Selama ini aku hanya duduk di tanggga sana," kata Julian, mengarahkan jempolnya ke belakang tepat anak tangga yang ada tak jauh dari danau "Aku pikir orang lain yang selalu duduk di bangku ini"
"Benarkah?" tanya Jinny terkejut.
Julian mengangkat bahu "Yep, karena aku juga selalu menghabiskan waktuku sebelum jam part timeku tiba disini" Julian terkekeh. Jinny tersenyum dan melemparkan pandangannya ke arah danau.
"Sungguh kebetulan yang mengejutkan"
"Kau sedang menunggu seseorang?"
"Yah, aku selalu menunggu Joe di sini"
Julian hanya mengangguk sembari memandang ke arah yang sama. Meskipun langit sudah gelap namun danau itu tampak indah karena dihiasai dengan lampu-lampu yang ada disekeliling danau. Tidak salah setiap mahasiswa yang ingin bersantai setelah padatnya jadwal kuliah memilih tempat itu, tak terkecuali Julian dan Jinny. Namun sore itu hanya ada mereka berdua, tak ada mahsiswa lain. Mereka lebih memilih untuk pulang kerumah menghangatkan diri dari cuaca dingin bulan desember.
"Apakah kau tahu cerita yang beredar mengenai danau ini?"
Jinny menoleh, menatap Julian dengan bingung "Cerita apa?"
Julian seketika memasang wajah serius sebelum memulai cerita "Dulu sebelum kampus ini ramai, ada seorang gadis berambut panjang sering menyendiri disini hingga larut malam"
Laki-laki itu menjeda ceritanya dan melirik kearah Jinny yang kini menatapnya dengan wajah yang serius. Ia tersenyum tipis lalu melanjutkan bercerita.
"Gadis itu mengalami sakit mental karena putus cinta dengan pacarnya. Dia selalu menangis sembari memandangi photo matan kekasihnya, pada suatu hari gadis itu sudah tidak taha dan memutuskan lompat ke danau"
Jinny menahan napas mendengarnya, rasa takut menjalar dalam pikirannya. Ia tidak merasakan apapun selama ia duduk sendiri disana.
"Dan banyak yang mengatakan bahwa gadis itu menjadi hantu penasaran dan sering mengganggu..."
Julian menghentikan ceritanya ketika menyadari Jinny yang kini melingsut mendekatinya. Gadis itu ketakutan mendengar cerita Julian.
"Apakah kau percaya dengan ceritaku?"
Jinny mengangkat alisnya bingung, ia tidak mengerti dengan pertanyaan laki-laki itu yang sudah jelas dari nada bicaranya saja sangat meyakinkan dan mampu membuatnya merinding.
"Maksudmu, cerita yang kau sampaikan tadi bohong?" tanya balik Jinny polos.
Julian tertawa melihat ekspresi wajah Jinny. Sementara Jinny yang merasa dibohongi melayangkan tinjuan ke lengan laki-laki itu.
"Kau benar-benar menyebalkan, Julian"
Julian menahan tangan Jinny yang akan melayangkan pukulan kearahnya seraya tertawa puas.
***
Joe baru akan menghampiri Jinny ketika ia melihat gadis itu sedang bersama dengan orang lain. Matanya menyipit memastikan laki-laki yang sedang bersama Jinny. Bersamaan dengan rasa penasaran dengan sosok lelaki itu, seorang gadis yang juga baru tiba memandangi Julian dan Jinny yang sedang bersenda gurau dengan tatapan nanar. Jane mengeratkan tangannya pada buku yang ia bawa.
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
High dive into frozen waves where the past comes back to lifeFight fear for the selfish pain, it was worth it every timeHold still right before we crash 'cause we both know how this endsA clock ticks 'till it breaks your glass and I drown in you again'Cause you are the piece of me I wish I didn't needChasing relentlessly, still fight and I don't know whyIf our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?If our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?Julian menatap keluar jendela cafe dan mendapati Jinny terduduk mematung di tengah derasnya hujan. Matanya membulat kemudian langsung berlari ke luar menghampiri gadis itu. Ia memeluk Jinny erat.Walk on thr
Aku tenggelam padamu lagiKarena kau adalah bagian dari diriku-Julian Wheeler-***"HEI!APA YANGKALIANLAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU?CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka."Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.