Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin.
Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. Apakah Joe akan suka masakan buatannya atau tidak. Maksudnya apakah hasilnya akan enak atau malah sebaliknya. Ia menata Tourtiere itu di atas loyang yang sudah ia siapakan di atas meja. Matanya berbinar melihat hasil buatannya yang hampir sembilan puluh persen mirip dengan yang ada di dalam resep.
Ia melirik jam tangannya, pukul tujuh malam. Sebentar lagi Joe akan datang, karena tadi siang ia menelpon Joe memintanya datang. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban dari Joe, karena sudah bisa di pastikan laki-laki itu bersedia datang jika ia sudah merajuk.
Ia kan melepeaskan celemek motif polkadotnya kertika suara bel berbunyi. Dengan cepat ia memeberskan dan menata makanan juga kue yang sebenarnya sudah ia tata sebelumnya. Tapi karena ini adalah kejutan untuk seorang yang berarti baginya, maka ia harus melakukannya dengan sempurna.Saat suara bel ketiga berbunyi ia langsung berlari ke arah pintu. Ketika ia sudah sampai di depan pintu, Jinny merapikan pakaian dan rambutnya agar ia terlihat rapi meski ia sendiri tidak memoles wajahnya dengan berlebihan. Setelah dirasa sudah siap ia membuka knop pintu, dan hembusan angin dingin menerpa wajahnya.
"Hai, Joe, selamat datang"
Jinny menyambut kedatangan Joe dengan senyum yang cerah.
"Kau tampak berbeda hari ini" kata Joe seraya masuk ke dalam, melangkah menuju ruang tengah dan membuka jaket lalu menyampirkannya di punggung sofa. Jinny mengikutinya dari belakang.
"Kau duduk di sini, aku akan mengambil sesuatu di kamar"
Joe mengangkat alisnya, melihat Jinny yang melimpir masuk ke kamar. Ia mengangkat bahu sambil lalu dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia tak tahu apa maksud Jinny menyuruhnya datang. Namun sepertinya ia tahu tujuan gadis itu, ketika ekor matanya tak sengaja menangkap sesuatu di meja makan yang tak jauh dari ruang tengah. Ia tersenyum kecil setelah melihat dengan jelas ada kue tersaji di atas sana.
"Aku akan memakaikan penutup mata ini padamu"
Jinny sudah keluar dari kamarnya, Joe berdehem dan pura-pura tidak melihat apa-apa. Laki-laki itu memperhatikan Jinny yang akan memakaikan penutup mata padanya."Untuk apa kau menutup mataku, Jinny?" tanya Joe pura-pura tidak tahu maksud gadis itu.Jinny tidak menjawab, ia menuntun tubuh laki-laki itu ke arah meja makan. Joe melangkah pelan mengikuti arahan Jinny.Sesampainya di meja makan Jinny menarik kursi dan menuntun Joe untuk duduk. Gadis itu kemudian mengembuskan napas sebelum membuka penutup mata itu. Ia berharap Joe akan menyukai kejutan yang ia berikan malam ini.
"Sekarang aku akan membuka penutup matanya"
Saat penutup mata sudah di buka, Joe mengangkat alis melihat hidangan yang tersaji di depannya. Ada kue ulang dengan lilin yang sudah menyala. Ia tersenyum lebar kemudian menatap Jinny yang masih berdiri di sampingnya.
"Happy Birthday, Joe Fernandez" ucap Jinny dengan lembut. Ia tersenyum dan berjalan mengitari meja lalu duduk di seberang kursi laki-laki itu.
"Terima kasih, Jinny, aku tidak menyangka kau menyiapkan semua ini untukku"
"Tentu saja aku harus menyiapkan kejutan ini untuk sahabat terbaikku, Joe Fernandez"
"Sebelum kau meniup lilinnya, kau harus berdoa dan meminta sebuah harapan di hari ulang tahunmu ini"
Jinny menyilangkan tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia memperhatikan Joe yang mencangkupkan tangan, memejamkan mata dan berdoa. Beberapa detik kemudian ia membuka matanya dan meniup lilin ulang tahunnya.
Gadis itu menatap dalam Joe yang tampak senang atas kejutan yang ia berikan. Ia berharap ada namanya di dalam doa laki-laki itu.
"Aku senang dengan apa yang sudah kau berikan padaku, maksudku kejutan ulang tahun ini membuatku sangat bahagia" gumam Joe dengan suara beratnya. Kilatan mata laki-laki itu menggambarkan betapa ia bahagia di hari ulang tahunnya kali ini. Bukan karena ini kali pertama ia mendapatkan kejutan dari Jinny, namun ini sangat berbeda dari sebelumnya. Entah apa yang membuatnya berbeda dari sebelumnya.
"Apakah ada kado spesial untukku?"
"Tentu saja, aku sudah menyiapkannya untukmu"
Jinny mengambil sesuatu dari balik kursinya. Joe menunggu apa yang akan di berikan gadis itu padanya.
Gadis itu mengeluarkan sebuah amplop berwana biru muda. Jinny menyerahkan amplop itu pada Joe. Laki-laki itu menerimanya dan akan membukanya, ketika Jinny melaranganya.
"Lebih baik kau membukanya nanti ketika pulang," seru Jinny, melarang laki-laki itu membukanya.
"Baiklah jika itu yang kau inginkan, aku akan membukanya nanti ketika pulang,"
Jinny mengembuskan napas lega, setidaknya ia tidak harus mendengar komentar Joe tentang hadiah yang hanya berupa amplop kecil.
"Kau tidak tanya, kenapa aku hanya memberikanmu hadiah beruap amplop saja?"
Joe menyilangkan tangannya di atas meja dan memajukan tubuhnya, "Apapun yang kau berikan padaku, itu sudah lebih dari cukup. Sekecil apapun yang kau berikan, itu sangat istimewa bagiku"
Medengar kata-kata manis itu membuat wajah Jinny memerah, Joe membuatnya salah tingkah sekarang. Memang ucapan manis laki-laki bisa membuat gadis manapun tersipu mendengarnya.
Acara kejutan malam itu di lanjutkan dengan acara potong kue dan setelah itu menyantap hidangan lainnya, terutama Tourtiere buatan Jinny mendapatkan pujian dari Joe. Akhirnya ia bisa membuktikan bahwa ia juga bisa memasak walaupun ia tidak suka bergumal dengan dapur. Setelah makan-makan mereka kemudian berbincang dan tertawa. Yep, Jinny juga tidak lupa menceritakan kejadian yang menimpanya kemarin malam, hingga awal mula ia berkenalan dengan Julian.
Joe tampak terkejut mendengar cerita tentang Jinny yang hampirdi perkosa oleh pemabuk waktu itu. Jika Julian tidak datang, maka sudah di pastikan Jinny mungkin tidak bisa tertawa bahagia sekarang dan bisa memberikan kejutan ulah tahun untuk Joe.
Pembicaraan beralih mengenai toko kue yang ternyata adalah milik ibu Julian. Jinny sangat bersemangat menceritakan semuanya dan Joe dengan antusias mendengar setiap cerita gadis itu.
***
Laki-laki berwajah khas asia dengan rambut lurus tebal berwarna coklat gelap, melenggang lebar melewati kerumunan kampus pagi itu, matanya hanya fokus menatap kedepan tanpa peduli dengan sekelompok mahasiswa yang asik bersenda gurau dengan sesama temannya, atau sekumpulan mahasiswi yang sedang bergosip ria tentang selebritis dan membincangkan soal fashion masa kini. Selama hampir dua tahun ia mengenyam pendidikan di salah satu universitas terbaik di kota Edmonton Canada, tak sekalipun ada ketertarikan dalam dirinya untuk masuk ke dalam perkumpulan organisasi apapun di kampus kecuali club sepak bola yang memang menjadi hobinya sejak kecil.
Bahkan ia juga tidak tertarik akan kegiatan kampus yang sedang menjadi headline—bazzar awal tahun—yang menjadi kegiatan rutin yang di adakan universitas tersebut. Baginya itu sangatlah tidak penting, ia lebih suka untuk menghabiskan waktunya bekerja paruh waktu dan menghasilkan uang dari dari pada...
"Hai, Bro!"
Paul menepuk pundak Julian, membuat laki-laki itu terhempas dari pemikirannya dan kembali kedunia nyata. Yep, hanya Paul yang bisa masuk menjadi sahabatnya. Karena menurutnya laki-laki berambut ikal yang kini sedang merangkulnya itu memiliki karakter dan kepribadian yang sama dengan sahabat baiknya—Leonardo Walker—8 tahun yang lalu. Pecicilan dan juga menyenangkan, meskipun tak jarang Julian selalu mendapatkan imbas dari hasil kelakuan aneh Paul yang selalu menggoda gadis SMA.
"Aku ada kabar gembira untukmu, apakah kau ingin mendengarnya?"
Julian tidak menjawab, hanya melirik Paul sekilas dengan tersenyum kecil seraya menggeleng pelan. Dia tahu kabar gembira apa yang di maksud oleh Paul.
"Oke, kau tahu Maria Khiel? Gadis yang menjadi incaranku selama ini" pungkasnya antusis "Aku mendapatkan nomor ponselnya tadi malam dari seorang teman yang ternyata adiknya merupakan teman sekelasnya"
Mereka berdua kini sudah memasuki koridor menuju kelas, pagi itu Julian dan Paul akan mengikuti mata kuliah pemograman. Saat itu koridor lengang hanya di lewati satu dua orang saja, mengingat jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Sedangkan perkuliahan di mulai pukul sembilan pagi. Julian memang selalu datang lebih awal, karena ia tidak suka jika harus menjadi perhatian orang-orang ketika masuk kelas.
"Itu bukan kabar gembira untukku, melainkan kabar gembira untukmu sendiri"
"Tentu saja itu juga kabar baik untukmu, Julian. Karena dengan aku mendapatkan nomor ponsel Maria, kau bisa aku kenalkan ke teman wanitanya yang lain"
"Tidak, terima kasih, Paul. Aku tidak tertarik dengan..."
Ucapan Julian terpotong karena seorang gadis menabrak tubuhnya dari depan ketika ia dan Paul hendak masuk ke kelas. Gadis itu terhuyung ke belakang, dan Julian langsung menahan lengan gadis berkacamata yang hampir tersungkur ke lantai.
"Hei, kau tidak apa-apa?" Pekik Julian.
Paul yang berada di samping Julian mengangkat alisnya terkejut dengan kejadian yang beralangsung secara tiba-tiba.
"Apakah tubuhmu tertanam magnet? Kau selalu berbenturan dengan para gadis" gumam Paul. Ia mengingat kejadian saat Julian dan Jinny di kantin beberapa hari yang lalu.
"Maaf, aku tidak melihatmu, aku buru-buru karena ingin ke toilet" gadis itu menjawab dengan cepat dan gugup.Julian melepas lengan gadis itu. Ia memandang kebawah dan melihat sebuah bolpoint, dan Julian mengambilnya.
"Ini milikmu, Jane" kata Julian, mengacungkan bolponit milik gadis itu.
Gadis bernama lengkap Jane Nelson itu mengerjap, ia gugup dan langsung mengambil bolpoint dari tangan Julian."Terima kasih, maaf aku harus pergi sekarang, permisi"
Julian dan Paul menyingkir dan memberikan jalan untuk Jane. Gadis itu dengan langkah cepat melewati Julian dan Paul. Jane mengatupkan kedua tangannya seraya menggenggam erat bolpointnya didepan dada.
"Kau tidak merasa kalau dia aneh?" celetuk Paul ketika mereka berjalan menuju kursi bagian belakang.
"Tidak" jawab Julian singat seraya melepaskan ransel dan meletakkannya diatas meja.
Paul menggiring kursi dan langsung mendudukinya, laki-laki itu memasang wajah serius dan menatap Julian yang duduk di sebelah kursinya."Sepertinya dia menyukaimu, terlihat dari sikapnya yang selalu salah tingkah dan gugup jika berbicara denganmu"
Julian terkekeh kecil mendengar perkataan Paul yang seperti lelucon baginya.
"Lebih baik kau fokus untuk mata kuliah hari ini, Paul. Jangan sampai kau salah membedakan DOS dan DDOS," Julian mengejek Paul karena selalu salah membedakan dua istilah tersebut "Karena kau lebih handal dalam memperhatikan sikap wanita"
Paul mendecakkan lidah gemas dengan sikap acuh temannya "Ayolah, kau ini tampan, tidak heran banyak gadis menyukaimu, kawan," Paul memajukan tubuhnya kearah kursi Julian.
"Sampai kapan kau acuh dengan wanita? Orang-orang akan mengira kita pasangan gay"
Paul mengusap wajahnya frustasi ketika mengatakan 'gay'. Selama ini ia dan Julian selalu bersama kemanapun mereka pergi, dan teman sekelasnya pun tahu kalau mereka adalah sahabat bagaikan kepompong. Dan itu yang membuat Paul berpikiran jika orang lain mengira mereka adalah pasangan 'gay'.
Julian mengibaskan tangannya "Sudah, sudah, lebih baik kau simpan pikiran burukmu itu, aku masih normal," Julian menjelaskan "Aku belum ingin menjalin sebuah hubungan dengan wanita manapun"
Yep, karena ia masih dibayangi oleh perlakuan ayahnya pada ibunya.
Paul mengangangkat bahu, menyerah dengan dinginnya hati Julian.
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
High dive into frozen waves where the past comes back to lifeFight fear for the selfish pain, it was worth it every timeHold still right before we crash 'cause we both know how this endsA clock ticks 'till it breaks your glass and I drown in you again'Cause you are the piece of me I wish I didn't needChasing relentlessly, still fight and I don't know whyIf our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?If our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?Julian menatap keluar jendela cafe dan mendapati Jinny terduduk mematung di tengah derasnya hujan. Matanya membulat kemudian langsung berlari ke luar menghampiri gadis itu. Ia memeluk Jinny erat.Walk on thr
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.