Home / Romansa / Clarity / 08. Iri

Share

08. Iri

Author: onDubu SHine
last update Last Updated: 2021-02-18 11:51:56

"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"

Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny.

"Akhirnya, kau datang juga"

"Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"

Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah.

"Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.

Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disampingnya. "Terima kasih sudah menemaniku, Julian" kata Jinny

"Sama-sama, senang bisa berbincang denganmu" balas Julian ringan, mengangkat bahu.

"Baiklah, selamat malam Julian"

Julian menangguk, tersenyum. Baru saja Julian akan mengenakan ranselnya, Jinny tiba-tiba memabalikkan badan sambil berjalan mundur sambil berkata "Oh ya, terima kasih atas cerita horrormu hari ini, Julian" gadis itu tersenyum lebar lalu membalikkan badan.

Julian tertawa kecil, memandang punggung keduanya yang terus menjauh dari pandangannya. Tepat saat itu juga pandangan matanya menangkap sosok seorang gadis yang berdiri di anak tangga sedang memperhatikannya. Gadis itu terkesiap ketika tatapan mereka bertemu. Ia dengan cepat memalingkan wajah dan berlari meninggalkan tempat itu.

Julian mengernyit, meskipun langit sudah gelap namun ia dapat melihat wajah gadis itu. Yep, Jane Nelson sedang memperhatikannya.

"Bukankah itu Jane?" gumam Julian, mengangkat bahu sambil lalu. Laki-laki itu tidak ingin ambil pusing karena ia harus segera pergi dari sana, jika tidak ia akan terlambat untuk part time.

***

Siang itu Jinny hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam tiga hari yang lalu. Ia berjalan dengan sedikit menunduk ketika melewati koridor yang saat itu di dominasi siswa laki-laki. Ia ingin cepat melewati kerumunan, ketika salah seorang dari mereka tidak melihat Jinny berjalan dibelakangnya. Kessie yang saat itu sedang berbincang dengan teman laki-laki nya menubruk Jinny dibelakangnya.

Jinny terhempas dan hampir menabrak tembok di sampingnya. Kessie tersentak dan menengok kebelakang. Bukannya meminta maaf gadis itu malah mendorong kembali Jinny hingga membentur tembok. Jinny meringis sementara buku yang dibawanya terjatuh.

"Aduh! Kalau jalan lihat-lihat, kau punya mata, kan!?"

Sementara teman laki-lakinya terkejut namun tidak melakukan apapun.

Jinny menegakkan tubuhnya, menatap Kessie ragu. "Maaf, aku tidak sengaja, lagipula kau yang menabrakku lebih dulu" Jinny membela diri dengan suara terbata-bata.

"Apa!? Kau menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang tidak melihat jalan, makanya kalau jalan itu jangan menunduk!"

Baru saja Jinny akan membuka suara, seseorang menginterupsi dari ujung koridor. "Dia tidak salah!"

Sontak, semua mengarah ke sumber suara. Kessie menyipitkan mata melihat sosok kini berjalan mendekat. Ia memutar bola matanya seraya mendengus. Siapalagi orang ini? Ia tidak pernah melihat orang itu sebelumnya.

"Aku lihat kau yang tidak melihat jalan ketika sedang bercanda dengan temanmu, hingga menabraknya," kata orang itu yang ternyata Jane Nelson seraya menunjuk Jinny, "Seharusnya kau yang minta maaf, bukan malah menyalahkannya"

"Kau siapa? Kau bukan dari fakultas bisnis, bukan?"

"Aku Jane dari fakultas Teknik Komputer"

Kessie mendecakkan lidah seraya mencibir lalu pergi, diikuti oleh teman laki-lakinya tadi.

Jane menatap Kessie yang berlalu pergi, kemudian beralih menatap Jinny yang sedari tadi hanya diam. Ia tersenyum kecil dan dengan canggung ia membuka suara. "Ma, maaf, aku kebetulan lewat dan melihatnya"

"Oh, Tidak, kau tidak perlu minta maaf, aku sangat berterima kasih padamu" sergah Jinny cepat "Dia memang selalu seperti itu padaku"

"Namaku Jinny Wilson, kau bisa memanggilku Jinny"

Jane menatap ragu uluran tangan Jinny. Namun setelah berpikir sejenak ia menyambut uluran tangan Jinny dengan tersenyum kecil.

"Aku Jane Nelson"

"Hai, Jane senang berkenalan denganmu"

"I, iya aku juga...apakah kau berteman dengan Julian?"

Jinny mengangkat alis, berpikir sejenak lalu tersenyum dan berkata "Ya, aku berteman dengannya"

"Kenapa? Apakah kau mengenal Julian?"

"Te, tentu aku teman sekelasnya, aku beberapa kali melihatmu bersama dengannya"

"Oh, ya? Aku senang mendengarnya. Dan aku dan Julian hanya kebetulan saja bertemu disaat yang tak terduga"

Jane tersenyum samar, ia menatap Jinny dengan tatapan yang hanya dimengerti oleh sesama wanita. Seakan ia tak rela miliknya dekat dengan orang lain.

***

Tahun pertama masuk universitas, Jane Nelson sangat sulit membaur dengan mahasiswa lain termasuk teman sekelasnya. Ia memang tidak pandai bergaul sejak duduk di bangku sekolah dasar. Mendapatkan satu teman saja ia sudah sangat senang, apaalgi masuk ke dalam group populer disekolah, ia tak pernah membayangkan itu. Sekedar menyapa teman sebangku saja, tatapan aneh ditujukan padanya. Orang-orang memandangnya bagaikan larva menjijikan.

Jane memandang sekeliling kelas, semua mahasiswa sudah menentukan kelompoknya masing-masing. Hanya dia yang tidak mendapatkan tawaran untuk bergabung kedalam kelompok. Disisi lain ia mengutuk tugas yang mengharuskannya mencari kelompok. Sejak dulu ia memang selalu terasingkan dengan yang lain.

Ia hanya menunduk meratapi nasib, padahal jika dibandingakan dengan murid lain, nilai akademisnya cukup baik. Namun hanya karena ia tidak memiliki penampilan menarik, semua orang abai akan keberadaannya.

"Hai, kau mau bergabung bersama kami?"

Jane terperanjat, ia mengerjap ketika seseorang menawarkannya untuk bergabung. Ini sungguh seperti mimpi. Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang sosok laki-laki yang mengadap dirinya. Yep, Julian yang duduk didepannya menawarkan untuk bergabung.

"Kami hanya berdua dan kekurangan satu orang anggota" kata Julian, menunjuk Paul yang duduk disampingnya dengan ibu jari.

Paul menatap aneh Julian yang lebih memilih Jane bergabung kedalam kelompok mereka. Namun jika dilihat lagi, semua orang sudah mendapatkan kelompoknya dengan jumlah anggota yang pas. Sementara mereka hanya berdua, yang seharusnya satu kelompok tiga orang. Ia hanya mengembuskan napas pasrah, mengajak Jane bergabung bukan hal yang buruk.

Jane berpikir sejenak, lalu menerima tawaran Julian dengan senyum antusias. Sejak saat itulah ia merasa ada orang yang melihatnya sebagai manusia bukan lagi sebagai kuman menjijikan.

Setelah bergabungnya ia bersama Julian, ia merasa jika laki-laki itu sangat baik padanya. Tidak sedikitpun ia merasa terasingkan dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti yang selama ia terima dari orang-orang. Dan sejak saat itulah ia merasa jika Julian merupakan orang sangat spesial baginya.

"Hei, Jane, kau tadak apa-apa?" Jinny mengibaskan tangannya di depan wajah Jane yang tiba-tiba melamun menatapnya.

Jane mengerjap dan tersenyum kaku. "Ti, tidak, aku tidak apa-apa"

"Benarkah?" Jinny meragukan jawaban Jane. Pasalanya Jane menatapnya lekat seakan ia melakukan kesalahan fatal hingga membuat gadis itu seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Maaf, aku harus ke ruang administrasi"

Jane melewati Jinny dan melangkahkan kaki lebar menuju ruang administrasi yang ada di lantai satu. Jinny hanya menatapnya bingung, dan mengangkat bahunya sambil lalu. Sepertinya ada yang lebih aneh dari dirinya. Bahkan mungkin lebih aneh. Entahlah.

***

Dua hari setelah pertemuan pertamanya dengan Jinny, Jane selalu memperhatikan Julian dan mengikuti kemanapun laki-laki itu pergi. Bukan bermaksud untuk menguntit, hanya memastikan bahwa Julian dan Jinny hanya sebatas teman biasa saja, tidak seperti apa yang dipikirkannya. Ia selalu menutupi wajahnya agar laki-laki itu tidak menaruh curiga terhadapnya.

Seharian ia mengikuti Julian, mulai dari ke kantin, ke perpustakaan, ke ruang club sepak bola bahkan hampir memasuki toilet pria, tak sekalipun ia melihat Julian bertemu dengan Jinny. Yep, itu yang diharapkannya. Baru saja ia akan mengembuskan napas lega, setelah hampir seharian hingga mata kuliah selesai, Julian hanya bersama Paul, matanya menyipit ketika Julian menghampiri seorang gadis yang sedang duduk dikursi tepi danau.

Gadis itu yang dihampiri Julian adalah Jinny, pundaknya melingsut turun. Pikiran jika Julian menyukai Jinny menguasai otaknya. Ia tidak bisa menepis hal negatidf yang membuat hatinya gusar. Tatapan matanya berubah dingin saat melihat laki-laki yang ia sukai tertawa bersama gadis lain. Tangannya mengepal menahan hatinya sedang gelisah.

Tidak hanya hari itu saja ia melihat kebersamaan Julian dan Jinny, dihari berikutnya iapun melihat keduanya tampak akrab ketika bertemu dikantin. Apakah laki-laki itu menyukai Jinny? Bagaimana caranya mencuri perhatian Julian dari gadis itu?

Matanya menyipit saat melihat seorang laki-laki menghampiri meja Julian dan Jinny. Bukan Paul melainkan Joe, ia tahu siapa orang itu. Tak ada seorangpun yang tidak mengenal Joe Fernandez yang merupakan ketua senat kampus. Laki-laki itu menyapa dengan tersenyum sempurna.

Ia mengembuskan napas dalam. Betapa beruntungnya Jinny dikelilingi oleh laki-laki tampan seperti mereka. Rasa cemburu merasuki pikirannya, jika saja ia secantik gadis itu, maka semua orang akan menagntri berteman dengannya. Dan juga akan sangat mudah mendapatkan perhatian para lelaki tampan.

*** 

Related chapters

  • Clarity   09. Ikut denganmu

    Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me

    Last Updated : 2021-02-18
  • Clarity   10. Menginap

    Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat

    Last Updated : 2021-02-18
  • Clarity   11. Mimpi buruk

    Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"

    Last Updated : 2021-02-20
  • Clarity   12. Rasa sakit

    Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.

    Last Updated : 2021-02-23
  • Clarity   13. Babak belur dan gosip

    Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah

    Last Updated : 2021-02-25
  • Clarity   00. Prolog

    High dive into frozen waves where the past comes back to lifeFight fear for the selfish pain, it was worth it every timeHold still right before we crash 'cause we both know how this endsA clock ticks 'till it breaks your glass and I drown in you again'Cause you are the piece of me I wish I didn't needChasing relentlessly, still fight and I don't know whyIf our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?If our love is tragedy, why are you my remedy?If our love's insanity, why are you my clarity?Julian menatap keluar jendela cafe dan mendapati Jinny terduduk mematung di tengah derasnya hujan. Matanya membulat kemudian langsung berlari ke luar menghampiri gadis itu. Ia memeluk Jinny erat.Walk on thr

    Last Updated : 2021-02-17
  • Clarity   01. Identitasnya

    Aku tenggelam padamu lagiKarena kau adalah bagian dari diriku-Julian Wheeler-***"HEI!APA YANGKALIANLAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU?CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka."Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul

    Last Updated : 2021-02-17
  • Clarity   02. Mimpi indah

    Jika cinta kita adalah tragedy lalu kenapa kau adalah penyembuhku?Jika cinta kita adalah kegilaan, kenapa kau adalah kejernihan ku?-Jinny Wilson-***Alunan musik serta suara merdu dari penyanyi wanita dan pria yang membawakan laguDestinymilikJim Brickman, mengiringi langkah seorang gadis cantik, dengan balutan gaun putih, seraya tersenyum manis menatap lurus kedepan. Tampak para tamu merasakan kebahagiaan dan terhanyut dalam suasana. Gadis itu melewati lorong deretan bangku yang di penuhi para undangan menuju ke sebuah altar, dimana seorang laki-laki tampan nan gagah dengan balutan tuxedo putih menunggunya dengan senyum yang merekah.Gadis itu menyambut uluran tangan

    Last Updated : 2021-02-17

Latest chapter

  • Clarity   13. Babak belur dan gosip

    Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah

  • Clarity   12. Rasa sakit

    Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.

  • Clarity   11. Mimpi buruk

    Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"

  • Clarity   10. Menginap

    Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat

  • Clarity   09. Ikut denganmu

    Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me

  • Clarity   08. Iri

    "Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa

  • Clarity   07. Lovely friend

    "Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de

  • Clarity   06. Menutup hati

    Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A

  • Clarity   05. Sebuah takdir?

    Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status