Aku tenggelam padamu lagi
Karena kau adalah bagian dari diriku-Julian Wheeler-
***
"HEI! APA YANG KALIAN LAKUKAN SAMPAI LAMA SEPERTI ITU? CEPAT BAWA PERLATANNYA KEMARI!"
Julian menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang ada di luar sana, di ikuti oleh Paul yang membelakangi laki-laki itu. Paul bersungut kesal "Ada masalah hidup apa si pak tua itu?" setelah mendengar teriakan lantang pak tua yang di sebut-sebut tadi, alias Cody Hansen pelatih club sepak bola mereka.
"Cody menyuruh kita mengambil semua peratalan sialan ini karena kita terlambat, Paul" Julian memberikan jawaban atas gerutuan Paul, lantas ia kembali memasukkan bola-bola ke dalam ranjang. Sebaiknya mereka berdua harus bergegas membawa semua peralatan itu ke lapangan, jika tidak pak tua alias Cody Hansen akan memberikan mereka hukuman tambahan berupa lari lapangan sebanyak sepuluh kali. Itu bahkan lebih mengerikan dibandingkan harus membersihkan toilet yang sangat kotor dan bau pesing.
"Itu gara-gara kau yang tidak boleh ketinggalan tebar pesona di hadapan para gadis SMA" lanjut Julian mengingatkan alasan mereka terlambat, "Dan aku selalu menjadi korban kecabulanmu"
Paul hendak membalas ucapan Julian ketika ia sudah selesai mengumpulkan hundler ke dalam ranjang bermotif jaring-jaring berwarna coklat "Itu namanya usaha untuk mendapatkan pa..." namun katanya-katanya tidak sempat ia lanjutkan ketika pengganjal pintu gudang tiba-tiba terlepas, dan dalam hitungan detik ruangan yang penuh dengan barang-barang peralatan kegiatan kampus gelap. Pintu itu terkunci rapat.
"Kesialan apa lagi ini?" seru Paul sebagai lanjutan perkataannya yang sempat terputus tadi.
Paul meraba saku training olahraganya untuk mencari ponselnya, berharap bisa menerangi penglihatannya dengan bantuan senter yang ada pada benda tersebut. "Oh tidak, ponselku ada di dalam tas" Paul menyesali kebodohannya tidak membawa benda itu di saat seperti ini. Biasanya ia selalu membawanya ke manapun.
Julian terpaku pada posisinya, ia tidak menghiruakan Paul yang sedari tadi sibuk menggerutu. Bisa di katakan suara yang ada di sekitarnya berangsur-angsur senyap. Suara Paul yang memanggilnya seakan tidak pernah ada, kupingnya mendengung. Mata Julian membulat dengan keringat yang tiba-tiba membasahi pelipisnya.
Suara Paul yang memanggil-manggil namanya berubah menjadi suara desahan nafas dari seorang anak laki-laki. "Julian...To...tolong...a..aku" suara itu terdengar sangat berat. Julian yang ada di sampingnya panik. Nafas anak laki-laki itu tersengal, dadanya kembang kempis. Kedua tangannya meremas dadanya kuat.
"Leo, tolong bertahanlah!" Julian berteriak histeris sambil mengguncangkan tubuh Leo. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang gelap itu berusaha mencari jalan keluar, namun ia tak bisa melihat apapun disana. Tempat itu lembab, banyak jaring laba-laba—meski tidak nampak—kulitnya bisa merasakannya.
"TOLONG! SIAPAPUN TOLONG KAMI!" Julian berteriak sekuat tenaga agar seseorang bisa mendengarnya dan menolong mereka keluar dari tempat itu. Air matanya mengalir deras, ketakuakan semakin kuat saat tiba-tiba Leo tersungkur ke pangkuannya.
Samar-samar suara Paul kembali terdengar. Tubuh Julian bergetar hebat, laki-laki itu menutup telinganya, ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sekujur tubuh Julian berkeringat, hingga jersey yang ia kenakan basah .
"Julian!" Paul terus berusaaha menyadarkan temannya. Ia tampak panik melihat keadaan laki-laki itu. "Hei, kau baik-baik saja?"
Sebenarnya saat ia mengalami trauma akan kejadian masa lalunya yang mengerikan itu, Cody masuk ke gudang ketika ia menyadari pintu tertutup. Masalah pengganjal pintu yang rapuh sudah ia ketahui dari beberapa minggu yang lalu, bahkan Cody melaporkannya ke pihak kampus untuk segera di perbaiki. Namun sampai detik ini tidak ada tindakan perbaikan yang di lakukan.
"Hei, nak, kau baik-baik saja?" Cody mengulangi pertanyaan yang sama dengan Paul. Meskipun ia di kenal dengan julukan pak tua berhati kejam, ia sangat memperhatikan keadaan mahasiswanya.
Sore hari setelah kejadian di gudang berlalu, Paul akhirnya tahu apa yang di alami Julian—setelah 1,5 tahun mengenalnya—meskipun yang ia tahu hanya point-point kecilnya saja. Laki-laki itu tidak ingin menceritakannya lebih dalam, karena itu akan membuatnya semakin menderita.
"Sebaiknya kau tidak ke gudang itu lagi, kawan" kata Paul dengan nada prihatin. Matanya masih menyiratkan kekhawatiran pada Julian, karena ini kali pertama ia melihat teman di depannya ketakutan seperti itu. Saat ia menyaksikan Julian yang hilang kendali ketika ruangan gudang tiba-tiba gelap. Dan ia mendengar Julian bergumam tidak jelas sambil menutup telinganya rapat. Sekujur tubuh laki-laki itu bergetar hebat, dan Paul sangat panik saat melihatnya.
Julian mengangguk samar menyetujui saran Paul. Baru saja Paul ingin menyesap minuman kalengnya Julian berdiri, alis Paul terangkat menatap Julian lalu bertanya "Kaumau kemana?"
Laki-laki bermata coklat gelap, berambut hitam itu menelisik arloji di tangan kanannya. Julian segera berdiri dari kursi, dalam waktu tiga puluh menit ia harus bergegas menuju minimarket 24 jam tempat ia bekerja paruh waktu.
"Kau mau kemana?" tanya Paul yang duduk di seberang kursi Julian.
"Aku harus segera berangkat ke minimarket, kalau tidak Albert akan memotong gajiku dengan memababi buta"
Segera setelah itu, Julian melenggang lebar meninggalkan kantin dan mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda 'sampai jumpa' yang di balas oleh Paul yang masih menatapnya prihatin.
***
Julian tampak sibuk mendata stock barang yang ada pada rak, tangan kirinya memegang clipboard yang berisi daftar nama item beserta jumlahnya dan tangan kanannya memegang bolpint. Malam itu setiap akan berganti sift para pegawai harus mengecek persediaan barang, jika ada yang sudah habis maka harus segera di restock lagi. Laki-laki itu baru saja akan beralih ke rak bagian minuman ketika seseorang memanggilnya untuk segera ke meja kasir. Ia bahkan tidak sadar jika seorang pembeli sedang mengunjungi minimarket karena saking fokus pada pekerjaannya.
"Iya, tunggu sebentar, nona"
Gadis berambut coklat gelap dengan rambut panjang sebahu itu memasuki minimarket dan langsung menuju ke bagian ice cream dan cemilan. Ia mengambil beberapa bungkus snack dan juga tiga buah ice cream coklat dan vanila. Ia tidak menyadari bahwa petugas minimarket alias Julian yang membelakanginya sedang menghitung stock bahan dapur. Setelah di rasa cukup, gadis itu berjalan menuju meja kasir, alisnya terangkat ketika menyadari petugasnya tidak ada di tempat.
Ia memutar kepalanya mencari petugas kasir, saat gadis itu menengok ke belakang tepat ke arah rak tempatnya mengambil cemilan tadi, ia memanggil Julian yang hendak berpindah tempat.
"Maaf, permisi" panggilnya dengan nada sopan. Kemudian pandangannya kembali ke arah kasir.
"Iya, tunggu sebentar, nona"
Julian berlari kecil menuju meja pembayaran. Sesampainya, ia langsung mengambil satu persatu barang yang di sodorkan gadis itu untuk di tempelkannya pada barcode scanner.
"Semuanya dua puluh dollar, nona"
Gadis itu mengeluarkan dompat dan menyerahkan koin senilai dua puluh dollar. Namun di saat ia mengeluarkan dompet dari ranselnya, ia tidak menyadari sesuatu terjatuh dari sana. Sampai saat Julian menyerahkan semua belanjaan padanya , ia melenggang keluar minimarket.
Julian tersenyum ramah pada gadis itu sambil mengucapakan "Terima kasih". Setelah gadis itu menghilang dari pandangannya, ia menoleh jam yang terpajang di dinding. Well, sudah saatnya ia bergegas untuk pulang, setelah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun bernama Elise datang.
"Hai, Julian, apa kabar?" sapa Elise ramah saat melewati meja kasir.
"Baik, Elise" sahut Julian ringan. Ia mengambil clipboard yang berisi daftar item barang untuk di serahkan pada Elise—yang akan menggantikan sift malamnya.
Beberapa menit kemudian Elise keluar dari ruang staff dan sudah berganti seragam. Elise mengambil alih pekerjaan Julian malam itu.
Saat akan membuka membuka pintu minimarket pandangannya tertuju pada benda yang tergeletak di samping tong sampah yang ada di bawah mesin kopi dekat meja kasir. Ia menunduk dan mengambilnya. Sebuah pouch kecil berwana biru muda. Berniat ingin melihat isi dari pouch tersebut, tapi waktu yang sudah larut malam mengharuskannya untuk cepat pulang. Beruntung jarak rumah dari tempatnya bekerja cukup dekat, hanya lima ratus meter. Namun ia harus melewati gang perumahan yang cukup sepi.
Baru saja ia berharap tidak bertemu dengan para manusia-manusia bodoh yang selalu menghadang perjalanan pulangnya muncul dari balik gang kecil di sela-sela bangunan perumahan. Sial, ia harus menghadapi kuman-kuman ini terlebih dahulu.
"Hai, nak, apa kabarmu hari ini?" Tanya pria berbadan kekar dan berambut gondrong bernama John.
Julian mendengus seraya menatap enteng ketiga preman di hadapannya. Ini sudah menjadi kegiatan rutinnya setiap malam.
"Kemarin kau tidak membayar pajak pada kami" sahut preman lainnya yang beridiri di sisi kanan John. Mereka adalah penguasa jalan itu, maka siapapun yang lewat gang itu maka harus membayar uang pada mereka, tentu dengan jumlah yang tidak sedikit.
"Hei, babi-babi sialan, minggir sekarang juga atau aku akan membuat wajah rahang kalian lepas!"
Ketiga preman itu mengangkat alis terkejut dengan keberanian Julian mengancam mereka. Setelah beberapa detik saling pandang, para preman itu tertawa seakan menyepelakan ancaman Julian yang kini sedang tertawa kecil . Merasa di remehkan, salah satu preman yang berdiri di sisi kiri John tidak terima.
"Hei, bocah! Nyalimu besar juga menantang kami!"
Julian terkekeh seraya melemparkan pandangan ke bawah. Ia tidak menyadari bahwa salah satu preman itu berlari ke arahnya dan memukul wajahnya secara tiba-tiba. Julian tersungkur, ia merasakan sakit yang luar biasa pada sudut bibirnya dan seketika ia sadar darah keluar dari sana. Ia mengusap sudut bibirnya lalu mendengus marah.
Ketiga preman itu tertawa puas melihat Julian yang tergeletak kesakitan. Namun mereka salah, Julian tidak selemah yang mereka pikirkan. Seketika sebuah tinjuan mendarat tepat ke uluh hati preman yang tadi menghantam wajah Julian.
Meskipun tubuh julian tidak sekekar mereka, bukan berarti ia bisa di remehkan begitu saja. Mungkin dulu ia hanya bisa diam menerima perlakuan kasar dari orang-orang yang tidak suka padanya. Tapi sekarang, ia bukanlah si kecil Julian delapan tahun yang lalu.
***
Julian membuka dan menutup pintu rumah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan ibunya. Ia berharap ibunya tidak mendengar apapun dan masih tertidur dengan lelap. Sampai ketika harapannya itu tidak berjalan mulus, lampu tengah tiba-tiba menyala, dari sudut kamar ia melihat Ms. Nancy—ibu Julian berdiri dengan bersedakap tangan.
"H,Hai mom" sapa Julian ragu.
"Sudah berapa kali aku katakan padamu untuk tidak meladeni para pereman-preman itu" sahut Nancy tanpa membalas sapaan Julian.
"Maaf mom, aku hanya memberi mereka sedikit pelajaran"
Nancy mendesah "Baiklah, sekarang cepat kau bersihkan badanmu dan istirahat" ia sedari tadi menunggu Julian pulang dengan tiduran di atas sofa ruang tengah dekat perapian. Ia menyadari langakah kaki anaknya ketika membuka pintu, meskipun Julian sudah sangat meminimalisir suara langkah kakinya.
Setelah Julian membersihkan dirinya, ia langsung naik ke atas tidur bersiap untuk tidur. Namun ia merasakan sudut bibirnya perih walaupun tadi ia sudah mengoleskan obat pada lukanya. Ia teringat akan sesuatu, pouch kecil berwana biru muda yang ia temukan di minimarket tadi.
Ia membuka isi pouch yang tadi ia ambil di saku celana jins nya. Sebuah kartu mahasiswa bertuliskan nama kampus yang sama dengannya University of Edmonton dengan nama Jinny Wilson.
Jika cinta kita adalah tragedy lalu kenapa kau adalah penyembuhku?Jika cinta kita adalah kegilaan, kenapa kau adalah kejernihan ku?-Jinny Wilson-***Alunan musik serta suara merdu dari penyanyi wanita dan pria yang membawakan laguDestinymilikJim Brickman, mengiringi langkah seorang gadis cantik, dengan balutan gaun putih, seraya tersenyum manis menatap lurus kedepan. Tampak para tamu merasakan kebahagiaan dan terhanyut dalam suasana. Gadis itu melewati lorong deretan bangku yang di penuhi para undangan menuju ke sebuah altar, dimana seorang laki-laki tampan nan gagah dengan balutan tuxedo putih menunggunya dengan senyum yang merekah.Gadis itu menyambut uluran tangan
Jinny mendongakkan kepala ke atas dan memejamkan mata menikmati sentuhan angin yang membelai lembut wajahnya. Pikiran tentang kedua orang tuanya ia singkirkan sejenak, ia hanya ingin mendengar suara nyaring kicauan burung gereja yang menari di atas sana. Ia membuka matanya ketika suara laki-laki yang ia kenal menyela diantara gemersak suara dedaunan."Hai, Jinny Wilson, maaf membuatmu menunggu lama" kata Joe yang kini sudah duduk dis amping Jinny.Gadis itu menurunkan pandangannya menghadap Joe dan menyunggikan senyum sempurna. Hanya laki-laki itu yang selalu ada untuknya, setidaknya untuk saat ini ia ingin terus bisa melihat tatapan hangat Joe. Meskipun ia tahu suatu saat nanti Joe akan menemukan cinta sejatinya pada wanita lain. Ya, itu akan terjadi jika ia hanya diam dan tidak melakukan sesuatu terhadap perasaannya pada Joe.
Gadis bermata coklat pekat dan berambut pendek sebahu itu berjalan menyusuri jalan raya menuju pertokoan. Hari itu ia pergi tanpa Joe, karena ia tidak ingin rencana yang sudah ia susun dengan rapi terbongkar. Sebenarnya Joe menawarkan diri untuk mengantarnya setelah rapat senat selasai, tapi Jinny menolak dengan halus dengan alasan ia harus membeli sesuatu yang berhubungan dengan privasi wanita, dan laki-laki tidak boleh tahu akan hal itu.Jinny sudah berada di toko serba guna, dan ia membeli beberapa barang seperti kertas lipat, lilin ulang tahun dan keperluan lainnya yang ia perlukan untuk melancarkan rencana kejutan ulang tahun untuk Joe Fernandez yang ke 21 tahun."Sepertinya sudah cukup" gumamnya setelah barang yang ia perlukan terkumpul di dalam ranjang.Well, hanya satu yang san
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.