Jinny mendongakkan kepala ke atas dan memejamkan mata menikmati sentuhan angin yang membelai lembut wajahnya. Pikiran tentang kedua orang tuanya ia singkirkan sejenak, ia hanya ingin mendengar suara nyaring kicauan burung gereja yang menari di atas sana. Ia membuka matanya ketika suara laki-laki yang ia kenal menyela diantara gemersak suara dedaunan.
"Hai, Jinny Wilson, maaf membuatmu menunggu lama" kata Joe yang kini sudah duduk dis amping Jinny.
Gadis itu menurunkan pandangannya menghadap Joe dan menyunggikan senyum sempurna. Hanya laki-laki itu yang selalu ada untuknya, setidaknya untuk saat ini ia ingin terus bisa melihat tatapan hangat Joe. Meskipun ia tahu suatu saat nanti Joe akan menemukan cinta sejatinya pada wanita lain. Ya, itu akan terjadi jika ia hanya diam dan tidak melakukan sesuatu terhadap perasaannya pada Joe.
"Hai, Joe"
"Kau sudah lapar?"
"Tentu saja aku sudah lapar" tukas Jinny cepat "Kau pikir menunggu selama dua jam akan membuat perutmu terisi penuh?"
Joe tertawa kecil "Aku akan mengajakmu makan di sebuah tempat yang terkenal dengan Poutine-nya yang lezat"
"Sepertinya aku tahu tempat yang kau maksud"
"Mm-hm"
Joe berdiri dan menarik tangan Jinny pelan.
Gadis itu menongak menatap Joe yang sudah lebih dulu berdiri dan menarik tangannya, ia tidak menolak kemudian tersenyum kecil. Mereka berdua melangkah meninggalkan danau.
***
Julian baru akan berdiri dan berniat meninggalkan tempat itu saat seorang laki-laki melewati dirinya menuruni anak tangga menuju arah danau.
Ia tak menyapa karena ia memang tidak mengenal orang itu meskipun berada di kampus yang sama. Julian hendak memutar badannya ketika ia mendengar seruan laki-laki yang baru saja melewatinya.
"Hai, Jinny Wilson"
Ia terdiam sejenak, berpikir sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Jinny Wilson? Ah iya, ia baru teringat akan sesuatu. Julian membuka kembali tasnya setelah tadi ia baru saja menyimpan headsetnya. Yep, nama itu sama dengan yang tertera di kartu mahasiswa yang ia temukan di minimarket saat ia hendak pulang dua hari yang lalu.
"Ternyata dia orangnya" gumam Julian.
Ia memandang kartu mahasiswa itu dan Jinny yang berada di tepi danau bergantian, dan setelah itu memperhatikan Jinny sedang bersama dengan laki-laki—Joe—orang yang melewatinya tadi—sedang berbincang dan tak lama setelah itu ia melihat Jinny tersenyum ketika Joe menarik tangannya. Ia bergeming saat keduanya menaiki tangga dan melewatinya.
Baru saja ia ingat harus mengembalikkan kartu itu pada Jinny dan akan membuka mulut, ponselnya berdering. Ponsel yang kebetulan sedang ia pegang menampilkan nama 'Mr. Crab'—manager minimarket tempat ia paruh waktu— dan langsung menjawabnya.
Jinny dan Joe melewati anak tangga menuju area depan kampus. Melihat tangan kekar Joe menggenggam hangat tangannya membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Cinta memang mampu membuat siapa saja gila sementara.
Saat gadis itu dan Joe melewati Julian yang berdiri tak jauh dari mereka, Jinny merasa familiar ketika ia tak sengaja bertatapan dengan laki-laki itu. Ia berpikir sejenak, dan Oh, dia orang yang tidak sengaja menabrak pundaknya saat di kantin tadi siang. Ia menengok ke belakang untuk memastikam apakah ingatannya itu benar ketika Julian memalingkan wajahnya saat menerima telepon dari seseorang.
"Ada apa? Apakah kaumeninggalkan sesuatu?"
Jinny memutar kepalanya dan tersenyum sempurna lalu menggeleng. "Tidak ada" jawabnya polos.
***
Martin Stuart yang di juluki Mr. Crab oleh Julian mengijinkannya pulang satu jam lebih awal. Martin bukanlah oang yang sangat gampang memberikan izin. Ia sangat jeli dan dapat dengan mudah mengetahui apakah karyawannya berbohong saat meberikan alasan atau tidak. Sebelum ia memutuskan untuk bekerja di perusahaan swasta dan di angkat sebagai manajer, ia dulunya adalah lulusan psikologi, dimana ia sangat mudah membaca tindak tanduk seseorang. Sekedar informasi, Martin Stuart adalah lulusan terbaik diangkatannya.
Julian mengucapkan salam pada Martin sebelum membuka pintu minimarket "Sepertinya aku perlu membawakanmu Butter Tart buatan ibuku sebagai ucapan terima kasih, Martin"
"Aku tidak tahu apakah itu sebuah sogokan untuk selalu memberimu izin di lain kesempatan" kata Martin dengan nada curiga "Tapi jika kau memaksa, aku tidak keberatan menerimnya"
Martin tertawa kecil.
Julianpun ikut tertawa mendengar gurauan Martin. Pria itu memang selalu menilai pemberiannya hanyalah sebuah sogokan. Tapi itu tidak menjadi masalah baginya karena ia tahu, Martin sangat menyukai Butter Turt buatan ibunya.
"Salam untuk ibunmu, Julian"
"Baiklah, selamat malam"
Julian membuka pintu dan keluar meninggalkan minimarket. Ia sengaja meminta izin pulang satu jam lebih awal karena hari itu adalah ulang tahun adik laki-lakinya—Drian Wheeler—yang ke sepuluh. Julian dan ibunya sudah menyiapkan hadiah dan juga kado untuk Drian.
Beruntung hari itu ia tidak bertemu dengan John dan kawan-kawannya, hingga ia tak harus mengotori tangannya untuk menghajar para preman itu.
Hanya butuh tiga puluh menit laki-laki itu sudah sampai di rumah. Udara hangat menjalar keseluruh tubuh, ketika ia sudah masuk ke dalam dan melepaskan jaket tebalnya. Julian berjalan kearah dan di sana sudah ada ibunya yang sudah menyiapkan kue dan bersiap menyalakan lilin.
"Hai, mom" sapa Julian, berjalan ke arah ibunya dan mencium pipinya. Kegiatan yang selalu ia lakukan ketika hendak berangkat kuliah dan juga pulang dari part time.
"Drian sedang belajar di kamarnya, seharian ini hanya diam dan tidak berbicara padaku," kata ibunya, mengabaikan sapaan Julian "Sepertinya ia kesal kita tidak memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya"
Julian tertawa mendengar penjelasan ibunya. Ia bisa membayangkan bagaimana Drian yang seharian menekuk wajahnya dan mencoba untuk merajuk. Kelakuan adiknya jika marah selalu membuat Julian gemas dan terus menggodanya.
"Baiklah, semuanya sudah siap"
"Biar aku yang membawa kuenya"
Julian mengambil alih kue yang ada di tangan ibunya. Di atas kue itu ada miniatur capten america yang merupakan tokoh favoritenya.
Mereka berdua melangkah ke lantai dua dan menuju ke kamar Drian yang ada di sebelah kamar Julian. Nancy mengetuk pintu, dan memberikan aba-aba pada Julian agar mengekor di belakangnya. Saat terdengar suara pintu di buka Nancy menoleh ke balik bahu dan membisikkan pada Julian "Hati-hati jangan sampai jatuh"
Julian mengangguk mengerti.
"Hai, sayang" sapa Nancy lembut.
Ketika Drian membuka pintu anak laki-laki itu menekuk wajahnya saat melihat Nancy masuk. Ia berbalik tanpa mempedulikan sapaan ibunya. Ia kesal di hari ulang tahunnya tidak seorangpun mengucapkan selamat padanya.
Nancy memeluk Drian yang saat itu sedang pura-pura mengerjakan PR sekolah. Sebenarnya ia sudah menyelesaikan tugas sekolahnya tiga puluh menit yang lalu sebelum Nancy dan Julian menghampirinya.
"Kau kenapa cemberut seperti itu, nak?" tanya Nancy dengan nada lembut.
Drian menjauhkan tubuhnya tanpa menjawab.
Nancy menengok ke belakang, mengerlingkan sebelah mata untuk Julian agar mendekat.
"Hai Plankton," Julian sudah berdiri di belakang Plankton—julukan yang ia berlika pada Drian "Selamat ulang tahun"
Drian yang sedari tadi pura-pura menulis diam dan menoleh ke belakang. Ia melihat Julian yang membawa kue dengan lilin angka sepuluh menyala mebiaskan sinar di wajah anak laki-laki itu.
Nancy menegakkan tubuhnya, ia tersenyum bahagia melihat Drian yang seharian diam dan menekuk wajahnya kini tersenyum lebar.
"Dasar bocah, wajahmu semakin mirip dengan Plankton" gurau Julian
Drian tidak menanggapi Julian yang menggodanya. Ia tersenyum lebar melihat kue yang berhiasan miniatur tokoh favoritenya.
"Selamat ulang tahun, sayang" Nancy mengucapkan selamat dan mencium kening Drian.
Anak laki-laki itu turun dari kursi dan berdiri menghadap Julian.
Julian berjongkok agar adiknya bisa meniup lilin dengan mudah. Sementara Nancy memperhatikan keduanya dengan senyum bahagia.
"Kenapa kalian tidak mengucapkan selamat padaku seharian ini?"
"Kami sengaja, agar kau marah dan kami berhasil melakukan itu"
Drian mendegus.
"Cepat memohon permintaan sebelum kau meniup lilin"
Anak laki-laki itu mencangkupkan kedua tangannya, memejamkan matanya lalu mengucapkan doa.
"Aku berharap agar ayah cepat kembali dan aku bisa bermain dengannya"
Seketika wajah Julian dan Nancy berubah setelah mendengar harapan Drian. Nancy menutup mulutnya, ia menahan untuk tidak menangis. Dan Julian melemparkan pandangannya ke bawah. Ia tahu adiknya merindukan sosok ayahnya dan selalu bertanya kapan ia bisa bertemu dengan ayah.
Julian menatap Drian yang sedang meniup lilin sesaat setelah mengatakan harapannya. Melihat senyum bahagia adiknya, membuat hatinya terluka. Pria tak bertanggung jawab itu tidak pantas merusak kebahagiaan Drian.
***
Mr. Edward menjelaskan tentang sistem manajemen pada perusahaan swasta, pria yang sudah berprofesi sebagai dosen sejak usia muda itu selalu menjelaskan pengalaman nyata dalam berbisnis kepada seluruh mahasiswanya. Ia memang tidak terlalu suka mengajar berdasarkan teori yang ada namun harus berdasarkan praktek dan pengalaman nyata. Seperti bagaiman teman sekolahnya yang mengalami kerugian akibat manajemen yang tidak tepat hingga bisa bertahan dan bangkit.
Ia menjelaskan dengan pembawaannya yang santai dan mudah di mengerti sehingga mahasiswa bisa menerima dengan mudah. Jika mahasiwa antusias dan fokus mendengarkan penjelasan Mr. Edward, mungkin hanya ada satu orang yang sedang sibuk dengan tenggelam dengan dunianya sendiri.
Jinny tampak memikirkan sesuatu seraya memainkan bolpoint di sela jemari kanannya. Tangan kirinya menopang dagu dan di bawah siku terdapat buku yang penuh dengan coretan tidak jelas.
Tiba-tiba ia membulatkan matanya saat sebuah ide terlintas di benaknya. Ia kemudian menuliskan sesuatu di bukunya yang penuh dengan coretan.
La Vien Cake
Joe Bhirtday
Ia tersenyum setelah menulisnya. Joe yang duduk di sebelah kursinya hanya fokus pada penjelasan Mr. Edward tanpa sadar Jinny memperhatikannya dalam diam. Dan Oh, kali ini Kessie tidak mencoba merampas tempat duduk Jinny karena ancaman Joe kemarin.
Gadis bermata coklat pekat dan berambut pendek sebahu itu berjalan menyusuri jalan raya menuju pertokoan. Hari itu ia pergi tanpa Joe, karena ia tidak ingin rencana yang sudah ia susun dengan rapi terbongkar. Sebenarnya Joe menawarkan diri untuk mengantarnya setelah rapat senat selasai, tapi Jinny menolak dengan halus dengan alasan ia harus membeli sesuatu yang berhubungan dengan privasi wanita, dan laki-laki tidak boleh tahu akan hal itu.Jinny sudah berada di toko serba guna, dan ia membeli beberapa barang seperti kertas lipat, lilin ulang tahun dan keperluan lainnya yang ia perlukan untuk melancarkan rencana kejutan ulang tahun untuk Joe Fernandez yang ke 21 tahun."Sepertinya sudah cukup" gumamnya setelah barang yang ia perlukan terkumpul di dalam ranjang.Well, hanya satu yang san
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.