Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah toko La Vien Cake.
Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya.
"Selamat datang di La Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.
"Hai, Clara, apa kabar?" balas Julian
Clara menatap Julian lalu beralih memandang Jinny yang berada di belakang laki-laki itu. Jinny tersenyum membalas tatapan Clara. Dan gadis itupun menyapa hangat "Selamat datang, Wilson"
Julian mengangkat alis mendengar Clara menyapa dengan menyebut nama Jinny. Padahal ia belum mengenalkan gadis itu padanya, apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Dan ia tidak tahu akan hal itu?
"Wilson adalah pelanggan tetap toko ini, dan ia selalu berkunjung di akhir pekan untuk membeli Batter Tart" seolah tahu tatapan Julian yang bingung ketika tahu nama gadis yang sedang bersamanya, Clara dengan cepat menjelaskan kebingungan laki-laki itu.
"Hai, Clara, apakah pesananku sudah siap?" tanya Jinny yang sekarang sudah berdiri di samping Julian.
"Tentu saja, kami sudah menyiapkannya untukmu"
Baru saja Clara memutar tubuhnya untuk mengambil pesanan kue milik Jinny di dalam etalase kaca di belakangnya, Nancy muncul dari balik dapur yang ada berada di belakang counter.
"Hai, sayang..." Nancy menyambut kehadiran Julian, setelah mendengar percakapan ketiganya dari dalam dapur "Oh, hai Wilson, senang melihatmu lagi" sapa Nancy ramah seraya meletakkan sarung tangan di atas meja.
Julianpun menatap Jinny dan ibunya bergantian, ternyata hanya ia saja yang belum baru mengenal Jinny malam ini? Oh, tetntu saja karen ia hanya mengunjungi toko kue ibunya sebulan dua kali selebihnya ia sibuk dengan part timenya.
"Baiklah, mungkin hanya aku di sini yang baru saja berkenalan denganmu" ucap Julian, mengangkat bahunya sambil lalu.
Jinny terkekeh melihat ekspresi polos Julian.
"Bagiaman bisa kau baru mengenal gadis secantik ini, Julian" gurau Nancy, "Aku harap kalian bisa menjadi teman baik setelah ini"
Nancy menerima kue yang di berikan Clara setelah mengambilnya dari etalase kaca yang ada di belakang mereka.
Julian menatap gadis yang berdiri disampingnya sekilas sambil berkata "Yep, tentu saja kami akan menjadi teman baik, mom"
Jinny menoleh menatap Julian dan tertegun ketika Julian berkata seperti itu sambil tersenyum padanya. Selama ini ia hanya berteman dekat dengan Joe, dan hanya Joe yang selalu tersenyum tulus padanya.
"Sebenarnya aku ingin menanyakan ini padamu" Clara menyela dan bertanya pada Jinny.
Gadis itu terkesiap dan tersadar dari pikirannya. Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya pada Clara yang menunggu jawaban.
"Eh, ya?"
"Kue cantik ini akan kau berikan untuk ibumu?"
"Eh, ini, ini untuk temanku, maksudku aku berencana memberikan kejutan untuknya karena besok adalah ulang tahunnya"
"Aku harap temanku akan suka dengan kue ini"
Nancy menyodorkan kue yang sudah di masukkan ke dalam kotak dengan motif garis biru muda yang sangat manis. Jinny dengan senang hati menerimanya, ia yakin Joe pasti akan menyukai kue ini. Karena gadis itu sudah percaya dengan kualitas toko kue itu.
Julian memperhatikan Jinny yang tampak kesusahan dengan bawaan di tangan gadis itu. Ia berinisiatif mengambil kantong belanjaan yang ada di tangan kiri Jinny.
Gadis itu mengangkat alis terkejut ketika kantong belanjaannya kini beralih ke tangan Julian. Ia tidak sempat membuka mulut ketika Julian lebih dulu berucap.
"Mom, aku akan balik lagi ke sini setelah mengantar Jinny ke halte"
"Aku bahkan tidak keberatan kau mengantarnya sampai rumah sekalipun" gurau Nancy dan tertawa geli melihat wajah putranya yang melongo. Sementara Clara juga ikut menggoda laki-laki itu.
"Aku seperti melihat adikku sudah mulai beranjak dewasa"
Mata Julian menyipit menatap Clara yang sedang menertawakannya.
Jinny merasa canggung mendengar gurauan Nancy dan Clara. Ia buru-buru mengucap salam dan keluar dari toko, yang di ikuti oleh Julian di belakangnya.
"Maafkan ibuku dan Clara, mereka selalu menggodaku jika melihat aku bersama seorang wanita" ucap Julian ketika mereka sudah berada di halte dan menunggu kedatangan bus.
"Tidak apa-apa, aku senang melihat kehangatan mereka padamu" nada bisacara Jinny terdengar lirih.
"Dan, waw! aku sangat terkejut begitu tahu jika Nancy dalah ibumu, dan toko kue itu juga ternyata milik keluargamu" lanjut Jinny dengan nada yang berubah antusias saat menyampaikan keterkejutannya dengan kenyataan bahwa toko kue yang selama ini menjadi favoratenya adalah milik Julian dan juga Nancy yang selalu ramah padanya adalah ibu laki-laki yang baru saja menyelamatkannya dari terkaman buas para pemabuk tadi. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat luar biasa.
Julian tertawa kecil dan mengangangkat bahu "Dan aku baru tahu kalau kau adalah pelanggan tetap La Vien Cake" Julian menimpali.
Saat keduanya menertawakan kebetulan yang sangat luar biasa itu, suara laki-laki yang tak asing di kuping Jinny memanggilnya dari trotoar tak jauh dari halte tempatnya berada.
"Jinny"
Gadis itu merasa terpanggil dan memutar kepalanya ke arah sumber suara. Matanya membelalak ketika seorang laki-laki yang sangat ia kenal sekarang sudah berada tepat di hadapannya.
***
"Oh, Hai Joe" Sapa Jinny dengan semangat "Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Dan, oh, kenapa kau bisa ada disini?"
Joe menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket, ia mengangkat bahu sambil lalu.
"Aku baru saja dari rumah Clay, mengambil data untuk keperluan bazzar"
Joe memperhatikan Jinny yang sedang membawa sebuah kantong belanjaan dan disana terdapat tulisan La Vien Cake. Sadar jika Joe memandangi bungkusan yang ia bawa, Jinny sedikit menyembunyikannya ke belakang. Kalau laki-laki itu tahu bisa gagal kejutan yang ia rencanakan.
Dan, oh, ia hampir saja lupa akan keberadaan Julian di belakangnya. Ia menoleh ke kebelakang dan melihat Julian hanya diam dan tak berkomentar atau menyela pembiacaraan mereka berdua.
"Oh, aku hampir lupa! Joe, perkenalkan ini Julian Wheeler, dan Julian ini Joe Fernandez teman sekelasku"
Julian menatap Jinny lalu beralih menatap Joe. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan pada Joe. "Senang berkenalan denganmu"
Joe berpikir sejenak lalu menjabat uluran tangan Julian "Sama-sama," balas Joe sopan.
Kening Joe berkerut samar dan ia berkata "Sepertinya aku pernah melihatmu"
Julian diam tidak menjawab, karena ia juga tidak ingat pernah bertemu dengan Joe. Tapi sekilas ia ingat tentang seorang laki-laki yang memanggil Jinny Wilson di danau belakang kampus. Sepertinya, Joe pernah melihatnya di sana.
"Julian satu kampus dengan kita, tapi beda fakultas. Oleh karena itu kau mungkin pernah melihatnya" sela Jinny.
Julian mengangguk menyetujui ucapaan Jinny, mungkin karena mereka satu kampus maka Joe pernah berpapasan dengannya.
"Oh ya, kalian sejak kapan saling mengenal?"
Baru saja Julian dan Jinny membuka mulut menjelaskan awal mula pertemuan mereka dan bagaimana mereka bisa berkenalan, bus sudah datang dan pintu bus terbuka mempersilahkan penumpang untuk segera naik.
"Aku akan menceritakannya padamu nanti"
Jinny berjalan memasuki bus, namun sebelum itu ia menoleh ke arah Julian dan berkata "Sampai jumpa. Julian, aku harap kita bisa mengobrol lebih banyak jika bertemu di kampus"
Julian menyerahkan kantong belanjaan milik gadis itu dan Jinny menerimanya. "Hm-mm, sampai jumpa, hati-hati" balas Julian, melambaikan tangan pada Jinny.
Joe yang mengekor di belakang Jinny juga tak lupa mengucapkan salam pada Julian sebelum menaiki bus "Aku harap kita bisa berteman baik, Julian Wheeler" laki-laki itu tersenyum dan melambaikan tangan pada Julian.
Julian beranjak dari halte setelah bus sudah menghilang di kejauhan. Hari ini penuh dengan kejutan. Apakah ini bisa di bilang kebetulan? Ataukah sebuah takdir?
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Nancy sangat terkejut melihat keadaan Julian yang babak belur dan pesanan yang seharusnya di antarkan sudah tak berbentuk karena preman yang selain menendang sepedanya juga menginjak kue pesanan hingga hancur. Paul yang juga ikut dengannya ke toko kue mengantar Julianpun tak luput dari keterkejutan Nancy."Ada apa dengan kalian? Kenapa wajah kalian penuh luka seperti ini?"Julian dan Paul hanya diam, tidak berani menjawab."Julian! Aku sudah berulang kali memberitahumu untuk tidak meladeni para preman-preman itu!" Nancy meceramahi mereka dengan wajah marah "Kenapa kau tidak mendengarkan kata-kataku, huh!? Dan kau Paul! Bukannya melerai, kau malah ikut-ikutan!"Paul meringkuk, tidak berani menatap wajah Nancy yang mengerikan saat marah
Kecanggungan masih menyelimuti gadis itu meski Julian tampak biasa saja, sepertinya ia sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tak ada percakapan yang terjadi sepanjang perjalanan menuju halte bus. Sebelum pamit pada keluarga Julian, Jinny menolak tawaran Nancy agar Julian mengantarnya sampai halte, namun karena laki-laki itu yang mengiayakan dan tetap akan mengantarnya, Jinny tak bisa berkata apapun.Sesampainya di halte Jinny memutar badan menghadap Julian yang berada beberapa langkah di belakangnya. Dia menatap, tersenyum kaku kemudian menghela napas dalam sebelum membuka mulut.Julian menghentikan langkahnya ketika gadis yang berjalan di depannya berhenti dan memutar badan menghadap ke arahnya. Ia mengangkat alis bingung."Terima kasih" ucapnya setelah memberanikan diri membuka mulut.
Julian mencari tas sekolahnya yang tiba-tiba menghilang. Ia yakin tidak membawa tas itu di saat pelajaran olahraga. Anak laki-laku itu berlari ke menuju loker berharap ia memang lupa dan menaruhnya di sana. Namun nihil, ketika di buka hanya terdapat kertas sampah yang ia tak tahu siapa menaruh sampah-sampah itu di sana. Ia menunduk, pundaknya bergetar. Anak laki-laki tak boleh menangis. Ya, itu yang selalu di tanamkan oleh ayahnya, jika ia meneteskan setitik air mata, maka dia adalah laki-laki yang lemah."Kau baik-baik saja?" Seorang anak laki-laki menepuk pundaknya.Julian menoleh, dan berusaha menyunggingkan senyum."Tas sekolahku hilang""Aku yakin ini ulah Matthew"
Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?"Silahkan masuk"Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat
Jinny menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menyenderkan kepala di punggu sofa dan memejamkan matanya sejenak. Hening. Hanya suara detakan jarum jam dan mesin penghangat ruangan yang terdengar. Ia mengembuskan napas, membuka mata kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia tahu maksud wanita itu menghubunginya, maka dari itu ia lebih baik tak menjawab.Ia baru akan berdiri ketika suara seseorang membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati ibunya masuk bersama dengan seorang pria. Matanya menatap dingin kearah ibunya dan pria itu. Siapa pria berjenggot itu? Apakah dia pacar baru ibunya? Tapi kan, ibu dan ayahnya belum bercerai.Sera Wilson tersenyum pada pria yang berada disampingnya. Ia tidak menyadari keberadaan Jinny yang kini sedang memperhatikan mereka. Langkahnya terhenti ketika akan me
"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny."Akhirnya, kau datang juga""Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah."Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disa
"Jika kau menolak, mengapa kau datang menemuiku?"Joe FernandezJoe Fernandez, ketua Senat sekaligus ketua panitia kegiatan Bazzar kampus sedang menjelaskan struktur kegiatan yang akan berlangsung pada tanggal 10 Januari nanti. Para anggota senat dan juga panita acara memperhatikan Joe mempresentasikan proposal yang akan di ajukan ke pihak universitas. Tak ada yang mampu menyela penjelasan laki-laki itu, semua yang di sampaikannya sudah sangat jelas dan tampak semua setuju dengan rencana Joe pada kegitan Bazzar nanti. Tidak perlu di ragukan bagaimana Joe begitu lugas dan percaya diri dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya."Aku harap kegitan bazzar kali ini berjalan dengan lancar, dan semua ketua seksi yang sudah aku tunjuk untuk bisa menjalankan semua tugas de
Hari minggu tanggal 25 Desember hari ulang tahun Joe Fernandez yang ke dua puluh satu. Jinny sibuk mempersiapkan kejutan untuk Joe, mulai dari membuat makanan ringan, membuat hadiah spesial, dan tidak lupa ia juga sudah mempersiapkan kue ulang tahun yang kemarin malam ia pesan di La Vien Cake. Beruntung saat turun dari bus kemarin malam, ibu Joe menelponnya untuk cepat pulang karena ayahnya akan segera berangkat ke Mexico untuk menjenguk kakeknya yang sedang sakit. Saat itu Jinny merasa lega dan tak perlu menjelaskan apa saja yang sudah ia beli. Sebenarnya saat perjalanan pulang, Jinny mengalihkan pembicaraan agar Joe tidak bertanya lebih lanjut apa yang sedang ia lakukan di tempat kemarin. Jinny mengeluarkan Tourtiere dari oven. Sejak pagi ia sibuk mempelajari resep untuk membuat Tourtiere—makanan favorite Joe—hingga sore menjelang ia baru berhasil membuatnya. A
Julian dan Jinny berlari kecil begitu turun dari bus. Angin bulan desember yang dingin menerpa wajah keduanya, membuat Jinny harus berjalan dengan kepala ditundukkan, begitu juga dengan Julian. Ia mengeratkan pegangannya pada kantong belanjaan yang ia bawa. Julian menjejalkan kedua tangan ke saku jaket tebalnya dan mereka berjalan cepat di sepanjang trotoar ke arah tokoLa Vien Cake.Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu depan berdenting nyaring ketika Julian mendorong pintu dan masuk ke toko kecil yang klasik dengan mengusung gaya vintage. Mereka mengembuskan napas lega ketika rasa hangat di dalam toko mulai menjalari tubuh keduanya."Selamat datang diLa Vien Cake" sapa Clara salah satu karyawan toko kue itu dengan tersenyum ramah menyambut Julian dan Jinny.