“Mama telah mengundang seseorang untuk makan malam bersama kita,” ucap Ibu Arinia sambil menata beberapa peralatan piring di atas meja.
Gariel dan Natalia yang baru saja tiba, saling berpandang dengan wajah kebingungan.
“Siapa yang akan makan malam bersama kita, Ma?”
“Seorang yang akan aku perkenalkan pada kalian berdua.
“Oh ya? Apakah aku kenal orangnya?” tanya Natalia ikut nimbrung sambil meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Lalu dengan santai, dia duduk dan mulai meneguk air putih dalam gelasnya.
“Tidak, kalian tidak mengenalnya sama sekali, tapi orang yang mama undang, akan membawa perubahan dalam keluarga kita.”
Gabriel mengangkat alisnya mengharapkan penjelasan yang lebih lagi, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Ibu Ariani, sang mama, membuat Gabriel dan Natalia langsung terdiam.
“Mama dan papa sudah sangat merindukan cucu, dan kami tidak tahu sampai kapan kalian membuat mama dan papa menunggu kedatangan cucu dalam keluarga ini.”
Pak Ronald, papa dari Gabriel, ikut memandang mereka berdua dengan pandangan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
“Natalia,” bisik Gabriel sambil ikut duduk di samping istrinya menyenggol kaki sang istri dari bawah meja.
Natalia hanya memandang Gabriel dengan sinar mata masa bodoh. Baginya, ucapan ibu Ariani seperti angin lalu saja.
“Apa yang sebenarnya kalian tunggu?” cecar mama geram.
“Natalia masih ingin mengejar mimpi dan cita-citanya, Ma,” terang Gabriel mencoba untuk santai.
Entah sudah berapa kali dia menggunakan alasan itu setiap kali mama dan papanya menanyakan hal itu kepadanya.
Natalia, istri Gabriel adalah seorang wanita yang cantik, modis dan memiliki tubuh yang indah. Dia juga adalah seorang perancang gaun pengantin dan gaun-gaun trendi masa kini.
Karirnya sedang naik daun. Dia memang sudah mewanti-wanti Gabriel dari sejak awal pria itu melamarnya.
Baginya, anak bukanlah tujuan utama dalam sebuah pernikahan. Karir dan mimpinya adalah hal yang terpenting baginya saat ini.
“Karir dan cita-cita bisa kalian kejar kapan saja, tapi anak tidak bisa kalian dapatkan kapan saja.”
Natalia tetap terdiam sambil menatap piring kosong di depannya
“Natalia, kamu jawab dong pertanyaan mama,” desak Gabriel.
Natalia memutar bola matanya dan melengos. Sepertinya dia sengaja melakukan hal itu karena itu adalah topik yang paling dia benci.
“Kami akan mencoba lagi, Ma,” ucap Gabriel dengan setengah senyum.
“Sampai berapa lama kalian akan mencoba? Sampai mama dan papa sudah tidak eksis lagi di dunia ini?”
“Ma!” sentak Gabriel sedikit emosi.
Tentu saja dia tidak mau kehilangan mereka sebelum bisa membahagiakan mereka.
Gabriel dan Natalia sudah menikah selama lima tahun, dan bukan masalah mereka tidak mencoba selama ini, atau pun alat-alat reproduksi mereka tidak berfungsi.
Natalia sendiri pun tidak mau membahas masalah ini. Setiap kali Gabriel mencoba mengungkit topik ini, maka akan berakhir dengan pertengkaran di antara mereka.
Dia selalu mengatakan kalau tubuhnya terlalu indah dan berharga untuk dirusak oleh kehamilan dan persalinan. Setelah melahirkan, tentu ia akan mengalami perubahan kadar hormon yang cukup drastis sehingga akan mempengaruhi fisiknya.
Belum lagi harus terbangun tengah malam karena rengekan bayi. Baginya, anak-anak adalah makhluk mengerikan yang bisa menyedot seluruh energinya seketika dan bla, bla, bla. Itu semua adalah alasan Natalia selama ini.
Selain itu, Natalia sangat menjaga bentuk tubuhnya. Dia bahkan menjadi model untuk gaun-gaun pengantin rancangannya sendiri. Beberapa bulan yang lalu, dia memenangkan sebuah perlombaan rancangan gaun pengantin terbaik. Tapi Natalia belum puas.
Sebelum rancangannya diakui oleh dunia internasional, maka perjalanan karirnya belum sukses. Ambisi dan tekadnya sangat tinggi. Overdosis malah.
“Mama sudah kasih kalian waktu selama dua tahun penuh. DUA TAHUN,” ulang mama.
“Tapi apa yang kalian berikan? Hanyalah janji kosong.”
Glek! Dengan susah payah Gabriel menelan salivanya.
Dia sangat mencintai Natalia dan dia tidak ingin memaksakan kehendaknya pada wanita yang sangat dicintai itu.
“Gabriel, Natalia! Mama dan papa sudah tidak mau menunggu lagi. Jalan satu-satunya adalah dengan meminta wanita lain untuk memberikan cucu bagi keluarga ini.”
“Hah? Apa, Pa?” tanya Gabriel kaget seakan-akan ucapan papa tidak jelas baginya.
Dia menoleh ke arah Natalia, dan anehnya tidak bereaksi sama sekali, seakan-akan ucapan Papa hanya sebuah iklan susu bayi di layar televisi. Iklan televisi yang paling dibenci Natalia karena itu hanya mengingatkan dia akan tuntutan dari kedua orang tua Gabriel.
“Apa kurang jelas apa yang papa ucapkan tadi?”
Baru saja Gabriel hendak menjawab, Natalia akhirnya buka suara juga.
“Sudah sangat jelas, Pa. Kami akan pikirkan hal itu.”
Gabriel menatap Natalia dengan pandangan aneh. Biasanya seorang istri akan meraung-raung dan tidak terima kalau akan diduakan. Tapi kenapa dia malah menanggapinya seperti itu adalah masalah sepele?
“Lihat tuh, Gabriel! Sepertinya Natalia sudah setuju tentang hal ini,” cetus mama dengan senyum sumringah.
“Tidak! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menduakan Natalia,” ucap Gabriel tegas.
Natalia tersenyum miring melihat reaksi Gabriel. Dia seakan menikmati drama keluarga yang terjadi saat itu.
Dengan anggun, dia meraih kembali gelas yang berisi air dingin di depannya dan meneguknya pelan.
Tentu saja dia tetap bersikap tenang. Natalia tahu bahwa Gabriel sangat mencintainya.
“Kalian setuju atau tidak, mama dan papa sudah mempersiapkan seorang wanita untuk menggantikan tugas Natalia. Dia yang akan memberikan cucu di keluarga ini.”
Gabriel mencoba menahan diri untuk tidak loncat dari tempat duduknya.
“Mama dan papa tidak bisa bertindak tanpa persetujuan aku dan Natalia.”
Tangan Gabriel gemetar karena hawa panas yang mendidih di rongga dadanya. Sampai mati pun, dia tidak akan pernah mengkhianati Natalia.
“Terlambat! Wanita itu sedang dalam perjalanan ke sini. Mama mengundangnya untuk makan malam bersama kita. Sebentar lagi dia akan tiba.”
Ucapan mama membuat emosi Gabriel semakin memuncak.
Dia mengatupkan mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor pada kedua orang yang sangat dihormatinya.
“Natalia dan aku tidak setuju.”
Gabriel memandang Natalia untuk mendapatkan sedikit dukungan. Namun, dia malah menunduk dan menghindari tatapan Gabriel.
‘Kenapa hari ini semua orang-orang seperti tidak berpihak kepadaku?’
“Ayo pulang!” ujar Gabriel sambil mengulurkan tangan ke arah Natalia.
‘Dari pada aku marah lalu menyakiti hati mama dan papa, mending aku pergi sini dan menenangkan hatiku yang panas,’ batin Gabriel.
Natalia menyambut uluran tangan suaminya dan berdiri. Tubuhnya yang indah mengikuti langkah kaki panjang Gabriel
“Maaf, Ma, Pa. Kami menolak semua rencana ini.”
Dengan tergesa-gesa, Gabriel menarik Natalia dari hadapan mereka.
“Baiklah! Kalau kalian keras kepala, maka semua fasilitas dan perusahaan yang kalian kelola selama ini, akan mama tarik semua.”
Kata-kata mama, sontak menghentikan langkah kaki mereka berdua.
Natalia menatap suaminya dengan kening berkerut. Dia berpura-pura merapatkan gandengan tangannya di lengan Gabriel dan berbisik pelan.
‘Katakan sesuatu yang bisa membuat mereka tenang.’
Seperti kerbau dicucuk hidung, Gabriel menuruti perintah Natalia.
“Beri kami waktu, Ma. Lagi pula kami berdua masih muda dan masih mempunyai banyak kesemp…”
“Kalian berdua memang masih muda, tapi kami berdua yang sudah tidak muda lagi,” potong mama sarkas.
Gabriel melonggarkan dasinya yang sekarang terasa seperti mencekik lehernya. Sehari-hari bekerja sebagai CEO menuntutnya untuk selalu berpakaian rapi. Natalia selalu memilihkan pakaian dan dasi yang cocok untuknya..
Wanita itu sangat mengutamakan penampilan. Baginya, penilaian orang akan penampilan dan pakaian yang mereka kenakan adalah segala-galanya.
Ting-tong!
Bunyi bel pintu depan seakan menghentikan putaran waktu.
“Akhirnya orang yang mama tunggu datang juga.”
Mama bergegas menuju pintu depan dan membukakan pintu untuk tamu yang tak diundang.
“Ayo, masuk!” Terdengar suara mama yang begitu riang seolah yang datang adalah tamu agung atau seorang putri raja.
Gabriel berdiri dengan gelisah dan dia bisa rasakan ketegangan Natalia dalam genggaman tangannya.
Mereka berdua berdiri sambil memandang pada satu titik yang sama. Koridor masuk.
***
Kukuatkan hatiku untuk menerima undangan makan malam dari keluarga Angkasa. Hari ini aku akan dikenalkan pada pasangan suami istri yang mana aku akan menhasilkan anak untuk mereka.
'Hah! Kesialan apa yang telah menimpaku sehingga aku terjebak dalam situasi ini?'
Kutekan bel pintu di depanku dan menunggu seseorang yang akan membukakan pintu bagiku. Namun, seandainya aku punya pilihan lain, maka aku memilih untuk kabur dari situasi ini.
"Hello, Nona Grace!" sapa Ibu Ariani dengan senyuman lebar. Terlihat sekali wanita paruh baya itu begitu senang dengan kedatanganku.
"Hello, Ibu Ariani!" sapaku seadanya.
"Ayo masuk."
Aku mengangguk singgat dan berjalan di sampingnya.
Dari ruang tamu, Aku bisa melihat dua pasang mata yang menatapku tajam seakan ingin mengusirku dari hadapan mereka.
Aku ragu, tapi akhiirnya kembali kuputuskan untuk mengikuti langkah kaki Ibu Ariani ke dalam ruang tamu yang sangat mewah.
“Hello semua,” sapaku pelan.
Pria di depanku, menatapku sinis dan merangkul mesra wanita cantik yang ada di samping. Dengan sengaja dia menunjukkan padaku kemesraan mereka berdua.
‘Apakah mereka pasangan suami istri yang akan diperkenalkan padaku?’
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”
Bersambung…
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”Aku tersenyum kepada pasangan di depanku. Gabriel menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, sedangkan Natalia membuang wajahnya dengan sikap acuh tak acuh.Kuulurkan tanganku dan mengajak mereka berkenalan, tapi rupanya bendera perang sudah berkibar di antara kami sejak kedatanganku. Mereka hanya menyentuh tanganku tanpa benar-benar menggenggamnya.“Hello, Nona Grace. Selamat datang di tempat kediaman kami.”Pak Ronald menyambutku itu dengan hangat dan itu sudah cukup membuatku terhibur.Gabriel berdiri dengan resah. Dia tidak pernah melihat papa menyambut Natalia sehangat itu. Well, mungkin pernah, tapi itu sudah lama sekali. Sejak Natalia menolak untuk memberikan cucu bagi mereka, sikap mama dan papa sudah tidak sehangat dulu lagi terhadap Natalia.“Keputusan mama dan papa sudah bulat. Grace adalah wanita yang tepat untuk memberikan cucu yang kami inginkan.”Gabriel menahan emosinya sekuat tenaga
“Kamu tidak perlu tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tugasku adalah melahirkan seorang cucu bagi keluargamu," jawabku pelan tapi syarat dengan sindiran.“Dengan menjual tubuhmu, begitu ‘kah?” tanya Gabriel sinis. Gabriel tidak bisa menyembunyikan pandangan benci dan muak melihat wajahku.“Kalau kau menyebut itu sebagai ‘jual diri,’ ucapku sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengah seperti tanda kutip dua. “Silahkan saja, Tuan sombong dan angkuh.”Wajah Gabriel memerah mendengar aku menyebutnya sebagai Tuan sombong dan angkuh.“Sebutkan saja berapa jumlah uang yang kamu terima dari mama?”“Maaf, aku tidak bisa.”Hilang sudah kesabaran Gabriel. Dia mencekal lenganku dan menarikku dengan kasar mendekat ke arahnya.“Heh! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi sehingga kamu melakukan perbuatan ini dan merusak kebahagiaan kami?”Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria songok satu ini.“Dasar perempuan murahan!”
“Baiklah. Aku menyetujui permintaan Mama dan Papa."Walaupun sempat tercengang sebentar, tapi senyum kebahagiaan langsung terlukis di wajah Ibu Ariani dan Pak Ronald. Mereka langsung berpelukan bahagia.Aku berusaha untuk tersenyum seadanya. Dengan ekor mataku aku melirik Natalia. Dia ternyata sedang menatapku dengan sebuah senyuman mencibir di kedua sudut bibirnya.“Tetapi aku mempunyai satu pertanyaan terakhir.”Senyum Ibu Ariani dan Pak Ronald langsung lenyap seketika itu juga.“Perihal apa yang ingin kamu tanyakan?”Ibu Ariani menatap anak laki-lakinya dengan tajam. “Mama pungut perempuan ini dari mana, sih?”“Uhuk!!!” Natalia yang tadinya diam saja, langsung terbatuk dan terdengar suara kikikan kecilnya. Sepertinya dia senang sekali melihat Gabriel menghinaku.Pandangan tajam ibu Ariani beralih kepada Natalia sehingga dia langsung bungkam.“Apa maksud dari ucapanmu itu, Gabriel?”“Maksud aku, dia kan rela melakukan apa saja demi uang. Apa mama dan papa sudah yakin kalau dia pere
“Buka bajumu!” perintah Gabriel tiba-tiba.Aku berdiri dengan mata membelalak seakan tidak percaya dengan ucapan pria itu. Belum hilang rasa terkejutku, Gabriel menarik tanganku dengan kasar dan mendorongku ke tembok.“Mari kita buat cucu sebanyak mungkin,” ucap Gabriel sambil mengendus-ngendus tubuhku dengan cara yang begitu dominan. ‘Sial, kenapa aroma tubuhnya membuat libidoku naik? Tadinya aku muak melihat wanita ini, tapi tubuhnya yang terbalut malam yang seksi, membuat hasratku bergejolak,’ keluh Gabriel menyesali sikapnya.“Kamu mau lepas sendiri baju sialan ini, atau aku yang akan melepasnya?” desah Gabriel tak sadarkan diri.“M-maksud kamu?”Gabriel menempelkan tubuhnya yang panas pada tubuhku. Begitu rapat. Seakan ingin membakar-ku hidup-hidup dengan hasratnya yang entah berasal dari mana.“Gabriel….”Kudengar suara ketakutan dari bibirku sendiri. Ya, aku wanita yang akan menjadi orang kedua dalam rumah tangganya.“Bukankah ini yang kau inginkan?”“Aku….”“Kau ingin agar ki
Natalia mematikan mesin mobil dan menyandarkan tubuh indahnya di jok mobil yang terlihat sangat nyaman. Dia masih resah dan terluka akibat pertengkaran yang telah terjadi antara dia dan Gabriel beberapa jam yang lalu. “Apa yang Gabriel lakukan sekarang?” gumam Natalia sambil menatap ke arah jendela kamar mereka dari tempat parkir. “Lampu kamar masih menyala. Apakah Gabriel sedang menungguku?” Seulas senyum melengkung di kedua sudut bibirnya. “Aku mau masuk dan pura-pura ngambek. Siapa suruh dia membuatku cemburu dan marah.” Natalia membuka pintu mobil dengan hati-hati dan melakukan hal yang sama saat dia menutupnya. Dengan pelan-pelan, dia memasuki lorong menuju ruang tamu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara-suara ribut di kamar tamu lantai satu. Natalia tersentak kaget. Suara berat itu terdengar dari arah kamar Grace. Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. "Ahh, Natalia!!!” teriak Gabriel lantang dan keras. Deg! Seluruh persendian tubuhnya lu
Pov GraceAku mengangkat tubuhku yang terasa remuk setelah perbuatan Gabriel yang buas. Dengan memaksakan diri, aku berjalan dengan tertatih-tatih dan mencoba untuk melangkah ke kamar mandi. Rasa sakit dan perih di antara kedua pangkal pahaku membuatku meringis dan berhenti sebentar sebelum aku meraih pintu kamar mandi.Bayanganku akan malam pertama yang romantis, penuh cinta, kelembutan, belaian dan gairah, ternyata itu semua hanya mimpi indah belaka.Apa yang aku rasakan sekarang benar-benar menyakitkan. Seluruh tubuhku terasa remuk. Bagian intimnya terkoyak-koyak dengan buas dan sadis tanpa perasaan. Tapi dari semua itu, kehilangan harga dirinya sebagai seorang wanita dan itu jauh lebih sakit.‘Ya Tuhan, sekejam inikah rasanya kehidupan yang harus aku jalani? Setelah dia puas dan meneriakkan nama istrinya, dia mencampakkanku begitu saja.’Sakit. Ini yang aku rasakan saat ini. Kecewa menyelimuti seluruh pikiranku. Andai aku tahu kejadiannya akan semenyakitkan ini., tentu aku tidak
“Natalia,” panggil Gabriel pelan begitu dia memasuki kamar. Untunglah Natalia tidak mengunci pintu kamar.“Kenapa kamu tidak tidur saja dengannya?” tanya Natalia dingin Dia bahkan tidak mau memandang wajah Gabriel. Rasa sakit karena melihat Gabriel membela Grace di depan batang hidungnya, membuat darahnya masih mendidih. Dia butuh waktu untuk bisa memaafkan tindakan Gabriel tadi.“Kamu istriku, Natalia, bukan dia. Aku mau bersamamu seperti biasanya.”“Ehem, apa katamu tadi? Istri? Well, ajarin dulu juniormu itu untuk mengenal istrinya sendiri. Jangan semua lubang dimasuki.”Kata-kata Natalia terdengar begitu pedas di telinga Gabriel, tapi dia hanya berdiri dan terdiam karena merasa bersalah pada wanita yang telah dia nikahi selama bertahun-tahun itu.“I am really, really sorry, Natalia,” ucap Gabriel lirih.“Simpan ucapan sorry dan rasa bersalahmu, Gabriel. By the way, aku tidak mau tidur seranjang denganmu malam ini.”“Kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti itu.""Lalu?""Aku mau t
Teriakan Natalia yang nyaring dan bunyi dentuman di pintu kamarku, sukses membangunkanku. Kukumpulkan tenaga yang tersisa dan dengan langkah tertatih-tatih, aku beranjak menuju pintu kamar. Begitu aku membuka pintu, aku meringis kaget. Perih. Ya, itu yang aku rasakan. Pecahan beling menusuk telapak kakiku sehingga darah segar mengalir dari sana dan membuatku pusing dan mual.Gabriel yang sedang memeluk Natalia dengan kuat agar wanita itu tidak menerjangku, langsung melepas pelukannya. Dia melompat dan hendak menolongku yang hampir terjatuh, tapi langsung ditahan oleh Natalia.“Mau ke mana kamu, huh?” ucap Natalia sinis sambil mencengkram lengan Gabriel.“Kamu tidak lihat kalau Grace sedang terluka?” protes Gabriel dengan wajah heran melihat kelakuan istrinya.“Trus? Apa hubungannya dengan kita? Kamu kira aku peduli? Listen, ya… I DON’T CARE!” “Ouucch,” ringisku sambil melompat ke arah lain dengan salah satu kakiku yang tidak tertusuk pecahan beling. Darahku mengalir semakin banyak.“
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,