Share

Bab 2. Perjanjian

Bab 2. Perjanjian

Masih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi. 

“Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.” 

Kepanikan melandaku.

“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”

Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.

“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”

Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani. 

‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.

‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’

‘Ini dengan Grace.’

‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’

Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.

‘Berani-beraninya mereka menanyakan kabarku setelah menjebakku seperti ini,’ jeritku dalam hati.

‘Kabarku buruk setelah membaca kontrak dan perjanjian yang telah dikirim kepadaku. Aku tidak bersedia meminjamkan rahimku atau menjadikannya sebagai pabrik penghasil cucu untuk keluarga Ibu.”

“Itu semua sudah ada di perjanjian, dan Nona sendiri sudah menandatanganinya.’

‘Tapi itu tidak adil! Aku menandatanganinya sebelum membaca kontrak.’

‘Nasi sudah menjadi bubur, Nona. Kalau Nona tidak menerima perjanjian ini, maka tolong lunasi hutang Nona sekarang.’

Aku hanya bisa memaki-maki dalam hati.

‘Aku mengerti kondisi Nona Grace saat ini. Tapi coba pahami dulu isi perjanjian dalam kontrak tersebut. Begitu banyak keuntungan yang akan Nona dapatkan. Bahkan semua biaya pengobatan dan masa depan keluarga Nona akan kami tanggung sepenuhnya.’

‘Oh, really? Dan semua itu aku dapatkan dengan menjual rahimku?’ ucapku sinis.

‘Meminjamkan dan menjual, itu adalah dua hal yang berbeda, Nona.’

‘Sama saja! Rahim ini adalah milikku dan aku tidak akan pernah meminjamkannya kepada siapa pun juga.

‘Begini saja Nona. Baca dan pahami lagi isi perjanjian kita. Gunakan waktu sebaik mungkin. Aku beri Nona waktu satu bulan untuk memikirkan semua itu.’

‘Maaf! Sekali aku bilang tidak, berarti jawabannya tidak. Selamat pagi dan terima kasih.’

Aku menutup panggilan telepon dan meletakkan ponselku dengan kasar di atas wastafel.

“Sial! Bagaimana caranya agar aku terlepas dari perjanjian setan ini?” dengusku kesal.

Aku berjalan mondar-mandir dalam kamar mandi.

“Apakah aku harus menjual semua harta yang kami punya? Tapi apakah dengan menjual semua itu akan cukup untuk melunasi hutang kami?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini, semua jalan terasa buntu. Kuputuskan untuk keluar dari kamar mandi.

“Aku masih punya waktu beberapa minggu lagi. Semoga ada jalan keluar,” ucapku optimis.

Waktu berjalan terasa cepat, dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu Ariani dan pak Ronald. Uang pinjaman dan hasil menjaminkan perusahaan tidak pernah cukup untuk memenuhi pengeluaran dan perawatan kedua orang tuaku. 

Papa masih dalam kondisi koma setelah operasi. Ia masih terus memakai alat bantu pernapasan yang menjadi penghubung antara kehidupan dan kematian. 

Kerusakan otak akibat benturan kepala yang mengenai setir mobil, telah membuatnya koma, sedangkan kondisi mama sudah agak membaik. Namun, mama mengalami kelumpuhan total pada kedua kakinya.

Biaya dan kebutuhan hidup semakin membengkak, apa lagi, sudah hampir tiga minggu tidak ada pemasukan sama sekali. 

Minggu yang lalu, aku sudah menjual rumah tercinta kami. Rumah yang dibangun oleh keringat dan darah. Mama dan papa memang memiliki asuransi, tapi itu juga tidak cukup untuk membantu masalah keuangan yang sedang aku hadapi. Aku memutuskan untuk mencari angin segar di taman rumah sakit.

“Nona Grace …, bisa kita bicara sebentar?”

Dokter Mikael menghampiriku  yang sedang duduk galau di taman. 

Saat itu aku sedang bingung bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya inap dan perawatan mama dan papa.

“Apakah mama dan papa baik-baik saja?” tanyaku panik.

“Mereka baik-baik saja. Bisakah kita bicara di kantor saya?”

“Baik, Dokter.”

Aku mengikuti Dokter Mikael dan duduk dengan wajah suram di depannya.

“Kondisi pak David belum ada perubahan yang terlalu signifikan. Beliau masih koma. Peralatan dan biaya pengobatannya tidak sedikit.”

“Apa maksud Dokter? Aku masih sanggup untuk membayar semua biaya perawatan,” ketusku dengan wajah sinis.

“Saya tahu, Nona. Tapi sampai kapan?”

“Sampai mereka sembuh!” jawabku keras kepala.

“Saya mendapat laporan dari pihak administrasi kalau Nona belum membayar biaya inap dan perawatan selama dua minggu.”

Dengan gusar, aku meremas-remas tanganku. Harga diriku serasa diinjak-injak sampai hancur tak berbentuk.

“Aku akan segera membayarnya. Pihak rumah sakit, dokter dan perawat hanya perlu menjalankan tugasnya.”

“Kami tidak pernah lalai menjalankan tugas kami, Nona. Namun, harus ada kerja sama juga dari pihak keluarga.”

“Beri aku waktu satu minggu lagi, maka akan aku melunasi semua tagihan rumah sakit.”

Selain sebagai dokter spesialis  bedah, dokter Mikael juga merupakan pemimpin dari rumah sakit Harapan Sehat.

Beliau menatapku prihatin.

“Baik, Nona. Kami akan beri waktu satu minggu lagi.”

“Terima kasih.”

Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari ruangan dokter Mikael. Hatiku kalut. Entah dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. 

Aku kembali teringat akan tawaran Ibu Ariani dan Pak Ronald. 

“No, no, no. Aku sudah gila rupanya,” sentakku kesal.

“Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Tolong berikan aku jalan keluar yang terbaik,” doaku singkat.

Aku kembali memasuki kamar kedua orang tuaku. Baru saja aku hendak meraih botol minuman di depanku, beberapa perawat masuk dan mulai membersihkan kamar.

“Ada apa ini?” tanyaku kebingungan.

“Maaf, Nona. Ini, silahkan dibaca.”

Salah satu dari mereka menyerahkan surat yang resmi dari rumah sakit Harapan Sehat. Di sana tertera kalau kedua orang tuaku akan dipindahkan ke kamar inap biasa. 

Sebenarnya itu tidak masalah bagiku, tapi dengan kondisi mama dan papa yang membutuhkan ketenangan saat ini, tentu itu akan berpengaruh pada psikologi mereka.

“Sebentar! Kalian tidak bisa seenaknya memindahkan mereka begitu saja.”

“Ini sudah merupakan kebijakan dari pihak rumah sakit, Nona.”

“Beri aku waktu satu hari. Aku akan melunasi semua hutangku.”

“Tapi ini bukan masalah biaya kamar inap saja, Nona. Obat-obat dan oksigen yang digunakan oleh pak David, membutuhkan biaya yang luar biasa.”

“Jadi maksud kalian, oksigen ini juga akan dicabut?”

“Dengan berat hati, kalau Nona tidak menyelesaikan pembayaran, maka kami tidak bisa memberikan tabung oksigen gratis setiap hari.”

“Apa? Bagaimana papaku bisa bertahan hidup kalau tabung oksigen dicabut?”

“Saya hanya menjalankan tugas, Nona.”.

Aku meraup wajahku dengan kasar. Rumah, mobil, perusahaan dan perhiasan sudah terjual. Aku bahkan rela makan satu kali sehari agar uang yang tersisa bisa aku gunakan untuk membayar biaya pengobatan.

Satu-satunya barang berharga yang tersisa di adalah kalung berlian hadiah ulang tahun dari mama dan papa saat aku berusia dua puluh dua tahun. 

Mungkin sebentar lagi aku akan menjual kalung ini beserta gawai mahal milik kami bertiga. 

“Tunggu sebentar, Suster. Aku akan bicara dengan dokter Mikael.”

“Dokter Mikael memang pemimpin di rumah sakit ini. Dia sudah berusaha membantu dan memahami kondisi yang Nona alami, tapi beberapa kepala bagian rumah sakit tidak setuju dan sudah memutuskan seperti yang tertera di surat ini.”

“Beri aku waktu sepuluh menit. Aku akan melunasi semua hutangku.”

Perawat itu menatapku dengan ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk setuju.

Dengan gegas, aku meraih ponsel dan mengambil kartu nama ibu Ariani. Aku membuang gengsi dan rasa maluku. Apa pun akan melakukan apa pun untuk kedua orang tuaku agar mereka mendapatkan pengobatan yang maksimal dan segera keluar dari kondisi kritis ini.

Setelah selesai menelpon ibu Ariani dan menyanggupi segala syarat yang dia tentukan, sejumlah uang masuk ke dalam rekening-ku saat itu juga. Akhirnya aku bisa bernapas lega walaupun aku harus membayar mahal semua itu dengan pengorbananku. 

Aku menyewakan rahimku kepada sepasang suami istri. Ini benar-benar tindakan gila yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Tapi bagaimana lagi. Aku akan melakukan apa saja agar kedua orang tuaku sembuh.

Satu minggu lagi aku melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan untuk memastikan bahwa cucu yang akan kulahirkan untuk keluarga Angkasa nanti adalah cucu yang sehat dan kuat. 

Setelah itu, mereka akan mengundangku makan malam untuk memperkenalkanku kepada pasangan suami istri tersebut. Entah mereka itu siapa, aku tidak mau memikirkannya untuk saat ini.

Bersambung…

Komen (30)
goodnovel comment avatar
Yanti5699
kasian kamu Grace,,ga ada pilihan lain selain menerima semua itu Karna biyaya orang tuamu ga sedikit
goodnovel comment avatar
haniah Nia
tidak ada jalan lain bagi Grace, selain menyetujui syarat dari ibu Ariani demi menolong kedua orang tuanya
goodnovel comment avatar
Yasna Malaika
malangnya nasib Grace tapi aku salutvsama Grace semangat grace
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status