Bab 2. Perjanjian
Masih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi.
“Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.”
Kepanikan melandaku.
“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”
Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.
“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”
Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani.
‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.
‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’
‘Ini dengan Grace.’
‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’
Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.
‘Berani-beraninya mereka menanyakan kabarku setelah menjebakku seperti ini,’ jeritku dalam hati.
‘Kabarku buruk setelah membaca kontrak dan perjanjian yang telah dikirim kepadaku. Aku tidak bersedia meminjamkan rahimku atau menjadikannya sebagai pabrik penghasil cucu untuk keluarga Ibu.”
“Itu semua sudah ada di perjanjian, dan Nona sendiri sudah menandatanganinya.’
‘Tapi itu tidak adil! Aku menandatanganinya sebelum membaca kontrak.’
‘Nasi sudah menjadi bubur, Nona. Kalau Nona tidak menerima perjanjian ini, maka tolong lunasi hutang Nona sekarang.’
Aku hanya bisa memaki-maki dalam hati.
‘Aku mengerti kondisi Nona Grace saat ini. Tapi coba pahami dulu isi perjanjian dalam kontrak tersebut. Begitu banyak keuntungan yang akan Nona dapatkan. Bahkan semua biaya pengobatan dan masa depan keluarga Nona akan kami tanggung sepenuhnya.’
‘Oh, really? Dan semua itu aku dapatkan dengan menjual rahimku?’ ucapku sinis.
‘Meminjamkan dan menjual, itu adalah dua hal yang berbeda, Nona.’
‘Sama saja! Rahim ini adalah milikku dan aku tidak akan pernah meminjamkannya kepada siapa pun juga.’
‘Begini saja Nona. Baca dan pahami lagi isi perjanjian kita. Gunakan waktu sebaik mungkin. Aku beri Nona waktu satu bulan untuk memikirkan semua itu.’
‘Maaf! Sekali aku bilang tidak, berarti jawabannya tidak. Selamat pagi dan terima kasih.’
Aku menutup panggilan telepon dan meletakkan ponselku dengan kasar di atas wastafel.
“Sial! Bagaimana caranya agar aku terlepas dari perjanjian setan ini?” dengusku kesal.
Aku berjalan mondar-mandir dalam kamar mandi.
“Apakah aku harus menjual semua harta yang kami punya? Tapi apakah dengan menjual semua itu akan cukup untuk melunasi hutang kami?”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini, semua jalan terasa buntu. Kuputuskan untuk keluar dari kamar mandi.
“Aku masih punya waktu beberapa minggu lagi. Semoga ada jalan keluar,” ucapku optimis.
Waktu berjalan terasa cepat, dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu Ariani dan pak Ronald. Uang pinjaman dan hasil menjaminkan perusahaan tidak pernah cukup untuk memenuhi pengeluaran dan perawatan kedua orang tuaku.
Papa masih dalam kondisi koma setelah operasi. Ia masih terus memakai alat bantu pernapasan yang menjadi penghubung antara kehidupan dan kematian.
Kerusakan otak akibat benturan kepala yang mengenai setir mobil, telah membuatnya koma, sedangkan kondisi mama sudah agak membaik. Namun, mama mengalami kelumpuhan total pada kedua kakinya.
Biaya dan kebutuhan hidup semakin membengkak, apa lagi, sudah hampir tiga minggu tidak ada pemasukan sama sekali.
Minggu yang lalu, aku sudah menjual rumah tercinta kami. Rumah yang dibangun oleh keringat dan darah. Mama dan papa memang memiliki asuransi, tapi itu juga tidak cukup untuk membantu masalah keuangan yang sedang aku hadapi. Aku memutuskan untuk mencari angin segar di taman rumah sakit.
“Nona Grace …, bisa kita bicara sebentar?”
Dokter Mikael menghampiriku yang sedang duduk galau di taman.
Saat itu aku sedang bingung bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya inap dan perawatan mama dan papa.
“Apakah mama dan papa baik-baik saja?” tanyaku panik.
“Mereka baik-baik saja. Bisakah kita bicara di kantor saya?”
“Baik, Dokter.”
Aku mengikuti Dokter Mikael dan duduk dengan wajah suram di depannya.
“Kondisi pak David belum ada perubahan yang terlalu signifikan. Beliau masih koma. Peralatan dan biaya pengobatannya tidak sedikit.”
“Apa maksud Dokter? Aku masih sanggup untuk membayar semua biaya perawatan,” ketusku dengan wajah sinis.
“Saya tahu, Nona. Tapi sampai kapan?”
“Sampai mereka sembuh!” jawabku keras kepala.
“Saya mendapat laporan dari pihak administrasi kalau Nona belum membayar biaya inap dan perawatan selama dua minggu.”
Dengan gusar, aku meremas-remas tanganku. Harga diriku serasa diinjak-injak sampai hancur tak berbentuk.
“Aku akan segera membayarnya. Pihak rumah sakit, dokter dan perawat hanya perlu menjalankan tugasnya.”
“Kami tidak pernah lalai menjalankan tugas kami, Nona. Namun, harus ada kerja sama juga dari pihak keluarga.”
“Beri aku waktu satu minggu lagi, maka akan aku melunasi semua tagihan rumah sakit.”
Selain sebagai dokter spesialis bedah, dokter Mikael juga merupakan pemimpin dari rumah sakit Harapan Sehat.
Beliau menatapku prihatin.
“Baik, Nona. Kami akan beri waktu satu minggu lagi.”
“Terima kasih.”
Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari ruangan dokter Mikael. Hatiku kalut. Entah dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Aku kembali teringat akan tawaran Ibu Ariani dan Pak Ronald.
“No, no, no. Aku sudah gila rupanya,” sentakku kesal.
“Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Tolong berikan aku jalan keluar yang terbaik,” doaku singkat.
Aku kembali memasuki kamar kedua orang tuaku. Baru saja aku hendak meraih botol minuman di depanku, beberapa perawat masuk dan mulai membersihkan kamar.
“Ada apa ini?” tanyaku kebingungan.
“Maaf, Nona. Ini, silahkan dibaca.”
Salah satu dari mereka menyerahkan surat yang resmi dari rumah sakit Harapan Sehat. Di sana tertera kalau kedua orang tuaku akan dipindahkan ke kamar inap biasa.
Sebenarnya itu tidak masalah bagiku, tapi dengan kondisi mama dan papa yang membutuhkan ketenangan saat ini, tentu itu akan berpengaruh pada psikologi mereka.
“Sebentar! Kalian tidak bisa seenaknya memindahkan mereka begitu saja.”
“Ini sudah merupakan kebijakan dari pihak rumah sakit, Nona.”
“Beri aku waktu satu hari. Aku akan melunasi semua hutangku.”
“Tapi ini bukan masalah biaya kamar inap saja, Nona. Obat-obat dan oksigen yang digunakan oleh pak David, membutuhkan biaya yang luar biasa.”
“Jadi maksud kalian, oksigen ini juga akan dicabut?”
“Dengan berat hati, kalau Nona tidak menyelesaikan pembayaran, maka kami tidak bisa memberikan tabung oksigen gratis setiap hari.”
“Apa? Bagaimana papaku bisa bertahan hidup kalau tabung oksigen dicabut?”
“Saya hanya menjalankan tugas, Nona.”.
Aku meraup wajahku dengan kasar. Rumah, mobil, perusahaan dan perhiasan sudah terjual. Aku bahkan rela makan satu kali sehari agar uang yang tersisa bisa aku gunakan untuk membayar biaya pengobatan.
Satu-satunya barang berharga yang tersisa di adalah kalung berlian hadiah ulang tahun dari mama dan papa saat aku berusia dua puluh dua tahun.
Mungkin sebentar lagi aku akan menjual kalung ini beserta gawai mahal milik kami bertiga.
“Tunggu sebentar, Suster. Aku akan bicara dengan dokter Mikael.”
“Dokter Mikael memang pemimpin di rumah sakit ini. Dia sudah berusaha membantu dan memahami kondisi yang Nona alami, tapi beberapa kepala bagian rumah sakit tidak setuju dan sudah memutuskan seperti yang tertera di surat ini.”“Beri aku waktu sepuluh menit. Aku akan melunasi semua hutangku.”
Perawat itu menatapku dengan ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk setuju.
Dengan gegas, aku meraih ponsel dan mengambil kartu nama ibu Ariani. Aku membuang gengsi dan rasa maluku. Apa pun akan melakukan apa pun untuk kedua orang tuaku agar mereka mendapatkan pengobatan yang maksimal dan segera keluar dari kondisi kritis ini.
Setelah selesai menelpon ibu Ariani dan menyanggupi segala syarat yang dia tentukan, sejumlah uang masuk ke dalam rekening-ku saat itu juga. Akhirnya aku bisa bernapas lega walaupun aku harus membayar mahal semua itu dengan pengorbananku.
Aku menyewakan rahimku kepada sepasang suami istri. Ini benar-benar tindakan gila yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Tapi bagaimana lagi. Aku akan melakukan apa saja agar kedua orang tuaku sembuh.
Satu minggu lagi aku melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan untuk memastikan bahwa cucu yang akan kulahirkan untuk keluarga Angkasa nanti adalah cucu yang sehat dan kuat.
Setelah itu, mereka akan mengundangku makan malam untuk memperkenalkanku kepada pasangan suami istri tersebut. Entah mereka itu siapa, aku tidak mau memikirkannya untuk saat ini.
Bersambung…
“Mama telah mengundang seseorang untuk makan malam bersama kita,” ucap Ibu Arinia sambil menata beberapa peralatan piring di atas meja.Gariel dan Natalia yang baru saja tiba, saling berpandang dengan wajah kebingungan. “Siapa yang akan makan malam bersama kita, Ma?” “Seorang yang akan aku perkenalkan pada kalian berdua.“Oh ya? Apakah aku kenal orangnya?” tanya Natalia ikut nimbrung sambil meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Lalu dengan santai, dia duduk dan mulai meneguk air putih dalam gelasnya.“Tidak, kalian tidak mengenalnya sama sekali, tapi orang yang mama undang, akan membawa perubahan dalam keluarga kita.”Gabriel mengangkat alisnya mengharapkan penjelasan yang lebih lagi, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Ibu Ariani, sang mama, membuat Gabriel dan Natalia langsung terdiam.“Mama dan papa sudah sangat merindukan cucu, dan kami tidak tahu sampai kapan kalian membuat mama dan papa menunggu kedatangan cucu dalam keluarga ini.”Pak Ronald, papa dari Gabrie
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”Aku tersenyum kepada pasangan di depanku. Gabriel menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, sedangkan Natalia membuang wajahnya dengan sikap acuh tak acuh.Kuulurkan tanganku dan mengajak mereka berkenalan, tapi rupanya bendera perang sudah berkibar di antara kami sejak kedatanganku. Mereka hanya menyentuh tanganku tanpa benar-benar menggenggamnya.“Hello, Nona Grace. Selamat datang di tempat kediaman kami.”Pak Ronald menyambutku itu dengan hangat dan itu sudah cukup membuatku terhibur.Gabriel berdiri dengan resah. Dia tidak pernah melihat papa menyambut Natalia sehangat itu. Well, mungkin pernah, tapi itu sudah lama sekali. Sejak Natalia menolak untuk memberikan cucu bagi mereka, sikap mama dan papa sudah tidak sehangat dulu lagi terhadap Natalia.“Keputusan mama dan papa sudah bulat. Grace adalah wanita yang tepat untuk memberikan cucu yang kami inginkan.”Gabriel menahan emosinya sekuat tenaga
“Kamu tidak perlu tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tugasku adalah melahirkan seorang cucu bagi keluargamu," jawabku pelan tapi syarat dengan sindiran.“Dengan menjual tubuhmu, begitu ‘kah?” tanya Gabriel sinis. Gabriel tidak bisa menyembunyikan pandangan benci dan muak melihat wajahku.“Kalau kau menyebut itu sebagai ‘jual diri,’ ucapku sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengah seperti tanda kutip dua. “Silahkan saja, Tuan sombong dan angkuh.”Wajah Gabriel memerah mendengar aku menyebutnya sebagai Tuan sombong dan angkuh.“Sebutkan saja berapa jumlah uang yang kamu terima dari mama?”“Maaf, aku tidak bisa.”Hilang sudah kesabaran Gabriel. Dia mencekal lenganku dan menarikku dengan kasar mendekat ke arahnya.“Heh! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi sehingga kamu melakukan perbuatan ini dan merusak kebahagiaan kami?”Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria songok satu ini.“Dasar perempuan murahan!”
“Baiklah. Aku menyetujui permintaan Mama dan Papa."Walaupun sempat tercengang sebentar, tapi senyum kebahagiaan langsung terlukis di wajah Ibu Ariani dan Pak Ronald. Mereka langsung berpelukan bahagia.Aku berusaha untuk tersenyum seadanya. Dengan ekor mataku aku melirik Natalia. Dia ternyata sedang menatapku dengan sebuah senyuman mencibir di kedua sudut bibirnya.“Tetapi aku mempunyai satu pertanyaan terakhir.”Senyum Ibu Ariani dan Pak Ronald langsung lenyap seketika itu juga.“Perihal apa yang ingin kamu tanyakan?”Ibu Ariani menatap anak laki-lakinya dengan tajam. “Mama pungut perempuan ini dari mana, sih?”“Uhuk!!!” Natalia yang tadinya diam saja, langsung terbatuk dan terdengar suara kikikan kecilnya. Sepertinya dia senang sekali melihat Gabriel menghinaku.Pandangan tajam ibu Ariani beralih kepada Natalia sehingga dia langsung bungkam.“Apa maksud dari ucapanmu itu, Gabriel?”“Maksud aku, dia kan rela melakukan apa saja demi uang. Apa mama dan papa sudah yakin kalau dia pere
“Buka bajumu!” perintah Gabriel tiba-tiba.Aku berdiri dengan mata membelalak seakan tidak percaya dengan ucapan pria itu. Belum hilang rasa terkejutku, Gabriel menarik tanganku dengan kasar dan mendorongku ke tembok.“Mari kita buat cucu sebanyak mungkin,” ucap Gabriel sambil mengendus-ngendus tubuhku dengan cara yang begitu dominan. ‘Sial, kenapa aroma tubuhnya membuat libidoku naik? Tadinya aku muak melihat wanita ini, tapi tubuhnya yang terbalut malam yang seksi, membuat hasratku bergejolak,’ keluh Gabriel menyesali sikapnya.“Kamu mau lepas sendiri baju sialan ini, atau aku yang akan melepasnya?” desah Gabriel tak sadarkan diri.“M-maksud kamu?”Gabriel menempelkan tubuhnya yang panas pada tubuhku. Begitu rapat. Seakan ingin membakar-ku hidup-hidup dengan hasratnya yang entah berasal dari mana.“Gabriel….”Kudengar suara ketakutan dari bibirku sendiri. Ya, aku wanita yang akan menjadi orang kedua dalam rumah tangganya.“Bukankah ini yang kau inginkan?”“Aku….”“Kau ingin agar ki
Natalia mematikan mesin mobil dan menyandarkan tubuh indahnya di jok mobil yang terlihat sangat nyaman. Dia masih resah dan terluka akibat pertengkaran yang telah terjadi antara dia dan Gabriel beberapa jam yang lalu. “Apa yang Gabriel lakukan sekarang?” gumam Natalia sambil menatap ke arah jendela kamar mereka dari tempat parkir. “Lampu kamar masih menyala. Apakah Gabriel sedang menungguku?” Seulas senyum melengkung di kedua sudut bibirnya. “Aku mau masuk dan pura-pura ngambek. Siapa suruh dia membuatku cemburu dan marah.” Natalia membuka pintu mobil dengan hati-hati dan melakukan hal yang sama saat dia menutupnya. Dengan pelan-pelan, dia memasuki lorong menuju ruang tamu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara-suara ribut di kamar tamu lantai satu. Natalia tersentak kaget. Suara berat itu terdengar dari arah kamar Grace. Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. "Ahh, Natalia!!!” teriak Gabriel lantang dan keras. Deg! Seluruh persendian tubuhnya lu
Pov GraceAku mengangkat tubuhku yang terasa remuk setelah perbuatan Gabriel yang buas. Dengan memaksakan diri, aku berjalan dengan tertatih-tatih dan mencoba untuk melangkah ke kamar mandi. Rasa sakit dan perih di antara kedua pangkal pahaku membuatku meringis dan berhenti sebentar sebelum aku meraih pintu kamar mandi.Bayanganku akan malam pertama yang romantis, penuh cinta, kelembutan, belaian dan gairah, ternyata itu semua hanya mimpi indah belaka.Apa yang aku rasakan sekarang benar-benar menyakitkan. Seluruh tubuhku terasa remuk. Bagian intimnya terkoyak-koyak dengan buas dan sadis tanpa perasaan. Tapi dari semua itu, kehilangan harga dirinya sebagai seorang wanita dan itu jauh lebih sakit.‘Ya Tuhan, sekejam inikah rasanya kehidupan yang harus aku jalani? Setelah dia puas dan meneriakkan nama istrinya, dia mencampakkanku begitu saja.’Sakit. Ini yang aku rasakan saat ini. Kecewa menyelimuti seluruh pikiranku. Andai aku tahu kejadiannya akan semenyakitkan ini., tentu aku tidak
“Natalia,” panggil Gabriel pelan begitu dia memasuki kamar. Untunglah Natalia tidak mengunci pintu kamar.“Kenapa kamu tidak tidur saja dengannya?” tanya Natalia dingin Dia bahkan tidak mau memandang wajah Gabriel. Rasa sakit karena melihat Gabriel membela Grace di depan batang hidungnya, membuat darahnya masih mendidih. Dia butuh waktu untuk bisa memaafkan tindakan Gabriel tadi.“Kamu istriku, Natalia, bukan dia. Aku mau bersamamu seperti biasanya.”“Ehem, apa katamu tadi? Istri? Well, ajarin dulu juniormu itu untuk mengenal istrinya sendiri. Jangan semua lubang dimasuki.”Kata-kata Natalia terdengar begitu pedas di telinga Gabriel, tapi dia hanya berdiri dan terdiam karena merasa bersalah pada wanita yang telah dia nikahi selama bertahun-tahun itu.“I am really, really sorry, Natalia,” ucap Gabriel lirih.“Simpan ucapan sorry dan rasa bersalahmu, Gabriel. By the way, aku tidak mau tidur seranjang denganmu malam ini.”“Kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti itu.""Lalu?""Aku mau t
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,