Di lorong rumah sakit Harapan Sehat, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan dering alat medis yang monoton berpadu menjadi simfoni kesedihan yang menghujam hatiku.
Di tengah kegaduhan itu, aku berdiri terpaku di depan pintu kamar perawatan. Wajah pucat, mata merah dan sembab akibat tangisan yang tak kunjung berhenti sejak mendengar berita tentang kecelakaan maut yang dialami mama dan papa dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Aku yang saat itu sedang sibuk mempersiapkan pesta untuk menyambut kepulangan mama dan papa, langsung berangkat ke rumah sakit. Jantungku terasa berhenti berdetak. Hatiku hancur melihat kondisi mama dan papa yang biasanya penuh energi dan senyuman kini terbaring tak berdaya. "Ma ... Pa ..." bisikku lirih. Suaraku hampir tenggelam dalam isak tangis yang tak tertahan. Aku berusaha untuk tetap kuat walaupun kondisi mama dan papa sangat memprihatinkan “Maaf, apakah ini dengan Nona Grace?” sapa seorang dokter muda yang baru saja memasuki ruangan. “Benar. Aku Grace, anak dari pak David Kristianto,” jawabku pelan. “Perkenalkan, saya Mikael Pratama. Dokter yang bertanggung jawab menangani kedua pasien.” “B-bagaimana dengan kondisi mereka saat ini, Dok?” Kupaksakan diriku untuk tetap sadar dan bertahan, walaupun aku sudah tidak sanggup lagi. Seluruh sendi tubuhku lunglai tak bertenaga. “Kedua orang tuamu dalam keadaan kritis dan perlu dioperasi saat ini juga.” “Kenapa mereka tidak di operasi dari tadi?” teriakku marah. “Kami tidak bisa mengoperasi pasien sebelum surat persetujuan tindakan medis ditandatangani oleh pihak keluarga.” “Tolong, Dokter. Lakukan apa saja yang terbaik untuk mereka.” “Kami akan melakukan operasi secepat mungkin.” Dokter Mikael menyerahkan surat persetujuan tindakan medis. Tanpa membacanya, aku segera menandatangani surat tersebut. “Tolong operasi mereka sekarang, Dokter,” pintaku pilu. “Baik!” Beberapa perawat segera mempersiapkan kedua pasien. Salah satu dari perawat mendekatiku dan menyerahkan surat rincian biaya rumah sakit. “Ini, Nona. Sementara proses operasi berjalan, silahkan Nona menyelesaikan urusan administrasi di kasir depan.” Aku mengangguk pelan. Dengan tangan gemetar, kuraih kertas itu. Untunglah aku tidak lupa membawa dompetku yang berisi kartu ATM pribadi dan milik perusahaan. Tanpa menunggu lama, aku menghampiri loket kasir dan menyerahkan sebuah kartu untuk proses pembayaran. “Maaf, Nona, saldo rekening Nona tidak mencukupi untuk membayar biaya operasi keluarga Nona.” Aku membelalakkan mata tak percaya. Kulirik kembali biaya tagihan yang tertera di layar monitor di depanku. 'Gila, biayanya memang luar biasa besar, tapi aku tahu, uang perusahaan bisa melunasi semuanya.' “Maaf, Mbak. Coba pakai kartu yang ini saja,” ucapku sambil mengambil kartu ATM milik perusahaan. Selama ini hanya mama dan papa yang memakai kartu ini. Tapi entah kenapa, papa menyerahkan kartu ini kepadaku minggu lalu sebelum mereka ke luar kota. “Maaf, Nona. Saldo di kartu ini pun sudah mencapai batas limit. Proses ini ditolak oleh pihak bank.” “Apa?” pekikku tertahan. Aku cukup kaget. Jujur saja, selama ini aku tidak pernah ikut campur masalah keuangan perusahaan. Aku lebih suka membantu papa dan mama, daripada memeriksa keuangan. "Sebentar ya, Mbak. Saya telepon seseorang dulu." “Baik, Nona, kami tunggu.” Aku bergegas membuka daftar kontak di ponselku dan menelpon Rosa, sekretaris pribadi papa. ‘Hello, Nona Grace, bagaimana keadaan Ibu Ariani dan Pak David?’ Aku menceritakan secara singkat sambil berlinang air mata, lalu menanyakan perihal keuangan perusahaan. ‘Apakah Nona tidak tahu kalau selama ini perusahaan sedang mengalami krisis dan memiliki hutang yang sangat besar?’ Aku menggelengkan kepalaku frustasi, tapi segera sadar kalau Rosa tidak bisa melihatku. ‘Tidak, aku tidak tahu sama sekali,’ jawabku lemas tak bertenaga. ‘Ya, Tuhan! Kenapa semua masalah datang secara bersamaan? Tidak bisakah mereka membuat jadwal dulu agar aku siap?’ “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Rosa?” “Aku juga tidak tahu, Nona.” “Aku akan menjual perusahaan mama dan papa.” Rosa terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang darinya. ‘Apakah Nona juga tidak tahu kalau kedua orang tuamu telah berhutang dengan jumlah yang besar pada salah satu perusahaan terbesar di kota ini?’ ‘M-maksud kamu?’ tanyaku panik. ‘Nona Grace, mama dan papamu memiliki hutang yang sangat besar pada Perusahaan Angkasa milik keluarga Tuan Ronald dan Ibu Ariani.’ ‘Tapi aku mempunyai hak untuk menjual perusahaan ini.’ ‘Aku tahu, tapi aset-aset penting dalam perusahaan itu telah dibeli oleh Perusahaan Angkasa. Kalau pun kamu menjualnya maka harus seizin mereka terlebih dahulu.’ ‘Gila, ini benar-benar tidak masuk akal! Bisakah kamu telepon mereka sekarang, Rosa? Aku akan meminta izin pada mereka agar transaksi jual beli segera berjalan.’ ‘Baik, Nona.’ Aku mematikan telepon dan menunggu dengan tidak sabar. Tak lama kemudian, Rosa segera menghubungiku dan memberitahu kalau pemilik perusahaan Angkasa akan menemuiku sebentar lagi. Aku berjalan mondar-mandir sambil menunggu, dan berharap proses operasi tetap dilaksanakan walaupun aku belum melunasi pembayarannya. Tak berapa lama, sepasang suami istri yang hendak membeli perusahaan kami, tiba di rumah sakit. “Perkenalkan, aku Ronald dan ini istriku, Ariani.” Aku mengangguk sopan dan memperkenalkan diriku sebagai anak dari pak David Kristianto “Bisakah kita bicara di luar saja,” tawar ibu Ariani sambil menatapku dari atas sampai bawah. Wanita paruh baya itu seolah-olah sedang mempelajari sikap dan tindak-tandukku. “Baik.” Aku mengikuti mereka keluar. Kami terus berjalan ke arah taman rumah sakit Harapan Sehat yang memang terkenal sangat indah dan asri. “Nona Grace, perusahaan ‘Bintang Utama’, memang secara hukum masih milik keluarga Nona, tapi seluruh asetnya sudah dijaminkan kepada kami. Jadi boleh dibilang, hanya bangunan saja yang masih menjadi milik keluarga Nona.” “Aku mengerti, tapi aku butuh biaya yang sangat besar saat ini. Oleh karena itu, aku hendak menjual perusahaan ini kepada Bapak Ronald.” “Maaf, Nona. Kami tidak mengizinkan hal itu.” Aku meremas tanganku kuat-kuat. “Bagaimana kalau aku meminjam uang lagi dan menjaminkan bangunan dan hak perusahaan ini secara total kepada Bapak. Aku berjanji untuk melunasi hutang-hutang saat masa krisis ini berlalu.” “Apakah Nona yakin akan hal itu?” Aku mengangguk pasti. Sumpah demi apa pun, aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal lain. Mama dan papa membutuhkan biaya yang besar untuk operasi dan perawatan mereka nanti setelah pasca operasi. “Baiklah kalau itu keputusan Nona. Silahkan tanda tangan di sini, Nona Grace, kami akan kirimkan surat perjanjian besok.” Pak Ronald membuka ponsel pintarnya dan menyalakan aplikasi note di mana klien bisa membubuhkan tanda tangan di sana. Setelah itu, tanda tangan digital akan dipindahkan ke dalam kontrak dalam format digital. “Apakah setelah aku memberikan tanda tanganku, biaya rumah sakit akan ditransfer hari ini juga?” Aku bersikeras agar mereka segera membantuku. “Betul, Nona. Kami mengerti kondisimu. Kami akan melunasi dulu biaya rumah sakit dan untuk masalah surat perjanjian, akan kami kirimkan besok.” Tanpa ragu-ragu, aku mengangguk cepat. Segera aku memberikan tanda tanganku di sana, walaupun aku tidak tahu apa-apa tentang isi kontraknya. Namun, aku tidak peduli, dan aku tidak punya waktu untuk berpikir saat ini. Kami pun kembali masuk ke dalam, dan Pak Ronald segera melunasi semua biaya rumah sakit dan mentransfer sejumlah uang ke rekening pribadiku. “Ini kartu namaku. Telepon aku kapan saja kamu membutuhkan bantuan,” ucap ibu Ariani Aku menerima kartu nama mereka dan menyelipkannya di dalam kantong celana kerjaku. Tak lama kemudian, mereka berdua pamit. *** Aku tertidur di samping ranjang mama setelah menemaninya hampir sepanjang malam. Papa masih dalam kondisi koma, tapi aku bersyukur karena proses operasi berjalan lancar. Drrrttt, drrrttt, drrrttt ... Getaran suara ponsel di atas nakas membangunkanku. Leherku terasa kaku karena posisi tidurku yang sangat tidak nyaman. Dengan mata masih setengah mengantuk, aku meraih ponselku dan memeriksa pesan yang masuk. ‘Selamat pagi Nona Grace. Kami sudah mengirimkan surat perjanjian dan kontrak ke emailmu. Terima kasih.’ Salam hangat Ronald Angkasa Aku segera membuka emailku dan mencari pesan elektronik dari Pak Ronald. Jantungku seolah berhenti berdetak. Poin nomor tiga dari perjanjian antara aku dan keluarga Angkasa, membuat wajahku memerah karena emosi. Gegas, aku keluar dari dari kamar inap dan menutup pintu dengan pelan. Kuusap wajahku dengan kasar. ‘Syarat dalam pelunasan hutang perusahaan Bintang Utama adalah dengan menjadi Surrogate Mother bagi keluarga Angkasa.’ Berulang kali aku membaca dan mencoba untuk memahami pesan itu dengan perasaan yang tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Bersambung ...Bab 2. PerjanjianMasih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi. “Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.” Kepanikan melandaku.“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani. ‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’‘Ini dengan Grace.’‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.‘Berani-beraninya mereka menanyakan k
“Mama telah mengundang seseorang untuk makan malam bersama kita,” ucap Ibu Arinia sambil menata beberapa peralatan piring di atas meja.Gariel dan Natalia yang baru saja tiba, saling berpandang dengan wajah kebingungan. “Siapa yang akan makan malam bersama kita, Ma?” “Seorang yang akan aku perkenalkan pada kalian berdua.“Oh ya? Apakah aku kenal orangnya?” tanya Natalia ikut nimbrung sambil meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Lalu dengan santai, dia duduk dan mulai meneguk air putih dalam gelasnya.“Tidak, kalian tidak mengenalnya sama sekali, tapi orang yang mama undang, akan membawa perubahan dalam keluarga kita.”Gabriel mengangkat alisnya mengharapkan penjelasan yang lebih lagi, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Ibu Ariani, sang mama, membuat Gabriel dan Natalia langsung terdiam.“Mama dan papa sudah sangat merindukan cucu, dan kami tidak tahu sampai kapan kalian membuat mama dan papa menunggu kedatangan cucu dalam keluarga ini.”Pak Ronald, papa dari Gabrie
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”Aku tersenyum kepada pasangan di depanku. Gabriel menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, sedangkan Natalia membuang wajahnya dengan sikap acuh tak acuh.Kuulurkan tanganku dan mengajak mereka berkenalan, tapi rupanya bendera perang sudah berkibar di antara kami sejak kedatanganku. Mereka hanya menyentuh tanganku tanpa benar-benar menggenggamnya.“Hello, Nona Grace. Selamat datang di tempat kediaman kami.”Pak Ronald menyambutku itu dengan hangat dan itu sudah cukup membuatku terhibur.Gabriel berdiri dengan resah. Dia tidak pernah melihat papa menyambut Natalia sehangat itu. Well, mungkin pernah, tapi itu sudah lama sekali. Sejak Natalia menolak untuk memberikan cucu bagi mereka, sikap mama dan papa sudah tidak sehangat dulu lagi terhadap Natalia.“Keputusan mama dan papa sudah bulat. Grace adalah wanita yang tepat untuk memberikan cucu yang kami inginkan.”Gabriel menahan emosinya sekuat tenaga
“Kamu tidak perlu tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tugasku adalah melahirkan seorang cucu bagi keluargamu," jawabku pelan tapi syarat dengan sindiran.“Dengan menjual tubuhmu, begitu ‘kah?” tanya Gabriel sinis. Gabriel tidak bisa menyembunyikan pandangan benci dan muak melihat wajahku.“Kalau kau menyebut itu sebagai ‘jual diri,’ ucapku sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengah seperti tanda kutip dua. “Silahkan saja, Tuan sombong dan angkuh.”Wajah Gabriel memerah mendengar aku menyebutnya sebagai Tuan sombong dan angkuh.“Sebutkan saja berapa jumlah uang yang kamu terima dari mama?”“Maaf, aku tidak bisa.”Hilang sudah kesabaran Gabriel. Dia mencekal lenganku dan menarikku dengan kasar mendekat ke arahnya.“Heh! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi sehingga kamu melakukan perbuatan ini dan merusak kebahagiaan kami?”Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria songok satu ini.“Dasar perempuan murahan!”
“Baiklah. Aku menyetujui permintaan Mama dan Papa."Walaupun sempat tercengang sebentar, tapi senyum kebahagiaan langsung terlukis di wajah Ibu Ariani dan Pak Ronald. Mereka langsung berpelukan bahagia.Aku berusaha untuk tersenyum seadanya. Dengan ekor mataku aku melirik Natalia. Dia ternyata sedang menatapku dengan sebuah senyuman mencibir di kedua sudut bibirnya.“Tetapi aku mempunyai satu pertanyaan terakhir.”Senyum Ibu Ariani dan Pak Ronald langsung lenyap seketika itu juga.“Perihal apa yang ingin kamu tanyakan?”Ibu Ariani menatap anak laki-lakinya dengan tajam. “Mama pungut perempuan ini dari mana, sih?”“Uhuk!!!” Natalia yang tadinya diam saja, langsung terbatuk dan terdengar suara kikikan kecilnya. Sepertinya dia senang sekali melihat Gabriel menghinaku.Pandangan tajam ibu Ariani beralih kepada Natalia sehingga dia langsung bungkam.“Apa maksud dari ucapanmu itu, Gabriel?”“Maksud aku, dia kan rela melakukan apa saja demi uang. Apa mama dan papa sudah yakin kalau dia pere
“Buka bajumu!” perintah Gabriel tiba-tiba.Aku berdiri dengan mata membelalak seakan tidak percaya dengan ucapan pria itu. Belum hilang rasa terkejutku, Gabriel menarik tanganku dengan kasar dan mendorongku ke tembok.“Mari kita buat cucu sebanyak mungkin,” ucap Gabriel sambil mengendus-ngendus tubuhku dengan cara yang begitu dominan. ‘Sial, kenapa aroma tubuhnya membuat libidoku naik? Tadinya aku muak melihat wanita ini, tapi tubuhnya yang terbalut malam yang seksi, membuat hasratku bergejolak,’ keluh Gabriel menyesali sikapnya.“Kamu mau lepas sendiri baju sialan ini, atau aku yang akan melepasnya?” desah Gabriel tak sadarkan diri.“M-maksud kamu?”Gabriel menempelkan tubuhnya yang panas pada tubuhku. Begitu rapat. Seakan ingin membakar-ku hidup-hidup dengan hasratnya yang entah berasal dari mana.“Gabriel….”Kudengar suara ketakutan dari bibirku sendiri. Ya, aku wanita yang akan menjadi orang kedua dalam rumah tangganya.“Bukankah ini yang kau inginkan?”“Aku….”“Kau ingin agar ki
Natalia mematikan mesin mobil dan menyandarkan tubuh indahnya di jok mobil yang terlihat sangat nyaman. Dia masih resah dan terluka akibat pertengkaran yang telah terjadi antara dia dan Gabriel beberapa jam yang lalu. “Apa yang Gabriel lakukan sekarang?” gumam Natalia sambil menatap ke arah jendela kamar mereka dari tempat parkir. “Lampu kamar masih menyala. Apakah Gabriel sedang menungguku?” Seulas senyum melengkung di kedua sudut bibirnya. “Aku mau masuk dan pura-pura ngambek. Siapa suruh dia membuatku cemburu dan marah.” Natalia membuka pintu mobil dengan hati-hati dan melakukan hal yang sama saat dia menutupnya. Dengan pelan-pelan, dia memasuki lorong menuju ruang tamu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara-suara ribut di kamar tamu lantai satu. Natalia tersentak kaget. Suara berat itu terdengar dari arah kamar Grace. Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. "Ahh, Natalia!!!” teriak Gabriel lantang dan keras. Deg! Seluruh persendian tubuhnya lu
Pov GraceAku mengangkat tubuhku yang terasa remuk setelah perbuatan Gabriel yang buas. Dengan memaksakan diri, aku berjalan dengan tertatih-tatih dan mencoba untuk melangkah ke kamar mandi. Rasa sakit dan perih di antara kedua pangkal pahaku membuatku meringis dan berhenti sebentar sebelum aku meraih pintu kamar mandi.Bayanganku akan malam pertama yang romantis, penuh cinta, kelembutan, belaian dan gairah, ternyata itu semua hanya mimpi indah belaka.Apa yang aku rasakan sekarang benar-benar menyakitkan. Seluruh tubuhku terasa remuk. Bagian intimnya terkoyak-koyak dengan buas dan sadis tanpa perasaan. Tapi dari semua itu, kehilangan harga dirinya sebagai seorang wanita dan itu jauh lebih sakit.‘Ya Tuhan, sekejam inikah rasanya kehidupan yang harus aku jalani? Setelah dia puas dan meneriakkan nama istrinya, dia mencampakkanku begitu saja.’Sakit. Ini yang aku rasakan saat ini. Kecewa menyelimuti seluruh pikiranku. Andai aku tahu kejadiannya akan semenyakitkan ini., tentu aku tidak