Di lorong rumah sakit Harapan Sehat, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan dering alat medis yang monoton berpadu menjadi simfoni kesedihan yang menghujam hatiku. Di tengah kegaduhan itu, aku berdiri terpaku di depan pintu kamar perawatan. Wajah pucat, mata merah dan sembab akibat tangisan yang tak kunjung berhenti sejak mendengar berita tentang kecelakaan maut yang dialami mama dan papa dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Aku yang saat itu sedang sibuk mempersiapkan pesta untuk menyambut kepulangan mama dan papa, langsung berangkat ke rumah sakit. Jantungku terasa berhenti berdetak. Hatiku hancur melihat kondisi mama dan papa yang biasanya penuh energi dan senyuman kini terbaring tak berdaya. "Ma ... Pa ..." bisikku lirih. Suaraku hampir tenggelam dalam isak tangis yang tak tertahan. Aku berusaha untuk tetap kuat walaupun kondisi mama dan papa sangat memprihatinkan “Maaf, apakah ini dengan Nona Grace?” sapa seorang dokter muda yang baru saja memasuki ruangan. “
Bab 2. PerjanjianMasih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi. “Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.” Kepanikan melandaku.“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani. ‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’‘Ini dengan Grace.’‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.‘Berani-beraninya mereka menanyakan k
“Mama telah mengundang seseorang untuk makan malam bersama kita,” ucap Ibu Arinia sambil menata beberapa peralatan piring di atas meja.Gariel dan Natalia yang baru saja tiba, saling berpandang dengan wajah kebingungan. “Siapa yang akan makan malam bersama kita, Ma?” “Seorang yang akan aku perkenalkan pada kalian berdua.“Oh ya? Apakah aku kenal orangnya?” tanya Natalia ikut nimbrung sambil meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Lalu dengan santai, dia duduk dan mulai meneguk air putih dalam gelasnya.“Tidak, kalian tidak mengenalnya sama sekali, tapi orang yang mama undang, akan membawa perubahan dalam keluarga kita.”Gabriel mengangkat alisnya mengharapkan penjelasan yang lebih lagi, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Ibu Ariani, sang mama, membuat Gabriel dan Natalia langsung terdiam.“Mama dan papa sudah sangat merindukan cucu, dan kami tidak tahu sampai kapan kalian membuat mama dan papa menunggu kedatangan cucu dalam keluarga ini.”Pak Ronald, papa dari Gabrie
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”Aku tersenyum kepada pasangan di depanku. Gabriel menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, sedangkan Natalia membuang wajahnya dengan sikap acuh tak acuh.Kuulurkan tanganku dan mengajak mereka berkenalan, tapi rupanya bendera perang sudah berkibar di antara kami sejak kedatanganku. Mereka hanya menyentuh tanganku tanpa benar-benar menggenggamnya.“Hello, Nona Grace. Selamat datang di tempat kediaman kami.”Pak Ronald menyambutku itu dengan hangat dan itu sudah cukup membuatku terhibur.Gabriel berdiri dengan resah. Dia tidak pernah melihat papa menyambut Natalia sehangat itu. Well, mungkin pernah, tapi itu sudah lama sekali. Sejak Natalia menolak untuk memberikan cucu bagi mereka, sikap mama dan papa sudah tidak sehangat dulu lagi terhadap Natalia.“Keputusan mama dan papa sudah bulat. Grace adalah wanita yang tepat untuk memberikan cucu yang kami inginkan.”Gabriel menahan emosinya sekuat tenaga
“Kamu tidak perlu tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tugasku adalah melahirkan seorang cucu bagi keluargamu," jawabku pelan tapi syarat dengan sindiran.“Dengan menjual tubuhmu, begitu ‘kah?” tanya Gabriel sinis. Gabriel tidak bisa menyembunyikan pandangan benci dan muak melihat wajahku.“Kalau kau menyebut itu sebagai ‘jual diri,’ ucapku sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengah seperti tanda kutip dua. “Silahkan saja, Tuan sombong dan angkuh.”Wajah Gabriel memerah mendengar aku menyebutnya sebagai Tuan sombong dan angkuh.“Sebutkan saja berapa jumlah uang yang kamu terima dari mama?”“Maaf, aku tidak bisa.”Hilang sudah kesabaran Gabriel. Dia mencekal lenganku dan menarikku dengan kasar mendekat ke arahnya.“Heh! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi sehingga kamu melakukan perbuatan ini dan merusak kebahagiaan kami?”Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria songok satu ini.“Dasar perempuan murahan!”
“Baiklah. Aku menyetujui permintaan Mama dan Papa."Walaupun sempat tercengang sebentar, tapi senyum kebahagiaan langsung terlukis di wajah Ibu Ariani dan Pak Ronald. Mereka langsung berpelukan bahagia.Aku berusaha untuk tersenyum seadanya. Dengan ekor mataku aku melirik Natalia. Dia ternyata sedang menatapku dengan sebuah senyuman mencibir di kedua sudut bibirnya.“Tetapi aku mempunyai satu pertanyaan terakhir.”Senyum Ibu Ariani dan Pak Ronald langsung lenyap seketika itu juga.“Perihal apa yang ingin kamu tanyakan?”Ibu Ariani menatap anak laki-lakinya dengan tajam. “Mama pungut perempuan ini dari mana, sih?”“Uhuk!!!” Natalia yang tadinya diam saja, langsung terbatuk dan terdengar suara kikikan kecilnya. Sepertinya dia senang sekali melihat Gabriel menghinaku.Pandangan tajam ibu Ariani beralih kepada Natalia sehingga dia langsung bungkam.“Apa maksud dari ucapanmu itu, Gabriel?”“Maksud aku, dia kan rela melakukan apa saja demi uang. Apa mama dan papa sudah yakin kalau dia pere
“Buka bajumu!” perintah Gabriel tiba-tiba.Aku berdiri dengan mata membelalak seakan tidak percaya dengan ucapan pria itu. Belum hilang rasa terkejutku, Gabriel menarik tanganku dengan kasar dan mendorongku ke tembok.“Mari kita buat cucu sebanyak mungkin,” ucap Gabriel sambil mengendus-ngendus tubuhku dengan cara yang begitu dominan. ‘Sial, kenapa aroma tubuhnya membuat libidoku naik? Tadinya aku muak melihat wanita ini, tapi tubuhnya yang terbalut malam yang seksi, membuat hasratku bergejolak,’ keluh Gabriel menyesali sikapnya.“Kamu mau lepas sendiri baju sialan ini, atau aku yang akan melepasnya?” desah Gabriel tak sadarkan diri.“M-maksud kamu?”Gabriel menempelkan tubuhnya yang panas pada tubuhku. Begitu rapat. Seakan ingin membakar-ku hidup-hidup dengan hasratnya yang entah berasal dari mana.“Gabriel….”Kudengar suara ketakutan dari bibirku sendiri. Ya, aku wanita yang akan menjadi orang kedua dalam rumah tangganya.“Bukankah ini yang kau inginkan?”“Aku….”“Kau ingin agar ki
Natalia mematikan mesin mobil dan menyandarkan tubuh indahnya di jok mobil yang terlihat sangat nyaman. Dia masih resah dan terluka akibat pertengkaran yang telah terjadi antara dia dan Gabriel beberapa jam yang lalu. “Apa yang Gabriel lakukan sekarang?” gumam Natalia sambil menatap ke arah jendela kamar mereka dari tempat parkir. “Lampu kamar masih menyala. Apakah Gabriel sedang menungguku?” Seulas senyum melengkung di kedua sudut bibirnya. “Aku mau masuk dan pura-pura ngambek. Siapa suruh dia membuatku cemburu dan marah.” Natalia membuka pintu mobil dengan hati-hati dan melakukan hal yang sama saat dia menutupnya. Dengan pelan-pelan, dia memasuki lorong menuju ruang tamu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara-suara ribut di kamar tamu lantai satu. Natalia tersentak kaget. Suara berat itu terdengar dari arah kamar Grace. Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. "Ahh, Natalia!!!” teriak Gabriel lantang dan keras. Deg! Seluruh persendian tubuhnya lu
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,
"Baiklah," Gabriel menghela napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian yang tak ia miliki. "Aku akan memberitahumu apa yang Mama katakan padaku hari ini."Natalia menatapnya, matanya penuh amarah yang ia sembunyikan di balik ketenangan palsu. “Aku menunggu,” katanya dingin, tangannya bersedekap di dada, seolah berusaha melindungi hatinya yang mulai retak. Tubuhnya bergetar, tapi dia berusaha untuk tegar. Gabriel mengusap wajahnya dengan cepat, menundukkan kepala sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang muram. "Mama memintaku untuk memilih …, mmm, memilih salah satu di antara kalian berdua."Saat kata-kata itu meluncur dari mulut Gabriel, dunia Natalia runtuh seketika. Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam dadanya tanpa ampun, atau lebih tepatnya, sebuah batu besar ditimpakan di dadanya. Sesak sekali rasanya. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa berat, seakan oksigen yang ada tak cukup untuk mengisi ruang paru-parunya. Gabriel duduk dengan gelisah, d