“Ma, aku pulang dulu, ya, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku setelah menemani mama selama berjam-jam. Walaupun sebenarnya aku tidak ingin pergi dari sana, tadi aku sadar diri kalau aku sekarang menumpang di rumah orang. Mengingat hal itu saja, membuat hatiku gelisah. “Hati-hati di jalan ya, kalau ada kesempatan, mama ingin sekali berkunjung ke perusahaan dan menyapa karyawan-karyawan di sana.” Untung aku sedang memegang pinggiran tempat tidur ketika mama mengucapkan hal itu. Otakku berpikir dengan cepat mencari jalan keluar. “Mama tidak perlu memikirkan semua itu. Yang mama perlu lakukan sekarang adalah beristirahat biar semakin pulih.” “Mama sedih karena tidak bisa membantumu.” Mama mengarahkan ke bawah dan menatap kakinya yang tidak bisa digerakkan sama sekali. Kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawanya, telah membuat kakinya lumpuh. “Ma, untuk masalah perusahaan, aku yang akan menyelesaikan semuanya. Mama tenang saja, ya.” Sebisa mungkin aku berus
Dering ponsel dari dalam tas Natalia menghentikan kalimat yang ingin dia sampaikan kepada Bara. Begitu dia melihat nama si pemanggil, Natalia menggeser tombol merah dan menolak panggilan itu.“Loh, kok tidak diangkat?” tanya Bara penasaran.“Nomor tak dikenal,” jawab Natalia enteng dan kembali memfokuskan perhatiannya pada gaun di depannya.“Apa kamu sudah menemukan yang aku maksud?” tanya Bara sambil melangkah mendekati gaun satin berwarna hijau lembut itu. “Aku rasa…” ucap Natalia sambil memicingkan matanya mencoba untuk melihat lebih jelas gaun berbahan satin itu.“Sini,” ujar Bara mengulurkan tangannya ke arah Natalia. “Aku akan membantumu untuk melihat apa yang aku maksud.”Natalia terlihat ragu, lagi pula dia tidak mau terlalu dekat dengan pria lain selain Gabriel. Suaminya adalah segalanya bagi Natalia. Melihat Natalia yang tidak mau menerima uluran tangannya, Bara sadar diri dan segera menarik tangannya kembali dengan canggung. “Aha! Aku tahu di mana letak kekurangan dari g
“Pelan-pelan saja makannya,” ucap Garbriel sambil tersenyum penuh arti.‘Wait, manusia super angkuh ini tersenyum padaku?”“Nih, air untukmu. Minumlah.”Dengan wajah memerah kuangkat wajahku dan menatap Gabriel yang berdiri tepat di sampingku. Gabriel memandangku lekat-lekat, dan hmm, aku sendiri pun tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pandangan mata itu.Belum habis rasa terkejutku, tangannya dengan perlahan terulur ke depan dan menyapu bibirku yang belepotan. Aku mematung sebentar sebelum akhirnya aku menepis tangannya dengan kasar.“Jangan sentuh aku!” desisku pelan sambil menatapnya tajam. Seperti sadar akan tindakannya, Gabriel buru-buru menarik tangannya.“Aku hanya ingin membersihkan sisa makanan yang menempel di sini,” ujar Gabriel sambil menunjuk ke arah bibirnya sendiri"Kamu sangat tidak sopan, Tuan Gabriel!" ketusku lagi. Kali ini aku benar-benar mengeluarkan sisi galakku.Aku segera membuang muka ke sembarang arah, tak ingin lama-lama memandang wajahnya yang sangat m
Plak, plak! Natalia mendekatiku dan menamparku dengan kuat sebanyak dua kali. Aku hampir menjerit kaget, tapi kutahan suara itu sebelum lolos dari tenggorokanku. Rasa panas menjalar di kedua pipiku. Bukan rasa sakit di pipiku yang membuatku ingin menjerit, tapi rasa sakit di hatiku. Aku merasa sangat terhina. Kupegang kedua pipiku tanpa mengucapkan apa-apa. Jujur saja, ini adalah tamparan pertama yang pernah aku terima di sepanjang perjalanan hidupku. Orang tuaku tidak pernah ringan tangan padaku. Mencubitku saja, mereka tidak pernah lakukan. Mama dan papa mendidik dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan bijaksana. "Natalia, apa yang sudah kamu laku…!" “STOOOOPPP! CUKUUUUP!!! Aku tidak butuh pembelaan darimu! Urus saja diri kalian masing-masing.” Aku kalap dan berteriak sehingga membuat Bik Sumi yang sedang mengintip drama yang terjadi, buru-buru kabur dari balik pintu. Aku melihat bayangannya sekilas. Natalia cukup kaget dengan teriakkanku Mungkin karena selama ini
Kurenggangkan tubuhku yang terasa remuk, sakit di perutku masih membuatku lemas tak bertenaga. 'Selamat pagi, mama, papa,' bisikku pelan seolah-olah mereka berada di depanku. Kutarik selimut tebal untuk menutupi kakiku yang kedinginan, lalu aku menyadari bahwa Bik Sumi sudah mengganti bed cover yang ada noda merahnya. Ada rasa malu yang menyerang pikiranku. Dari dalam kamar, kudengar suara wajan yang beradu dengan sutel. Mungkin Bik Sumi sudah bangun, pikirku. Kupaksa diriku untuk bangun dan ke toilet. Namun, baru saja aku ke luar dari toilet, kudengar suara knalpot rusak yang berteriak dengan nyaring di luar pintu. “Mana wanita penggoda itu, Bik?” tanya Natalia pada Bik Sumi yang sedang sibuk mempersiapakan sarapan pagi untuk majikannya. “Non Grace masih di dalam kamar, Nyonya.” “Oh, begitu rupanya? Apa dia tidak tahu tugasnya sehari-hari?” Dari dalam kamar, kudengar lagi langkah kaki Natalia yang mendekati pintu kamarku. ‘Apa lagi sih yang akan dibuat oleh dia?’ batinku s
“Kalau Nyonya jijik, jangan mengajakku berbicara. Kita punya kehidupan masing-masing,” ucapku dengan berani. Tidak kupedulikan tatapan Gabriel yang cukup kaget melihat keberanianku. Setelah puas mengeluarkan unek-unekku, aku membalikkan tubuhku dan pergi begitu saja dari hadapan mereka. “Astaga, lihat perempuan sial perusak rumah tangga orang! Semakin hari semakin menjadi-jadi saja tingkahnya,” seru Natalia murka. Dengan kasar, dia membanting garpu dan sendok di atas meja Dari dalam kamar, samar-samar aku mendengar suara amukan Natalia, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Biarin saja si mercon knalpot rusak itu koar-koar sampai urat lehernya putus. Aku sudah muak dan jenuh mendengar semua itu. Sebenarnya, ingin sekali aku menunjukkan sikap bar-bar-ku yang terpadam, memangnya dia pikir dirinya saja yang punya sikap bar-bar. Tapi itu akan kugunakan pada serangan berikutnya. Kalau dikeluarkan sekarang, malah tidak seru jadinya. Kutanggalkan pakaianku karena aku akan segera mandi dan
Kring …Dering telepon yang panjang, mengagetkan Gabriel yang sedang melamun di dalam mobilnya yang sengaja ia parkir di sebuah pom bensin di pinggir jalan. Dalam dirinya tidak ada keinginan sama sekali untuk berangkat kerja. Hatinya risau setelah mendengar ide Natalia tadi pagi yang tiba-tiba saja ingin memberi seorang cucu bagi keluarga besar mereka.Dengar gusar, Gabriel meraih teleponnya.“Hello! sapa Gabriel sambil mempermainkan kunci mobil di tangannya.“Hello, Tuan. Ini dengan saya, Donny!”“Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?” tanya Gabriel to the point. Dia sebenarnya sudah menunggu berita itu dari kemarin.“Sudah, Tuan. Saya akan mengirim hasil rekaman CCTV pada Tuan sekarang juga.”“Apakah hanya rekaman CCTV saja? Aku butuh informasi lain, selain dari rekaman CCTV.”“Tentu saja saya sudah mencari informasi penting lainnya, Tuan Gabriel.”“Kirimkan semua informasi penting itu kepadaku sekarang.”“Baik, Tuan. Lalu bagaimana dengan rekaman ini?”“Jangan dikir
“Papa kamu, Grace. Sampai kapan dia akan berada dalam kondisi seperti ini? Dia sudah koma berbulan-bulan, Grace!” Mama terisak-isak sampai punggungnya berguncang-guncang menahan kesedihan. “Ma, Papa pasti sembuh, aku percaya itu.” Kupeluk mama dan mencoba untuk memberinya kekuatan untuk tetap kuat dan sabar. “Mama rindu melihat papamu lagi.” "Iya, Ma. Aku mengerti ..." Isak tangis mama semakin kencang. Beliau benar-benar meluapkan beban yang ada dalam hatinya. “Papa adalah seorang pria, ayah dan kepala keluarga yang kuat, Mama. Kita harus percaya kalau papa akan sembuh seperti dulu lagi.” Mama terus menangis, sepertinya dia sudah memikirkan hal itu selama berminggu-minggu. “Ma, kalau kita berdua kuat dan terus berusaha disertai doa yang tidak pernah putus, maka papa pasti akan merasakan kasih sayang yang kita berikan padanya.” Tidak ada respon dari mama, kata-kataku seperti angin lalu baginya. Air matanya kembali berlinang tak tertahankan sehingga tubuhnya kembali bergetar