“Papa kamu, Grace. Sampai kapan dia akan berada dalam kondisi seperti ini? Dia sudah koma berbulan-bulan, Grace!” Mama terisak-isak sampai punggungnya berguncang-guncang menahan kesedihan. “Ma, Papa pasti sembuh, aku percaya itu.” Kupeluk mama dan mencoba untuk memberinya kekuatan untuk tetap kuat dan sabar. “Mama rindu melihat papamu lagi.” "Iya, Ma. Aku mengerti ..." Isak tangis mama semakin kencang. Beliau benar-benar meluapkan beban yang ada dalam hatinya. “Papa adalah seorang pria, ayah dan kepala keluarga yang kuat, Mama. Kita harus percaya kalau papa akan sembuh seperti dulu lagi.” Mama terus menangis, sepertinya dia sudah memikirkan hal itu selama berminggu-minggu. “Ma, kalau kita berdua kuat dan terus berusaha disertai doa yang tidak pernah putus, maka papa pasti akan merasakan kasih sayang yang kita berikan padanya.” Tidak ada respon dari mama, kata-kataku seperti angin lalu baginya. Air matanya kembali berlinang tak tertahankan sehingga tubuhnya kembali bergetar
Gabriel memaksa diri untuk berkonsentrasi dan meneruskan pekerjaannya, tapi itu tidak berhasil. Diletakkan pulpen yang ada di tangannya di atas meja dan mengusap wajahnya. Dia tidak bisa melupakan netra Grace yang indah. Jujur saja, sejak dia melihat wanita itu pertama kalinya di rumah kedua orang tuanya, Gabriel sudah terpesona pada wanita si pemilik mata indah itu. Walaupun saat itu dia memarahi dan mencaci maki Grace, tapi sebenarnya itu hanya untuk menutupi hatinya yang jatuh dalam pesona dan daya tarik Grace. “Kau membuat imanku oleng, Grace. Aku ingin sekali memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan dan memperlakukanmu dengan lebih baik lagi.” Gabriel menutup matanya dan membayangkan tubuh Grace yang panas di bawah tubuhnya. Dadanya berdesir aneh setiap kali dia mengingat malam itu. Wajah Grace yang memerah saat dia menggagahinya, Gabriel tidak pernah melupakan hal itu. Tirai suci milik wanita itu yang telah dia rusak dan ambil dengan paksa, adalah kenikmatan dan dosa
“Maaf, aku membutuhkan buku itu,” ucapku sambil menatap pria yang telah mengambil buku yang sudah kucari dari tadi. Namun, aku terperanjat kaget begitu melihat wajah pria di sampingku itu. Wajahnya benar-benar mirip dengan Gabriel."Maaf, Nona, aku juga membutuhkan buku ini," kilahnya sambil tersenyum usil.Aku yang awalnya ingin marah, tapi segera kuurungkan niatku. Lagi pula, aku tidak mau berhubungan dengan spesies yang ada sangkut pautnya dengan Gabriel. Mereka adalah ras dan makhluk yang paling menyebalkan di dunia ini.Aku pun memilih untuk mengalah dan beranjak pergi darinya. Sudahlah kalau dia butuh buku itu."Sebentar! Kalau kamu mau kenalan denganku, maka buku ini adalah milikmu," tawar pria itu sambil nyengir kuda. Terlihat sekali kalau dia ingin menggodaku.“Maaf, aku sedang tidak ingin berkenalan dengan siapa pun,” ucapku singkat dan melanjutkan pencarianku. Kulirik dengan ekor mataku dan melihat pria itu menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas.“Nona, aku serius, berkenal
Gabriel memasuki mansionnya dengan terburu-buru. Suasana yang terasa sepi membuatnya merasa kesepian. Dia ingin sekali saat dia pulang kerja, ada seorang atau dua orang anak kecil yang berlari menyambut kepulangannya dan memanggilnya PAPA. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia mulai merindukan suara tangisan bayi dan celoteh seorang anak kecil di mansion ini.“Hmm, rupanya belum ada tanda-tanda kalau Natalia maupun Grace sudah pulang dari kegiatannya masing-masing,” gumam Gabriel saat melewati ruang tamu yang sangat luas.“Bik Sumi!” panggil Gabriel sambil menggantung kunci mobilnya di tempat biasa.“Ya, Tuan? Oh, sudah pulang rupanya. Saya sedang menyiapkan makan malam seperti yang telah Tuan minta.”“Terima kasih, Bik. Nanti langsung saja dibawa ke rooftop.""Bai, Tuan.""Oh iya, Bik Tutik sudah kembali dari mudik?”“Sepertinya Tutik akan kembali besok sore, Tuan.”“Baik, Bik. Oh iya, setelah semua beres, jangan lupa untuk mengganti sprei baru di kamarku dan Natalia.”“Maaf, Tuan. Saya
Gabriel berdiri di depan meja makan di rooftop dan memastikan semua sempurna seperti yang dia inginkan. Mulai dari dekorasi, penataan meja dan kursi, cara menyidangkan makanan dan hal-hal kecil lainnya.“Hmm, sekarang tinggal menunggu kepulangan Natalia,” gumam Gabriel sambil duduk di sebuah kursi yang terlihat seperti kursi pantai. Dia duduk selonjor dan mulai berseluncur di dunia maya, serta membaca berita-berita di internet. Waktu berjalan terasa sangat lambat, dan belum ada tanda-tanda kepulangan Natalia, padahal sebentar lagi pukul lima sore. Natalia sempat mengirimnya sebuah pesan beberapa jam yang lalu, dan memberitahunya kalau dia akan tiba di rumah jam setengah lima.“Apakah dia lembur hari ini? Tetapi kenapa dia tidak menelponku?” ucap Gabriel bermonolog. Dia sudah tidak sabar rupanya menunggu kepulangan Natalia. Kembali dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat foto-fotonya bersama Natalia waktu mereka liburan ke Singapura dua tahun yang lalu. Namun, rasa bosan
“Hari ini adalah hari terindah dalam hidup saya, Non Grace,” ucap Bik Sumi sambil tersenyum riang. Wanita paruh baya itu sempat bersenandung beberapa kali saking senangnya.“Alasannya?” tanyaku penasaran sambil menata buah-buahan segar di atas sebuah nampan cantik. “Ya ini, Non, bisa piknik dengan Non Grace.”“Hah? Yang benar, Bik?”Iya, Non, masa saya bohong?"Aku tertawa lepas melihat kepolosan dan kejujuran Bik Sumi. Bahagia itu ternyata sesimpel ini ya. Tidak perlu menata meja yang cantik dengan segala pernak-perniknya, serta makanan mewah. Cukup bersama dengan orang yang menerima diri kita apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. “Bik Sumi duduk di sini, aku duduk di sana,” ucapku sambil menyediakan alas yang empuk untuk tempat duduk.“Terima kasih, Non. Sejak kematian suami saya, semua terasa sepi."Aku menatap haru wanita paruh baya yang duduk tepat di hadapanku kini. "Aku ikut berdukacita, Bik Sumi." Kupeluk Bik Sumi dengan hati sedih."Terima kasih, Non. Tapi saya sudah terb
Gabriel mendorong tubuhnya sehingga wajah kami berdua begitu dekat. Matanya menatapku, lalu pelan-pelan tatapannya turun ke bibirku, dan dengan pelan dia berbisik di telingaku.“Ya, aku ingin sekali bercinta denganmu, saat ini, di dalam taman ini dan di atas tikar ini.”Aku mematung mendengar apa yang Gabriel katakan, tapi untung kesadaranku kembali dengan cepat. Kudorong dia dengan kuat. TIDAK! Yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah, melayangkan tanganku ke pipinya saat mendengar hasrat mesumnya itu.“Lancang kamu,” ujarku dengan suara tertekan. Kutahan gemuruh di dada ini dengan sekuat mungkin. Aku tidak boleh kasar karena aku bukan orang yang gampang main tangan atau menyakiti orang lain.“Grace, mama ingin agar kamu hamil secepat mungkin.”Glek! Aku diingatkan kembali pada perjanjianku dengan Ibu Ariani, dan mau atau tidak mau, aku harus memenuhi semua persyaratan yang ada dalam kontrak sialan itu.“Aku siap membuat cucu untuk mama dan papa kapan saja," lanjut Gabriel.‘What? Apa
“Tunggu sebentar, Grace, masih ada yang ingin aku katakan,” ucap Gabriel lirih.Aku berdiri dan menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan padaku.“Grace, aku tidak sabar lagi menanti hari ketiga itu. Kalaupun kamu mau sekarang, aku sudah siap.”Aku hampir tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang memelas, tapi kutahan semampuku.“Kenapa kamu ingin sekali melakukan hal ini sekarang?” tanyaku usil. Entah kenapa, aku ingin mengorek-ngorek apa yang ada di pikirannya.“Karena aku …, eeemm, aku …”“Ingin memberi cucu untuk orang tuamu? Ingin bercinta denganku? Oooh, atau mungkin kamu butuh kehangatan karena Natalia belum pulang juga?”“Semua itu tidak benar, Grace,” elak Gabriel lirih.Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya. Entah itu hanya perasaanku saja atau tidak, aku pun tak tahu. Dengan berani, aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.“Dengar ya, Gabriel. Aku bukan wanita penghangat ranjangmu di saat kamu membutuhkan kehangatan. Tugasku di sini untuk memberi cucu bag