“Terima kasih sudah berinisiatif mengadakan acara ini,” bisik Natalia sambil menyesap minuman di dalam gelas di depannya.“You’re welcome. Melihatmu bahagia seperti ini, merupakan kehormatan bagiku.”Bara yang duduk di depan Natalia sambil menikmati kecantikan wanita itu. Suasana bar itu sudah mulai sepi karena teman-teman sekerja mereka sudah pulang duluan. Kini hanya tinggal Bara dan Natalia yang masih bertahan dan minum-minum.Natalia yang sudah dalam pengaruh minuman yang telah dikonsumsinya, memegang wajah Bara dan mengelus-ngelus wajah pria itu.Glek! Bara menelan salivanya karena tindakan Natalia yang mengelusnya, mengenai bagian sensitif di wajahnya.“Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Natalia sambil membelai rahang Bara. Netra Bara berkilat menatap Natalia yang ada di depannya. Dia benar-benar harus menahan diri agar tidak menyentuh atau mengecup bibir Natalia yang sangat menggemaskan.“Jam berapa sekarang, Baaraaa,” tanya si Natalia yang sudah mulai oleng. Mau tak mau, Ba
Natalia berjalan terseok-seok dari taksi menuju pintu pagar, penjaga mansion yang memang ditugaskan untuk berjaga-jaga, langsung bergerak cepat membukakan pintu pagar bagi sang Nyonya rumah. Natalia melangkah dengan pelan memasuki mansionnya yang terasa sunyi senyap. “Dari mana saja kamu, Natalia?” Terdengar suara Gabriel begitu Natalia memasuki lorong menuju ruang tamu. Wanita itu hampir melompat kaget karena suara Gabriel yang terdengar begitu tajam dan dingin. Sebenarnya, Gabriel sudah berusaha untuk tidur, tapi karena tidak bisa, dia akhirnya memutuskan untuk menunggu kepulangan Natalia di ruang tamu. “Natalia?” ucap Gabriel dengan penuh penekanan. Glek! Natalia berusaha untuk terlihat normal-normal saja, tapi dia tidak bisa menutupi cara berjalannya yang sempoyongan. Belum lagi mulutnya yang beraroma alkohol. Dia benar-benar tertangkap basah sekarang. “Jawab pertanyaan aku, Natalia?” sentak Gabriel dengan suara tertahan. Dia berusaha untuk mengontrol suaranya agar tida
“M-maaf,” ucapku gagap karena telah menyiram Gabriel dengan air yang, mmh, cukup dingin. Kini, Gabriel berdiri di hadapanku dengan baju olahraga yang basah sehingga otot-ototnya tercetak dengan jelas dan terpampang nyata di mataku. Mungkin bagi wanita lain, itu adalah pandangan yang menggiurkan, tapi tidak bagiku. Dia bukan siapa-siapaku. Namun tetap saja itu membuatku jengah.Yang aneh, Gabriel malah tersenyum manis padaku, padahal aku sudah siap kalau sampai dia marah, kesal, atau mencaci maki diriku. Kuakui, sikapnya sudah berubah akhir-akhir ini. Tatapan matanya dan cara dia tersenyum kepadaku, seakan dia sedang tebar pesona. Aku bingung dengan perhatian-perhatian kecil yang ia berikan.“Aku ambil handuk dulu,” ucapku cepat untuk menutupi kecanggungan yang aku rasakan dan berlari dengan cepat ke dalam rumah. Kuraih selembar handuk bersih dari ruang penyimpanan dan kembali kepada Gabriel yang sudah menungguku.“Thank you,” ucap Gabriel sambil meraih handuk dari tanganku. Entah dia
Gabriel yang sudah tidak sabar lagi untuk melakukan pengintainya, segera menyalakan mobil dan menunggu sampai dia yakin kalau Grace tidak akan mencurigainya. Dia menyiapkan perlengkapan pengintaian seperti topi dan masker wajah. Perlahan tapi pasti, dia mengikut Grace yang sedang berjalan ke arah jalan utama.“Apakah dia akan naik angkot?” gumam Gabriel sambil terus mengawasi pergerakan Grace. Tak lama kemudian, taksi pesanan Grace sudah tiba, wanita itu segera masuk ke dalam taksi dan berangkat ke tempat tujuan.“Apakah dia naik taksi setiap hari? Dari mana dia dapat uang sebanyak itu untuk membayar taksi?” Gabriel segera mencatat hal penting tentang Grace dalam hatinya. Dia memasuki jalan utama dan terus mengikuti taksi yang dikendarai Grace. Hatinya berdebar kencang karena takut dia takut kalau pengintainya akan ketahuan oleh Grace. Dia tidak mau membuat wanita itu marah dan menghindarinya lagi, karena dia tahu betapa susahnya untuk mendekati Grace.Setelah dua puluh menit, taksi y
Gabriel cemburu, dia tidak suka ada pria lain yang menyentuh Grace, apalagi saat Grace tersenyum manis pada dokter itu. Dada Gabriel bergemuruh menahan emosi. Kedua orang itu berdiri di sana cukup lama dan beberapa saat kemudian, si Dokter kembali menyentuh bahu Grace dan seperti menuntun Grace untuk berjalan menuju ke sebuah ruangan.“Permisi, Bapak sedang mencari siapa di sini?” tanya seorang suster yang curiga dengan tindak-tanduk Gabriel yang aneh.“Eh, emm, maaf, aku mengantarkan istriku yang sedang cek-up, dan sekarang aku mau cari toilet dulu,” jawab Gabriel asal-asalan.“Oh, toiletnya di sebelah sana, Pak. Mari, saya bantu kalau Bapak kesulitan menemukan toilet.”“Tidak apa-apa, Sus, aku bisa cari sendiri.”Suster itu terlihat kebingungan dan sempat berdiri bengong di depan Gabriel yang memakai topi dan masker.“Jangan lama-lama berada di dekatku, Suster, nanti bisa terjangkit virus berbahaya. Bahaya!”Mendengar kata virus, tanpa ba-bi-bu, suster itu segera pergi menjauh dari
Natalia terbangun dengan sakit kepala yang menyerangnya, dia mual dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Huuueeeekk! Tubuhnya terasa lemas, selain itu dia sangat kehausan.“Gabriel? teriaknya tanpa tenaga, tapi tidak ada jawaban dari sang suami.“Ke mana lagi si Gabriel? Masa dia berangkat kerja tanpa pamit padaku?” dengus Natalia dengan kesal. Dia berusaha untuk berdiri sambil memegang pinggiran tempat cuci tangan. Kepalanya terasa berat dan semua benda di sekitarnya berputar-putar seperti gasing. Jujur saja, Natalia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.“Gabriel?” teriak Natalia sekali lagi. Dia menyalakan kran air di depannya dan mencoba untuk mengusap wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa membantunya untuk kembali segar.“Penampilanku benar-benar memalukan. Apa yang sudah aku lakukan semalam?”Natalia berjalan tertatih-tatih sambil berpegangan pada tembok di sekitarnya. Dia langsung menepuk jidatnya begitu berhasil mengingat t
Dari ujung lorong rumah sakit, aku berdiri sambil membaca koran yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Dalam diam, aku memperhatikan gerak-gerik Gabriel. Dari balik koran, kulihat Gabriel keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, dia melihat sekitar dan semua terlihat aman baginya. Dia tidak mencurigai keberadaanku di sana. Dilepasnya topi dan masker yang menutupi wajahnya. “Hah! Akhirnya aku bisa bernapas lega.” Kudengar celetuk Gabriel yang berjalan dengan santai dari ujung lorong. Aku berusaha untuk menahan tawa dan menunggu saat Gabriel mendekatiku.“Kamu ngapain di sini?” ucapku yang tiba-tiba begitu Gabriel melewatiku. Kulipat koran itu dengan rapi, lalu menyilangkan tanganku di dada. Gabriel berbalik dengan wajah memucat saking terkejutnya, lalu dia melompat ke arah tembok begitu sadar bahwa akulah orang yang telah menyapanya. Hal itu membuatku merasa bersalah karena telah mengagetkannya."Gabriel?" panggilku pelan tapi tegas.“A-aku …,” ucap Gabriel gagap. Dia benar-be
“Kamu ke mana saja seharian? Aku telepon, tidak diangkat, pesanku pun, tidak kamu balas,” mencak Natalia begitu Gabriel tiba di mansion sore itu. “Pekerjaanku banyak sekali hari ini.”“Jangan bohong kamu! Aku menelpon kantor tadi siang, dan si Ambar bilang kalau kamu tidak ada di kantor seharian.”“Pekerjaan aku itu bukan hanya di kantor saja, Natalia. Aku harus keliling untuk memeriksa kantor cabang dan kadang-kadang ada meeting dengan klien.”"Kamu bohong lagi, deh. Ambar bilang kalau kamu membatalkan semua janji meetingmu hari ini.”Gabriel membuang napas dengan kesal. Natalia tidak akan pernah menyerah kalau dia tidak punya alasan yang masuk akal."Aku memeriksa satu kantor cabang di jalan Sudirman."Natalia menarik napas lega dan akhirnya diam setelah mendapat jawaban yang dia inginkan.“Sekarang kita bicarakan masalah yang semalam," ucap Gabriel dingin.Glek! Kini wajah Natalia terlihat pucat."Aku marah karena kamu mengingkari janjimu,” ujar Gabriel tajam. Ya, dia masih marah