Gabriel yang masih marah dengan sikap Natalia, segera menuju ke rooftop untuk menenangkan diri di sana. Rasa laparnya hilang entah ke mana. Dia berdiri di pinggiran balkon dan melihat ke arah bawah, taman belakang terlihat sepi dan temaram karena matahari sudah kembali ke tempat peraduannya. “Hmm, mungkin aku bisa ke kamar dan mengambil tas kerjaku.” Gabriel memutuskan untuk mengambil laptop karena kebetulan sekali dia sama sekali belum menyentuh pekerjaan kantor hari ini karena sudah menjadi mata-mata demi mengetahui siapa Grace sebenarnya. Banyak laporan dan data-data perusahaan yang belum dia periksa sama sekali.Pling! Layar ponsel Gabriel berkedip dan di sana terlihat sebuah pesan singkat masuk yang ke dalam inboxnya.'Tuan, sepertinya ada yang hendak meretas data-data kantor milik perusahaan Angkasa.' Begitu bunyi pesan dari asistennya, Christer. “Apa? Sialan!” gumam Gabriel sambil bergegas ke kamarnya untuk mengambil laptop miliknya. Begitu dia masuk, dilihatnya Natalia yang
"Done, masukkan kode kedua, maka kode pertama tidak akan pernah bisa ditebak."Gabriel menatapku terpana, dia seakan tidak percaya kalau aku bisa melakukan semua ini.“Dari mana kamu mempelajari hal ini?” tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.“Pertanyaan yang bagus. Tapi, bukankah kamu seharian ini telah mengikutiku? Aku yakin kamu sudah tahu banyak tentang diriku,” ucapku sambil menyipitkan kedua mataku. Kulihat tangannya terulur ke depan hendak menyentuhku, tapi aku segera berdiri dan menjauh darinya. Dia sudah ada yang punya, dan aku tidak mau merusak hal itu. Begitu tugas ini selesai, aku akan pergi selamanya dari kehidupan mereka. Betapa aku sudah tidak sabar menanti saat-saat kebebasan itu. Bayi yang nantinya aku kandung, adalah kunci di mana aku bisa mendapat kembali perusahaan milik keluargaku.“Terima kasih, Grace,” ucap Gabriel menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku jabarkan.“Sama-sama. Semoga para hackers di luar sana, tidak berhasil memecah kode sandi milikmu.”“
Untuk menghindari Gabriel dan Natalia, aku sengaja bangun pagi-pagi dan menyiapkan diriku untuk berangkat ke rumah sakit dan menemani mama. Selain itu, aku juga akan ke acara pesta yang diadakan oleh Ibu Ariani dan Pak Ronald. Entah pesta apa yang akan mereka adakan, aku pun tak tahu. “Bik Sumi, aku berangkat dulu, ya,” pamitku kepada Bik Sumi yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan pagi. Waktu baru menunjukkan pukul enam.“Loh, kok sudah berangkat pagi-pagi sekali, Non Grace?” Bik Sumi kaget melihatku yang rapi sambil menggendong tas yang berisi gaun pesta yang akan aku kenakan nanti. Rencananya, aku juga akan berangkat pesta dari rumah sakit, karena tidak mau berangkat bersama pasangan suami istri itu.“Iya, Bik, aku ada kerjaan mendadak hari ini, makanya aku harus berangkat sekarang.”“Mau saya bungkuskan sarapan, Non?”“Eh, tidak perlu, Bik, terima kasih.”“Tidak lama ‘kok, Non. Saya bungkus cepat-cepat." Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih ada waktu se
“Kamu?” tanyaku tercekat dan tidak jadi menikmati kue lapis yang berada dalam genggamanku. Mulutku tadi yang sempat menganga, pasti terlihat konyol di hadapannya. Sial!Pria di depanku itu mengulurkan tangannya mengajakku berkenalan. Senyuman manis nan menggoda terlukis indah di wajahnya yang mirip dengan Gabriel.“Perkenalkan, namaku Noah,” ucapnya sambil menanti uluran tanganku. “Grace,” balasku singkat. Aku membiarkan tangannya menggantung di udara, well kecuali kalau dia mau tangannya jadi kotor dan lengket karena kue lapis.“Loh, Noah, kamu sudah kenal sama Grace, ya?” Ibu Ariani tiba-tiba muncul dari belakang Noah. Dengan cepat, aku langsung meraih tisu di hadapanku untuk melap tanganku sampai bersih.“Ada bidadari secantik ini di pesta Mama, masa aku tidak ajak kenalan?” ucap Noah sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku menarik ujung bibirku agar melengkung dan membentuk sebuah senyuman, biar tidak terlihat sombong.“Dasar kamu tukang gombal, Nak,” goda Ibu Ariani sambil mengu
Tangan Noah yang kokoh menggenggam tanganku dengan erat dan mengajakku ke lantai paling atas. Sekilas sempat kulihat Gabriel yang menatapku tajam dari ujung ruangan. Namun, aku tidak peduli. Kuikuti ke mana langkah kaki ini berjalan. Kami melewati banyak anak tangga sebelum tiba di atas.“Tada! Bagaimana? Bagus, tidak?” ucap Noah sambil mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar. Aku tersenyum riang dan berputar-putar. Rooftop milik keluarga Angkasa memang tidak perlu diragukan lagi keindahannya. “Ini benar-benar indah, Noah …,” seruku seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru. “Sini, aku tunjukan sesuatu padamu.”Aku mengikuti Noah yang berjalan ke sebelah kiri balkon. Benar saja, pemandangan dari sana, langsung mengarah ke ufuk barat. Sisa-sisa matahari yang baru saja tenggelam, masih terlihat dengan indah. Aku berdiri mematung menyaksikan keindahan Tuhan di depanku.Pintu samping yang terbuka mengejutkan aku dan Noah. Kami menoleh secara bersama, dan sepasang masa
“No problem,” bisik Noah. Tangannya masih menggenggam pinggangku dan dengan perlahan ia menarikku mendekat padanya.“Apa yang kalian lakukan???”Kami berdua tersentak kaget dan aku langsung menarik diriku menjauh dari Noah. Dari balik punggung Noah, aku melihat Gabriel berdiri di ujung sana dengan sinar mata yang penuh dengan amarah.Raut wajah Noah berubah. Dia heran melihat Gabriel bersikap seperti itu. “Kamu kenapa marah?” tanya Noah. “Ehem,” Gabriel batuk pelan. “Marah, siapa yang marah? Aku hanya bertanya apa yang kalian lakukan.”Noah menyeringai singkat, lalu dia mengulurkan tangannya ke arahku.“Kita turun sekarang.” Tanpa ragu, aku menerima uluran tangan Noah dan mengikutinya turun. Kulihat Gabriel mendengus kesal dan mengikuti kami berdua dari belakang.“Noah, aku perlu berbicara dengan Grace sebentar,” tukas Gabriel tiba-tiba sehingga membuat langkah kaki kami terhenti di pertengahan tangga menuju lantai bawah.“Bicara dengan Grace?” Terdengar nada protes dari Noah.“Yeah,
“Kita harus kembali ke ruangan pesta sekarang sebelum Ibu Ariani mencari kita berdua,” ucapku pada Noah.Aku berlalu dari hadapannya. Hatiku sakit, karena perjanjian ini, aku bahkan tidak bisa dekat dekat pria lain, aku bahkan memutuskan kontak dengan sahabat-sahabatku. Pesan, inbox dan telepon dari mereka, semua aku hiraukan. ‘Aku harus menunggu sampai kontrak ini berakhir, baru aku bisa membuka diri pada pria lain. Selama aku masih tinggal di bawah atap rumah Gabriel, maka aku adalah tawanannya.'Noah mengikutiku dari dari belakang dengan membisu. Mungkin dia bingung dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba acuh tak acuh. Biarlah, lebih baik aku acuhkan dia sekarang dari pada dia sakit nantinya.Aku dan Noah memasuki kembali ruangan pesta, dan benar saja seperti yang sudah aku pikirkan tadi, kalau Ibu Ariani sudah menunggu kami.“Untunglah kalian sudah datang. Apakah kamu menyukai pemandangan dari atas sana, Grace?” tanya Ibu Ariani sambil mengelus pipiku. Entah kenapa, aku suka saa
Aku berdiri dengan gelisah di depan Ibu Ariana, dan berdoa semoga pikiran buruk yang ada di otakku tidak benar-benar terjadi. Aku masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati mama dan papa.“Apakah kamu menikmati pesta ini, Grace?” tanya Ibu Ariani sambil mempersilahkan aku duduk di sebuah kursi.Aku meletakkan bokongku sambil mengangguk dengan cepat, dan berharap Ibu Ariani segera memberitahu tujuannya mengajakku berbicara empat mata. Jantungku berdebar-debar dengan kencang dan dengan sekuat tenaga aku tidak memperlihatkan kegugupanku.“Apakah Gabriel dan Natalia memperlakukanmu dengan baik selama ini, Grace?”Glek! Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi aku akhirnya membuka mulutku.“Iya, Bu, mereka berdua memperlakukanku dengan baik.” Tanpa berpikir panjang, aku menjawab asal. Biarlah, aku tidak mau membuat masalah saat ini sebelum aku tahu pokok permasalahan yang ada.“Jadi begini, Grace. Ibu sudah berbicara dengan Gabriel dan dia sudah berjanji akan mencoba dengan s