“Kita harus kembali ke ruangan pesta sekarang sebelum Ibu Ariani mencari kita berdua,” ucapku pada Noah.Aku berlalu dari hadapannya. Hatiku sakit, karena perjanjian ini, aku bahkan tidak bisa dekat dekat pria lain, aku bahkan memutuskan kontak dengan sahabat-sahabatku. Pesan, inbox dan telepon dari mereka, semua aku hiraukan. ‘Aku harus menunggu sampai kontrak ini berakhir, baru aku bisa membuka diri pada pria lain. Selama aku masih tinggal di bawah atap rumah Gabriel, maka aku adalah tawanannya.'Noah mengikutiku dari dari belakang dengan membisu. Mungkin dia bingung dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba acuh tak acuh. Biarlah, lebih baik aku acuhkan dia sekarang dari pada dia sakit nantinya.Aku dan Noah memasuki kembali ruangan pesta, dan benar saja seperti yang sudah aku pikirkan tadi, kalau Ibu Ariani sudah menunggu kami.“Untunglah kalian sudah datang. Apakah kamu menyukai pemandangan dari atas sana, Grace?” tanya Ibu Ariani sambil mengelus pipiku. Entah kenapa, aku suka saa
Aku berdiri dengan gelisah di depan Ibu Ariana, dan berdoa semoga pikiran buruk yang ada di otakku tidak benar-benar terjadi. Aku masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati mama dan papa.“Apakah kamu menikmati pesta ini, Grace?” tanya Ibu Ariani sambil mempersilahkan aku duduk di sebuah kursi.Aku meletakkan bokongku sambil mengangguk dengan cepat, dan berharap Ibu Ariani segera memberitahu tujuannya mengajakku berbicara empat mata. Jantungku berdebar-debar dengan kencang dan dengan sekuat tenaga aku tidak memperlihatkan kegugupanku.“Apakah Gabriel dan Natalia memperlakukanmu dengan baik selama ini, Grace?”Glek! Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi aku akhirnya membuka mulutku.“Iya, Bu, mereka berdua memperlakukanku dengan baik.” Tanpa berpikir panjang, aku menjawab asal. Biarlah, aku tidak mau membuat masalah saat ini sebelum aku tahu pokok permasalahan yang ada.“Jadi begini, Grace. Ibu sudah berbicara dengan Gabriel dan dia sudah berjanji akan mencoba dengan s
“Jawab aku, Gabriel? Apakah kamu menyukaiku?”“Aku ….” Gabriel menatapku dalam-dalam dan menarik napas panjang. Entah apa yang merasuk jiwaku, aku membiarkan dia membelai lembut pipi dan daguku. Kutatap wajah Gabriel yang memang tampan. Dia tipe idaman wanita-wanita di luar sana.“Apakah kamu takut mengakui semua itu?” tanyaku pelan. Gabriel menggelengkan kepalanya.“Aku bukan hanya suka padamu, Grace, tapi sejak kehadiranmu di hidupku, pikiranku hanya dipenuhi oleh kamu, dan kadang aku tidak bisa mengontrol diriku sendri.”Jantungku berdetak dengan keras, dan aku tahu, seharusnya aku tidak boleh seperti itu. Namun, kejujuran Gabriel membuat aku tersiksa. Gabriel adalah milik wanita lain. Aku masuk ke dalam kehidupannya hanya karena aku terjerat dalam perjanjian itu. Kembali aku harus mengingatkan diriku sendiri akan tugas yang sedang aku embankan saat ini.“Grace, bolehkah aku menciummu?” Gabriel menatapku lekat-lekat. Jempolnya dengan perlahan membelai bibir bawahku dan tanpa ba-bi
“Gabriel?” Suara Natalia terdengar merajuk, dan kalau sudah begitu, Gabriel tidak bisa berkutik apa-apa. “Baiklah, Natalia. Kalau itu maumu, kita akan ke puncak besok.”Natalia langsung tersenyum lebar, diraihnya tangan Gabriel dan mengecupnya dengan mesra. “Benarkah? kamu memang yang terbaik, sayang.”Gabriel hanya tersenyum singkat, pikirannya dipenuhi dengan wajah Grace, pesonanya, manis dan lembut bibirnya, dan harum tubuhnya. Semuanya itu membuat Gabriel seperti kecanduan dan ingin selalu berada di dekat Grace.“Awas! teriak Natalia panik. Mobil mereka hampir saja menabrak mobil di depan, tapi untunglah teriakan Natalia segera menyadarkan Gabriel. Dia segera menepi dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang kebetulan tersedia tempat untuk menepi.“Kamu mikirin apa sih, Gabriel?” ketus Natalia sengit. Ditatapnya Gabriel dalam-dalam.“Aku kurang konsentrasi saja tadi, maafkan aku,” ucap Gabriel pelan. Dia mencengkram setir mobil dengan kuat.Natalia yang masih ingin marah s
Gabriel terus menumbuk tubuhnya yang kekar ke dalam diri Natalia sambil berharap benih-benihnya akan tumbuh dan menjadi sosok bayi yang sudah ia rindukan selama ini.“Yes, sayang. Lebih kuat lagi, aku suka permainanmu,” racau Natalia sambil mengerang penuh kenikmatan. Seulas senyum terukir di bibirnya.‘Kau kira aku bodoh dengan membiarkan wanita itu hamil dari cairan kenikmatanmu, Gabriel?’ gumamnya dalam hati.Selang berapa lama, mereka berdua mengerang dalam kenikmatan yang tiada tara. Tubuh Gabriel mengejang, lalu tersentak beberapa kali. Kelelakiannya berkedut liar dan menyemburkan calon-calon anak di masa depan.Lain halnya dengan Natalia, begitu nikmatnya puncak yang dia raih, membuat dia menjambak rambut Gabriel dengan liar. Setelah itu, dia menarik tubuh Gabriel agar menempel dengan erat pada tubuhnya yang polos. Peluh di tubuh mereka berdua seakan menambah gelora kenikmatan yang baru saja mereka dapatkan.“Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk memiliki anak?” tanya Gabriel
Gabriel menatapku dengan hasrat yang mendalam, dengan perlahan, dia mulai melepas baju tidurnya dan aku terpana melihat tubuhnya yang terpahat sempurna. Siapa pun yang melihatnya, pasti ingin menari-narikan jemarinya di sana. “Sentuh aku, Grace,” pinta Gabriel sambil menempelkan bagian tubuhnya yang mengeras di bawah sana, tepat di bagian intimku yang pernah dia renggut dulu. Untungnya masih ada pakaian yang menghalangi kami berdua. Tubuh Gabriel seolah-olah sedang menantang dan menjanjikan suatu kenikmatan yang pastinya akan sangat menjanjikan. Tanganku hampir terulur ke depan untuk menyentuh dadanya yang berotot, tapi langsung kutarik begitu menyadari bahwa dia bukanlah milikku. Pikiran sehatku seakan menamparku untuk kembali ke dunia nyata. “GABRIEL!!!” Suara Natalia terdengar menggelegar dari luar kamar. Dia sepertinya sudah bangun dan sedang mencari suaminya. Suara langkah kaki Natalia terdengar hilir mudik di luar sana. Jantungku berdegup dua kali lebih kencang, tapi kuliha
“Apa yang kamu lakukan di luar sini?” tanya Natalia saat melihat Gabriel yang sedang berdiri di dekat mobil.“Memeriksa mobil, memangnya kenapa?”“Oooh,” ucap Natalia pelan. Dia mendekati Gabriel dan tiba-tiba menarik baju tidur Gabriel ke arah bawah. Wanita itu ingin sekali melihat apakah di saja ada bekas-bekas merah di leher dan dada suaminya seperti yang dimiliki Grace.“Kamu kenapa, sih?” sentak Gabriel kaget dan tidak suka. Dia menahan tangan Natalia sehingga wanita itu tidak bisa meneruskan tindakannya.“Tidak apa-apa, aku hanya ingin memperbaiki kerah baju tidurmu yang entah sudah diberantakin oleh siapa,” ucap Natalia ketus. Tangannya kembali terulur dan memaksa untuk memperbaiki baju Gabriel. Melihat hal itu, Gabriel membiarkan saja, lagian tidak ada jejak-jejak merah juga di sana.Dengan mata berkilat, Natalia meneliti tubuh Gabriel, baik di bagian leher, dagu, rahang, atau pun dada. Sinar matanya terlihat sedikit kecewa karena dia tidak menemukan apa yang dia cari. Denga
Aku menunduk dan menarik napas panjang. Kalau aku terus-menerusan diam, maka Natalia akan semakin merajalela atas hidupku. Aku sudah muak ditindas seperti ini. “Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu sudah menyadari kesalahan yang telah kamu lakukan, huh?” dengus Natalia dengan wajah sinis.Aku hampir saja berteriak kesal mendengar tuduhan Natalia yang tidak masuk akal. Kutatap dia dengan tajam sambil mengumpulkan semua keberanian yang aku punya.“Nyonya Natalia, bagaimana kalau pria yang melakukan hal ini, adalah pria yang tinggal di dalam mansion ini?”Kulihat dengan jelas raut wajah Natalia yang ketakutan. Entahlah, mungkin dia takut hal yang aku katakan benar adanya. Gabriel sendiri terlihat cukup kaget melihat keberanianku. Dia berdiri dengan gelisah. Kakinya bergerak-gerak tanpa kendali.Natalia memandang suaminya seakan ingin membunuhnya di tempat itu sekarang juga. “APAKAH ITU BENAR, GABRIEL?”Gabriel menatap kami secara bergantian. Dia terlihat mati kutu. Ingin rasanya aku men
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki, s
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,