“Tunggu sebentar, Grace, masih ada yang ingin aku katakan,” ucap Gabriel lirih.Aku berdiri dan menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan padaku.“Grace, aku tidak sabar lagi menanti hari ketiga itu. Kalaupun kamu mau sekarang, aku sudah siap.”Aku hampir tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang memelas, tapi kutahan semampuku.“Kenapa kamu ingin sekali melakukan hal ini sekarang?” tanyaku usil. Entah kenapa, aku ingin mengorek-ngorek apa yang ada di pikirannya.“Karena aku …, eeemm, aku …”“Ingin memberi cucu untuk orang tuamu? Ingin bercinta denganku? Oooh, atau mungkin kamu butuh kehangatan karena Natalia belum pulang juga?”“Semua itu tidak benar, Grace,” elak Gabriel lirih.Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya. Entah itu hanya perasaanku saja atau tidak, aku pun tak tahu. Dengan berani, aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.“Dengar ya, Gabriel. Aku bukan wanita penghangat ranjangmu di saat kamu membutuhkan kehangatan. Tugasku di sini untuk memberi cucu bag
“Terima kasih sudah berinisiatif mengadakan acara ini,” bisik Natalia sambil menyesap minuman di dalam gelas di depannya.“You’re welcome. Melihatmu bahagia seperti ini, merupakan kehormatan bagiku.”Bara yang duduk di depan Natalia sambil menikmati kecantikan wanita itu. Suasana bar itu sudah mulai sepi karena teman-teman sekerja mereka sudah pulang duluan. Kini hanya tinggal Bara dan Natalia yang masih bertahan dan minum-minum.Natalia yang sudah dalam pengaruh minuman yang telah dikonsumsinya, memegang wajah Bara dan mengelus-ngelus wajah pria itu.Glek! Bara menelan salivanya karena tindakan Natalia yang mengelusnya, mengenai bagian sensitif di wajahnya.“Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Natalia sambil membelai rahang Bara. Netra Bara berkilat menatap Natalia yang ada di depannya. Dia benar-benar harus menahan diri agar tidak menyentuh atau mengecup bibir Natalia yang sangat menggemaskan.“Jam berapa sekarang, Baaraaa,” tanya si Natalia yang sudah mulai oleng. Mau tak mau, Ba
Natalia berjalan terseok-seok dari taksi menuju pintu pagar, penjaga mansion yang memang ditugaskan untuk berjaga-jaga, langsung bergerak cepat membukakan pintu pagar bagi sang Nyonya rumah. Natalia melangkah dengan pelan memasuki mansionnya yang terasa sunyi senyap. “Dari mana saja kamu, Natalia?” Terdengar suara Gabriel begitu Natalia memasuki lorong menuju ruang tamu. Wanita itu hampir melompat kaget karena suara Gabriel yang terdengar begitu tajam dan dingin. Sebenarnya, Gabriel sudah berusaha untuk tidur, tapi karena tidak bisa, dia akhirnya memutuskan untuk menunggu kepulangan Natalia di ruang tamu. “Natalia?” ucap Gabriel dengan penuh penekanan. Glek! Natalia berusaha untuk terlihat normal-normal saja, tapi dia tidak bisa menutupi cara berjalannya yang sempoyongan. Belum lagi mulutnya yang beraroma alkohol. Dia benar-benar tertangkap basah sekarang. “Jawab pertanyaan aku, Natalia?” sentak Gabriel dengan suara tertahan. Dia berusaha untuk mengontrol suaranya agar tida
“M-maaf,” ucapku gagap karena telah menyiram Gabriel dengan air yang, mmh, cukup dingin. Kini, Gabriel berdiri di hadapanku dengan baju olahraga yang basah sehingga otot-ototnya tercetak dengan jelas dan terpampang nyata di mataku. Mungkin bagi wanita lain, itu adalah pandangan yang menggiurkan, tapi tidak bagiku. Dia bukan siapa-siapaku. Namun tetap saja itu membuatku jengah.Yang aneh, Gabriel malah tersenyum manis padaku, padahal aku sudah siap kalau sampai dia marah, kesal, atau mencaci maki diriku. Kuakui, sikapnya sudah berubah akhir-akhir ini. Tatapan matanya dan cara dia tersenyum kepadaku, seakan dia sedang tebar pesona. Aku bingung dengan perhatian-perhatian kecil yang ia berikan.“Aku ambil handuk dulu,” ucapku cepat untuk menutupi kecanggungan yang aku rasakan dan berlari dengan cepat ke dalam rumah. Kuraih selembar handuk bersih dari ruang penyimpanan dan kembali kepada Gabriel yang sudah menungguku.“Thank you,” ucap Gabriel sambil meraih handuk dari tanganku. Entah dia
Gabriel yang sudah tidak sabar lagi untuk melakukan pengintainya, segera menyalakan mobil dan menunggu sampai dia yakin kalau Grace tidak akan mencurigainya. Dia menyiapkan perlengkapan pengintaian seperti topi dan masker wajah. Perlahan tapi pasti, dia mengikut Grace yang sedang berjalan ke arah jalan utama.“Apakah dia akan naik angkot?” gumam Gabriel sambil terus mengawasi pergerakan Grace. Tak lama kemudian, taksi pesanan Grace sudah tiba, wanita itu segera masuk ke dalam taksi dan berangkat ke tempat tujuan.“Apakah dia naik taksi setiap hari? Dari mana dia dapat uang sebanyak itu untuk membayar taksi?” Gabriel segera mencatat hal penting tentang Grace dalam hatinya. Dia memasuki jalan utama dan terus mengikuti taksi yang dikendarai Grace. Hatinya berdebar kencang karena takut dia takut kalau pengintainya akan ketahuan oleh Grace. Dia tidak mau membuat wanita itu marah dan menghindarinya lagi, karena dia tahu betapa susahnya untuk mendekati Grace.Setelah dua puluh menit, taksi y
Gabriel cemburu, dia tidak suka ada pria lain yang menyentuh Grace, apalagi saat Grace tersenyum manis pada dokter itu. Dada Gabriel bergemuruh menahan emosi. Kedua orang itu berdiri di sana cukup lama dan beberapa saat kemudian, si Dokter kembali menyentuh bahu Grace dan seperti menuntun Grace untuk berjalan menuju ke sebuah ruangan.“Permisi, Bapak sedang mencari siapa di sini?” tanya seorang suster yang curiga dengan tindak-tanduk Gabriel yang aneh.“Eh, emm, maaf, aku mengantarkan istriku yang sedang cek-up, dan sekarang aku mau cari toilet dulu,” jawab Gabriel asal-asalan.“Oh, toiletnya di sebelah sana, Pak. Mari, saya bantu kalau Bapak kesulitan menemukan toilet.”“Tidak apa-apa, Sus, aku bisa cari sendiri.”Suster itu terlihat kebingungan dan sempat berdiri bengong di depan Gabriel yang memakai topi dan masker.“Jangan lama-lama berada di dekatku, Suster, nanti bisa terjangkit virus berbahaya. Bahaya!”Mendengar kata virus, tanpa ba-bi-bu, suster itu segera pergi menjauh dari
Natalia terbangun dengan sakit kepala yang menyerangnya, dia mual dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Huuueeeekk! Tubuhnya terasa lemas, selain itu dia sangat kehausan.“Gabriel? teriaknya tanpa tenaga, tapi tidak ada jawaban dari sang suami.“Ke mana lagi si Gabriel? Masa dia berangkat kerja tanpa pamit padaku?” dengus Natalia dengan kesal. Dia berusaha untuk berdiri sambil memegang pinggiran tempat cuci tangan. Kepalanya terasa berat dan semua benda di sekitarnya berputar-putar seperti gasing. Jujur saja, Natalia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.“Gabriel?” teriak Natalia sekali lagi. Dia menyalakan kran air di depannya dan mencoba untuk mengusap wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa membantunya untuk kembali segar.“Penampilanku benar-benar memalukan. Apa yang sudah aku lakukan semalam?”Natalia berjalan tertatih-tatih sambil berpegangan pada tembok di sekitarnya. Dia langsung menepuk jidatnya begitu berhasil mengingat t
Dari ujung lorong rumah sakit, aku berdiri sambil membaca koran yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Dalam diam, aku memperhatikan gerak-gerik Gabriel. Dari balik koran, kulihat Gabriel keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, dia melihat sekitar dan semua terlihat aman baginya. Dia tidak mencurigai keberadaanku di sana. Dilepasnya topi dan masker yang menutupi wajahnya. “Hah! Akhirnya aku bisa bernapas lega.” Kudengar celetuk Gabriel yang berjalan dengan santai dari ujung lorong. Aku berusaha untuk menahan tawa dan menunggu saat Gabriel mendekatiku.“Kamu ngapain di sini?” ucapku yang tiba-tiba begitu Gabriel melewatiku. Kulipat koran itu dengan rapi, lalu menyilangkan tanganku di dada. Gabriel berbalik dengan wajah memucat saking terkejutnya, lalu dia melompat ke arah tembok begitu sadar bahwa akulah orang yang telah menyapanya. Hal itu membuatku merasa bersalah karena telah mengagetkannya."Gabriel?" panggilku pelan tapi tegas.“A-aku …,” ucap Gabriel gagap. Dia benar-be
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki, s
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,