“M-maaf,” ucapku gagap karena telah menyiram Gabriel dengan air yang, mmh, cukup dingin. Kini, Gabriel berdiri di hadapanku dengan baju olahraga yang basah sehingga otot-ototnya tercetak dengan jelas dan terpampang nyata di mataku. Mungkin bagi wanita lain, itu adalah pandangan yang menggiurkan, tapi tidak bagiku. Dia bukan siapa-siapaku. Namun tetap saja itu membuatku jengah.Yang aneh, Gabriel malah tersenyum manis padaku, padahal aku sudah siap kalau sampai dia marah, kesal, atau mencaci maki diriku. Kuakui, sikapnya sudah berubah akhir-akhir ini. Tatapan matanya dan cara dia tersenyum kepadaku, seakan dia sedang tebar pesona. Aku bingung dengan perhatian-perhatian kecil yang ia berikan.“Aku ambil handuk dulu,” ucapku cepat untuk menutupi kecanggungan yang aku rasakan dan berlari dengan cepat ke dalam rumah. Kuraih selembar handuk bersih dari ruang penyimpanan dan kembali kepada Gabriel yang sudah menungguku.“Thank you,” ucap Gabriel sambil meraih handuk dari tanganku. Entah dia
Gabriel yang sudah tidak sabar lagi untuk melakukan pengintainya, segera menyalakan mobil dan menunggu sampai dia yakin kalau Grace tidak akan mencurigainya. Dia menyiapkan perlengkapan pengintaian seperti topi dan masker wajah. Perlahan tapi pasti, dia mengikut Grace yang sedang berjalan ke arah jalan utama.“Apakah dia akan naik angkot?” gumam Gabriel sambil terus mengawasi pergerakan Grace. Tak lama kemudian, taksi pesanan Grace sudah tiba, wanita itu segera masuk ke dalam taksi dan berangkat ke tempat tujuan.“Apakah dia naik taksi setiap hari? Dari mana dia dapat uang sebanyak itu untuk membayar taksi?” Gabriel segera mencatat hal penting tentang Grace dalam hatinya. Dia memasuki jalan utama dan terus mengikuti taksi yang dikendarai Grace. Hatinya berdebar kencang karena takut dia takut kalau pengintainya akan ketahuan oleh Grace. Dia tidak mau membuat wanita itu marah dan menghindarinya lagi, karena dia tahu betapa susahnya untuk mendekati Grace.Setelah dua puluh menit, taksi y
Gabriel cemburu, dia tidak suka ada pria lain yang menyentuh Grace, apalagi saat Grace tersenyum manis pada dokter itu. Dada Gabriel bergemuruh menahan emosi. Kedua orang itu berdiri di sana cukup lama dan beberapa saat kemudian, si Dokter kembali menyentuh bahu Grace dan seperti menuntun Grace untuk berjalan menuju ke sebuah ruangan.“Permisi, Bapak sedang mencari siapa di sini?” tanya seorang suster yang curiga dengan tindak-tanduk Gabriel yang aneh.“Eh, emm, maaf, aku mengantarkan istriku yang sedang cek-up, dan sekarang aku mau cari toilet dulu,” jawab Gabriel asal-asalan.“Oh, toiletnya di sebelah sana, Pak. Mari, saya bantu kalau Bapak kesulitan menemukan toilet.”“Tidak apa-apa, Sus, aku bisa cari sendiri.”Suster itu terlihat kebingungan dan sempat berdiri bengong di depan Gabriel yang memakai topi dan masker.“Jangan lama-lama berada di dekatku, Suster, nanti bisa terjangkit virus berbahaya. Bahaya!”Mendengar kata virus, tanpa ba-bi-bu, suster itu segera pergi menjauh dari
Natalia terbangun dengan sakit kepala yang menyerangnya, dia mual dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Huuueeeekk! Tubuhnya terasa lemas, selain itu dia sangat kehausan.“Gabriel? teriaknya tanpa tenaga, tapi tidak ada jawaban dari sang suami.“Ke mana lagi si Gabriel? Masa dia berangkat kerja tanpa pamit padaku?” dengus Natalia dengan kesal. Dia berusaha untuk berdiri sambil memegang pinggiran tempat cuci tangan. Kepalanya terasa berat dan semua benda di sekitarnya berputar-putar seperti gasing. Jujur saja, Natalia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.“Gabriel?” teriak Natalia sekali lagi. Dia menyalakan kran air di depannya dan mencoba untuk mengusap wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa membantunya untuk kembali segar.“Penampilanku benar-benar memalukan. Apa yang sudah aku lakukan semalam?”Natalia berjalan tertatih-tatih sambil berpegangan pada tembok di sekitarnya. Dia langsung menepuk jidatnya begitu berhasil mengingat t
Dari ujung lorong rumah sakit, aku berdiri sambil membaca koran yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Dalam diam, aku memperhatikan gerak-gerik Gabriel. Dari balik koran, kulihat Gabriel keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, dia melihat sekitar dan semua terlihat aman baginya. Dia tidak mencurigai keberadaanku di sana. Dilepasnya topi dan masker yang menutupi wajahnya. “Hah! Akhirnya aku bisa bernapas lega.” Kudengar celetuk Gabriel yang berjalan dengan santai dari ujung lorong. Aku berusaha untuk menahan tawa dan menunggu saat Gabriel mendekatiku.“Kamu ngapain di sini?” ucapku yang tiba-tiba begitu Gabriel melewatiku. Kulipat koran itu dengan rapi, lalu menyilangkan tanganku di dada. Gabriel berbalik dengan wajah memucat saking terkejutnya, lalu dia melompat ke arah tembok begitu sadar bahwa akulah orang yang telah menyapanya. Hal itu membuatku merasa bersalah karena telah mengagetkannya."Gabriel?" panggilku pelan tapi tegas.“A-aku …,” ucap Gabriel gagap. Dia benar-be
“Kamu ke mana saja seharian? Aku telepon, tidak diangkat, pesanku pun, tidak kamu balas,” mencak Natalia begitu Gabriel tiba di mansion sore itu. “Pekerjaanku banyak sekali hari ini.”“Jangan bohong kamu! Aku menelpon kantor tadi siang, dan si Ambar bilang kalau kamu tidak ada di kantor seharian.”“Pekerjaan aku itu bukan hanya di kantor saja, Natalia. Aku harus keliling untuk memeriksa kantor cabang dan kadang-kadang ada meeting dengan klien.”"Kamu bohong lagi, deh. Ambar bilang kalau kamu membatalkan semua janji meetingmu hari ini.”Gabriel membuang napas dengan kesal. Natalia tidak akan pernah menyerah kalau dia tidak punya alasan yang masuk akal."Aku memeriksa satu kantor cabang di jalan Sudirman."Natalia menarik napas lega dan akhirnya diam setelah mendapat jawaban yang dia inginkan.“Sekarang kita bicarakan masalah yang semalam," ucap Gabriel dingin.Glek! Kini wajah Natalia terlihat pucat."Aku marah karena kamu mengingkari janjimu,” ujar Gabriel tajam. Ya, dia masih marah
Gabriel yang masih marah dengan sikap Natalia, segera menuju ke rooftop untuk menenangkan diri di sana. Rasa laparnya hilang entah ke mana. Dia berdiri di pinggiran balkon dan melihat ke arah bawah, taman belakang terlihat sepi dan temaram karena matahari sudah kembali ke tempat peraduannya. “Hmm, mungkin aku bisa ke kamar dan mengambil tas kerjaku.” Gabriel memutuskan untuk mengambil laptop karena kebetulan sekali dia sama sekali belum menyentuh pekerjaan kantor hari ini karena sudah menjadi mata-mata demi mengetahui siapa Grace sebenarnya. Banyak laporan dan data-data perusahaan yang belum dia periksa sama sekali.Pling! Layar ponsel Gabriel berkedip dan di sana terlihat sebuah pesan singkat masuk yang ke dalam inboxnya.'Tuan, sepertinya ada yang hendak meretas data-data kantor milik perusahaan Angkasa.' Begitu bunyi pesan dari asistennya, Christer. “Apa? Sialan!” gumam Gabriel sambil bergegas ke kamarnya untuk mengambil laptop miliknya. Begitu dia masuk, dilihatnya Natalia yang
"Done, masukkan kode kedua, maka kode pertama tidak akan pernah bisa ditebak."Gabriel menatapku terpana, dia seakan tidak percaya kalau aku bisa melakukan semua ini.“Dari mana kamu mempelajari hal ini?” tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.“Pertanyaan yang bagus. Tapi, bukankah kamu seharian ini telah mengikutiku? Aku yakin kamu sudah tahu banyak tentang diriku,” ucapku sambil menyipitkan kedua mataku. Kulihat tangannya terulur ke depan hendak menyentuhku, tapi aku segera berdiri dan menjauh darinya. Dia sudah ada yang punya, dan aku tidak mau merusak hal itu. Begitu tugas ini selesai, aku akan pergi selamanya dari kehidupan mereka. Betapa aku sudah tidak sabar menanti saat-saat kebebasan itu. Bayi yang nantinya aku kandung, adalah kunci di mana aku bisa mendapat kembali perusahaan milik keluargaku.“Terima kasih, Grace,” ucap Gabriel menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku jabarkan.“Sama-sama. Semoga para hackers di luar sana, tidak berhasil memecah kode sandi milikmu.”“