Gabriel memasuki mansionnya dengan terburu-buru. Suasana yang terasa sepi membuatnya merasa kesepian. Dia ingin sekali saat dia pulang kerja, ada seorang atau dua orang anak kecil yang berlari menyambut kepulangannya dan memanggilnya PAPA. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia mulai merindukan suara tangisan bayi dan celoteh seorang anak kecil di mansion ini.“Hmm, rupanya belum ada tanda-tanda kalau Natalia maupun Grace sudah pulang dari kegiatannya masing-masing,” gumam Gabriel saat melewati ruang tamu yang sangat luas.“Bik Sumi!” panggil Gabriel sambil menggantung kunci mobilnya di tempat biasa.“Ya, Tuan? Oh, sudah pulang rupanya. Saya sedang menyiapkan makan malam seperti yang telah Tuan minta.”“Terima kasih, Bik. Nanti langsung saja dibawa ke rooftop.""Bai, Tuan.""Oh iya, Bik Tutik sudah kembali dari mudik?”“Sepertinya Tutik akan kembali besok sore, Tuan.”“Baik, Bik. Oh iya, setelah semua beres, jangan lupa untuk mengganti sprei baru di kamarku dan Natalia.”“Maaf, Tuan. Saya
Gabriel berdiri di depan meja makan di rooftop dan memastikan semua sempurna seperti yang dia inginkan. Mulai dari dekorasi, penataan meja dan kursi, cara menyidangkan makanan dan hal-hal kecil lainnya.“Hmm, sekarang tinggal menunggu kepulangan Natalia,” gumam Gabriel sambil duduk di sebuah kursi yang terlihat seperti kursi pantai. Dia duduk selonjor dan mulai berseluncur di dunia maya, serta membaca berita-berita di internet. Waktu berjalan terasa sangat lambat, dan belum ada tanda-tanda kepulangan Natalia, padahal sebentar lagi pukul lima sore. Natalia sempat mengirimnya sebuah pesan beberapa jam yang lalu, dan memberitahunya kalau dia akan tiba di rumah jam setengah lima.“Apakah dia lembur hari ini? Tetapi kenapa dia tidak menelponku?” ucap Gabriel bermonolog. Dia sudah tidak sabar rupanya menunggu kepulangan Natalia. Kembali dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat foto-fotonya bersama Natalia waktu mereka liburan ke Singapura dua tahun yang lalu. Namun, rasa bosan
“Hari ini adalah hari terindah dalam hidup saya, Non Grace,” ucap Bik Sumi sambil tersenyum riang. Wanita paruh baya itu sempat bersenandung beberapa kali saking senangnya.“Alasannya?” tanyaku penasaran sambil menata buah-buahan segar di atas sebuah nampan cantik. “Ya ini, Non, bisa piknik dengan Non Grace.”“Hah? Yang benar, Bik?”Iya, Non, masa saya bohong?"Aku tertawa lepas melihat kepolosan dan kejujuran Bik Sumi. Bahagia itu ternyata sesimpel ini ya. Tidak perlu menata meja yang cantik dengan segala pernak-perniknya, serta makanan mewah. Cukup bersama dengan orang yang menerima diri kita apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. “Bik Sumi duduk di sini, aku duduk di sana,” ucapku sambil menyediakan alas yang empuk untuk tempat duduk.“Terima kasih, Non. Sejak kematian suami saya, semua terasa sepi."Aku menatap haru wanita paruh baya yang duduk tepat di hadapanku kini. "Aku ikut berdukacita, Bik Sumi." Kupeluk Bik Sumi dengan hati sedih."Terima kasih, Non. Tapi saya sudah terb
Gabriel mendorong tubuhnya sehingga wajah kami berdua begitu dekat. Matanya menatapku, lalu pelan-pelan tatapannya turun ke bibirku, dan dengan pelan dia berbisik di telingaku.“Ya, aku ingin sekali bercinta denganmu, saat ini, di dalam taman ini dan di atas tikar ini.”Aku mematung mendengar apa yang Gabriel katakan, tapi untung kesadaranku kembali dengan cepat. Kudorong dia dengan kuat. TIDAK! Yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah, melayangkan tanganku ke pipinya saat mendengar hasrat mesumnya itu.“Lancang kamu,” ujarku dengan suara tertekan. Kutahan gemuruh di dada ini dengan sekuat mungkin. Aku tidak boleh kasar karena aku bukan orang yang gampang main tangan atau menyakiti orang lain.“Grace, mama ingin agar kamu hamil secepat mungkin.”Glek! Aku diingatkan kembali pada perjanjianku dengan Ibu Ariani, dan mau atau tidak mau, aku harus memenuhi semua persyaratan yang ada dalam kontrak sialan itu.“Aku siap membuat cucu untuk mama dan papa kapan saja," lanjut Gabriel.‘What? Apa
“Tunggu sebentar, Grace, masih ada yang ingin aku katakan,” ucap Gabriel lirih.Aku berdiri dan menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan padaku.“Grace, aku tidak sabar lagi menanti hari ketiga itu. Kalaupun kamu mau sekarang, aku sudah siap.”Aku hampir tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang memelas, tapi kutahan semampuku.“Kenapa kamu ingin sekali melakukan hal ini sekarang?” tanyaku usil. Entah kenapa, aku ingin mengorek-ngorek apa yang ada di pikirannya.“Karena aku …, eeemm, aku …”“Ingin memberi cucu untuk orang tuamu? Ingin bercinta denganku? Oooh, atau mungkin kamu butuh kehangatan karena Natalia belum pulang juga?”“Semua itu tidak benar, Grace,” elak Gabriel lirih.Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya. Entah itu hanya perasaanku saja atau tidak, aku pun tak tahu. Dengan berani, aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.“Dengar ya, Gabriel. Aku bukan wanita penghangat ranjangmu di saat kamu membutuhkan kehangatan. Tugasku di sini untuk memberi cucu bag
“Terima kasih sudah berinisiatif mengadakan acara ini,” bisik Natalia sambil menyesap minuman di dalam gelas di depannya.“You’re welcome. Melihatmu bahagia seperti ini, merupakan kehormatan bagiku.”Bara yang duduk di depan Natalia sambil menikmati kecantikan wanita itu. Suasana bar itu sudah mulai sepi karena teman-teman sekerja mereka sudah pulang duluan. Kini hanya tinggal Bara dan Natalia yang masih bertahan dan minum-minum.Natalia yang sudah dalam pengaruh minuman yang telah dikonsumsinya, memegang wajah Bara dan mengelus-ngelus wajah pria itu.Glek! Bara menelan salivanya karena tindakan Natalia yang mengelusnya, mengenai bagian sensitif di wajahnya.“Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Natalia sambil membelai rahang Bara. Netra Bara berkilat menatap Natalia yang ada di depannya. Dia benar-benar harus menahan diri agar tidak menyentuh atau mengecup bibir Natalia yang sangat menggemaskan.“Jam berapa sekarang, Baaraaa,” tanya si Natalia yang sudah mulai oleng. Mau tak mau, Ba
Natalia berjalan terseok-seok dari taksi menuju pintu pagar, penjaga mansion yang memang ditugaskan untuk berjaga-jaga, langsung bergerak cepat membukakan pintu pagar bagi sang Nyonya rumah. Natalia melangkah dengan pelan memasuki mansionnya yang terasa sunyi senyap. “Dari mana saja kamu, Natalia?” Terdengar suara Gabriel begitu Natalia memasuki lorong menuju ruang tamu. Wanita itu hampir melompat kaget karena suara Gabriel yang terdengar begitu tajam dan dingin. Sebenarnya, Gabriel sudah berusaha untuk tidur, tapi karena tidak bisa, dia akhirnya memutuskan untuk menunggu kepulangan Natalia di ruang tamu. “Natalia?” ucap Gabriel dengan penuh penekanan. Glek! Natalia berusaha untuk terlihat normal-normal saja, tapi dia tidak bisa menutupi cara berjalannya yang sempoyongan. Belum lagi mulutnya yang beraroma alkohol. Dia benar-benar tertangkap basah sekarang. “Jawab pertanyaan aku, Natalia?” sentak Gabriel dengan suara tertahan. Dia berusaha untuk mengontrol suaranya agar tida
“M-maaf,” ucapku gagap karena telah menyiram Gabriel dengan air yang, mmh, cukup dingin. Kini, Gabriel berdiri di hadapanku dengan baju olahraga yang basah sehingga otot-ototnya tercetak dengan jelas dan terpampang nyata di mataku. Mungkin bagi wanita lain, itu adalah pandangan yang menggiurkan, tapi tidak bagiku. Dia bukan siapa-siapaku. Namun tetap saja itu membuatku jengah.Yang aneh, Gabriel malah tersenyum manis padaku, padahal aku sudah siap kalau sampai dia marah, kesal, atau mencaci maki diriku. Kuakui, sikapnya sudah berubah akhir-akhir ini. Tatapan matanya dan cara dia tersenyum kepadaku, seakan dia sedang tebar pesona. Aku bingung dengan perhatian-perhatian kecil yang ia berikan.“Aku ambil handuk dulu,” ucapku cepat untuk menutupi kecanggungan yang aku rasakan dan berlari dengan cepat ke dalam rumah. Kuraih selembar handuk bersih dari ruang penyimpanan dan kembali kepada Gabriel yang sudah menungguku.“Thank you,” ucap Gabriel sambil meraih handuk dari tanganku. Entah dia