“Maaf, aku membutuhkan buku itu,” ucapku sambil menatap pria yang telah mengambil buku yang sudah kucari dari tadi. Namun, aku terperanjat kaget begitu melihat wajah pria di sampingku itu. Wajahnya benar-benar mirip dengan Gabriel."Maaf, Nona, aku juga membutuhkan buku ini," kilahnya sambil tersenyum usil.Aku yang awalnya ingin marah, tapi segera kuurungkan niatku. Lagi pula, aku tidak mau berhubungan dengan spesies yang ada sangkut pautnya dengan Gabriel. Mereka adalah ras dan makhluk yang paling menyebalkan di dunia ini.Aku pun memilih untuk mengalah dan beranjak pergi darinya. Sudahlah kalau dia butuh buku itu."Sebentar! Kalau kamu mau kenalan denganku, maka buku ini adalah milikmu," tawar pria itu sambil nyengir kuda. Terlihat sekali kalau dia ingin menggodaku.“Maaf, aku sedang tidak ingin berkenalan dengan siapa pun,” ucapku singkat dan melanjutkan pencarianku. Kulirik dengan ekor mataku dan melihat pria itu menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas.“Nona, aku serius, berkenal
Gabriel memasuki mansionnya dengan terburu-buru. Suasana yang terasa sepi membuatnya merasa kesepian. Dia ingin sekali saat dia pulang kerja, ada seorang atau dua orang anak kecil yang berlari menyambut kepulangannya dan memanggilnya PAPA. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia mulai merindukan suara tangisan bayi dan celoteh seorang anak kecil di mansion ini.“Hmm, rupanya belum ada tanda-tanda kalau Natalia maupun Grace sudah pulang dari kegiatannya masing-masing,” gumam Gabriel saat melewati ruang tamu yang sangat luas.“Bik Sumi!” panggil Gabriel sambil menggantung kunci mobilnya di tempat biasa.“Ya, Tuan? Oh, sudah pulang rupanya. Saya sedang menyiapkan makan malam seperti yang telah Tuan minta.”“Terima kasih, Bik. Nanti langsung saja dibawa ke rooftop.""Bai, Tuan.""Oh iya, Bik Tutik sudah kembali dari mudik?”“Sepertinya Tutik akan kembali besok sore, Tuan.”“Baik, Bik. Oh iya, setelah semua beres, jangan lupa untuk mengganti sprei baru di kamarku dan Natalia.”“Maaf, Tuan. Saya
Gabriel berdiri di depan meja makan di rooftop dan memastikan semua sempurna seperti yang dia inginkan. Mulai dari dekorasi, penataan meja dan kursi, cara menyidangkan makanan dan hal-hal kecil lainnya.“Hmm, sekarang tinggal menunggu kepulangan Natalia,” gumam Gabriel sambil duduk di sebuah kursi yang terlihat seperti kursi pantai. Dia duduk selonjor dan mulai berseluncur di dunia maya, serta membaca berita-berita di internet. Waktu berjalan terasa sangat lambat, dan belum ada tanda-tanda kepulangan Natalia, padahal sebentar lagi pukul lima sore. Natalia sempat mengirimnya sebuah pesan beberapa jam yang lalu, dan memberitahunya kalau dia akan tiba di rumah jam setengah lima.“Apakah dia lembur hari ini? Tetapi kenapa dia tidak menelponku?” ucap Gabriel bermonolog. Dia sudah tidak sabar rupanya menunggu kepulangan Natalia. Kembali dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat foto-fotonya bersama Natalia waktu mereka liburan ke Singapura dua tahun yang lalu. Namun, rasa bosan
“Hari ini adalah hari terindah dalam hidup saya, Non Grace,” ucap Bik Sumi sambil tersenyum riang. Wanita paruh baya itu sempat bersenandung beberapa kali saking senangnya.“Alasannya?” tanyaku penasaran sambil menata buah-buahan segar di atas sebuah nampan cantik. “Ya ini, Non, bisa piknik dengan Non Grace.”“Hah? Yang benar, Bik?”Iya, Non, masa saya bohong?"Aku tertawa lepas melihat kepolosan dan kejujuran Bik Sumi. Bahagia itu ternyata sesimpel ini ya. Tidak perlu menata meja yang cantik dengan segala pernak-perniknya, serta makanan mewah. Cukup bersama dengan orang yang menerima diri kita apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. “Bik Sumi duduk di sini, aku duduk di sana,” ucapku sambil menyediakan alas yang empuk untuk tempat duduk.“Terima kasih, Non. Sejak kematian suami saya, semua terasa sepi."Aku menatap haru wanita paruh baya yang duduk tepat di hadapanku kini. "Aku ikut berdukacita, Bik Sumi." Kupeluk Bik Sumi dengan hati sedih."Terima kasih, Non. Tapi saya sudah terb
Gabriel mendorong tubuhnya sehingga wajah kami berdua begitu dekat. Matanya menatapku, lalu pelan-pelan tatapannya turun ke bibirku, dan dengan pelan dia berbisik di telingaku.“Ya, aku ingin sekali bercinta denganmu, saat ini, di dalam taman ini dan di atas tikar ini.”Aku mematung mendengar apa yang Gabriel katakan, tapi untung kesadaranku kembali dengan cepat. Kudorong dia dengan kuat. TIDAK! Yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah, melayangkan tanganku ke pipinya saat mendengar hasrat mesumnya itu.“Lancang kamu,” ujarku dengan suara tertekan. Kutahan gemuruh di dada ini dengan sekuat mungkin. Aku tidak boleh kasar karena aku bukan orang yang gampang main tangan atau menyakiti orang lain.“Grace, mama ingin agar kamu hamil secepat mungkin.”Glek! Aku diingatkan kembali pada perjanjianku dengan Ibu Ariani, dan mau atau tidak mau, aku harus memenuhi semua persyaratan yang ada dalam kontrak sialan itu.“Aku siap membuat cucu untuk mama dan papa kapan saja," lanjut Gabriel.‘What? Apa
“Tunggu sebentar, Grace, masih ada yang ingin aku katakan,” ucap Gabriel lirih.Aku berdiri dan menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan padaku.“Grace, aku tidak sabar lagi menanti hari ketiga itu. Kalaupun kamu mau sekarang, aku sudah siap.”Aku hampir tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang memelas, tapi kutahan semampuku.“Kenapa kamu ingin sekali melakukan hal ini sekarang?” tanyaku usil. Entah kenapa, aku ingin mengorek-ngorek apa yang ada di pikirannya.“Karena aku …, eeemm, aku …”“Ingin memberi cucu untuk orang tuamu? Ingin bercinta denganku? Oooh, atau mungkin kamu butuh kehangatan karena Natalia belum pulang juga?”“Semua itu tidak benar, Grace,” elak Gabriel lirih.Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya. Entah itu hanya perasaanku saja atau tidak, aku pun tak tahu. Dengan berani, aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.“Dengar ya, Gabriel. Aku bukan wanita penghangat ranjangmu di saat kamu membutuhkan kehangatan. Tugasku di sini untuk memberi cucu bag
“Terima kasih sudah berinisiatif mengadakan acara ini,” bisik Natalia sambil menyesap minuman di dalam gelas di depannya.“You’re welcome. Melihatmu bahagia seperti ini, merupakan kehormatan bagiku.”Bara yang duduk di depan Natalia sambil menikmati kecantikan wanita itu. Suasana bar itu sudah mulai sepi karena teman-teman sekerja mereka sudah pulang duluan. Kini hanya tinggal Bara dan Natalia yang masih bertahan dan minum-minum.Natalia yang sudah dalam pengaruh minuman yang telah dikonsumsinya, memegang wajah Bara dan mengelus-ngelus wajah pria itu.Glek! Bara menelan salivanya karena tindakan Natalia yang mengelusnya, mengenai bagian sensitif di wajahnya.“Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Natalia sambil membelai rahang Bara. Netra Bara berkilat menatap Natalia yang ada di depannya. Dia benar-benar harus menahan diri agar tidak menyentuh atau mengecup bibir Natalia yang sangat menggemaskan.“Jam berapa sekarang, Baaraaa,” tanya si Natalia yang sudah mulai oleng. Mau tak mau, Ba
Natalia berjalan terseok-seok dari taksi menuju pintu pagar, penjaga mansion yang memang ditugaskan untuk berjaga-jaga, langsung bergerak cepat membukakan pintu pagar bagi sang Nyonya rumah. Natalia melangkah dengan pelan memasuki mansionnya yang terasa sunyi senyap. “Dari mana saja kamu, Natalia?” Terdengar suara Gabriel begitu Natalia memasuki lorong menuju ruang tamu. Wanita itu hampir melompat kaget karena suara Gabriel yang terdengar begitu tajam dan dingin. Sebenarnya, Gabriel sudah berusaha untuk tidur, tapi karena tidak bisa, dia akhirnya memutuskan untuk menunggu kepulangan Natalia di ruang tamu. “Natalia?” ucap Gabriel dengan penuh penekanan. Glek! Natalia berusaha untuk terlihat normal-normal saja, tapi dia tidak bisa menutupi cara berjalannya yang sempoyongan. Belum lagi mulutnya yang beraroma alkohol. Dia benar-benar tertangkap basah sekarang. “Jawab pertanyaan aku, Natalia?” sentak Gabriel dengan suara tertahan. Dia berusaha untuk mengontrol suaranya agar tida
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,
"Baiklah," Gabriel menghela napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian yang tak ia miliki. "Aku akan memberitahumu apa yang Mama katakan padaku hari ini."Natalia menatapnya, matanya penuh amarah yang ia sembunyikan di balik ketenangan palsu. “Aku menunggu,” katanya dingin, tangannya bersedekap di dada, seolah berusaha melindungi hatinya yang mulai retak. Tubuhnya bergetar, tapi dia berusaha untuk tegar. Gabriel mengusap wajahnya dengan cepat, menundukkan kepala sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang muram. "Mama memintaku untuk memilih …, mmm, memilih salah satu di antara kalian berdua."Saat kata-kata itu meluncur dari mulut Gabriel, dunia Natalia runtuh seketika. Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam dadanya tanpa ampun, atau lebih tepatnya, sebuah batu besar ditimpakan di dadanya. Sesak sekali rasanya. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa berat, seakan oksigen yang ada tak cukup untuk mengisi ruang paru-parunya. Gabriel duduk dengan gelisah, d
“Mama memintaku untuk ….”“Untuk apa, Gabriel?”Natalia sebenarnya sudah tahu apa yang diminta oleh mama mertuanya lewat rekaman yang dikirim Angga. Ternyata, sepanjang hari ini, Angga, paparazzi sewaannya, malah sibuk dengan mengikuti Gabriel yang mengunjungi mamanya. Jujur, Ibu Ariani selalu berpenampilan seperti anak gadis. Tak heran, Angga terjebak dan mengira Ibu Ariani adalah kekasih gelap Gabriel.“Duduk dulu, Natalia, aku akan menceritakan semuanya kepadamu.”“Aku tidak perlu duduk, tapi yang aku perlukan saat ini adalah kejujuran darimu.”Gabriel menatap gusar saat Sara berdiri sambil bercekak pinggang di hadapannya. “Mama memintaku untuk memberitahumu bahwa Grace tengah mengandung dua bayi kembar laki-laki.”Usai mengatakan semua itu, Gabriel memandang istrinya dengan wajah cemas. Dia tidak tega melihat kekecewaan di mata Natalia. Namun reaksi yang ia dapatkan, malah di luar dugaan.“Wah, selamat untuk keberhasilanmu dalam memproduksi anak. Aku turut bahagian dengan semua i
Masih dengan suasana hati yang panas dan emosi yang meletup-letup setelah menelepon Angga, Natalia menutup laptopnya dengan keras, lalu menarik napas dalam-dalam untuk meredam perasaan yang berkecamuk di dada. Amarahnya membuncah, bercampur dengan rasa sakit yang begitu dalam. Dia tidak menyangka, Gabriel dan wanita itu, tega melakukan semua ini. Natalia meraih ponsel, mencoba menghubungi Gabriel, tetapi ia mengurungkan niatnya, lebih baik dia bicara langsung dengan Gabriel."Awas kalian semua. Just wait and see, aku tidak akan tinggal diam melihat kehancuran dalam keluargaku. Akan kubalas rasa sakit ini."Natalia berjalan mondar-mandir sebentar, sebelum ia kembali membuka rekaman video di laptopnya. Tangannya mengepal, lalu kembali mengumpat dengan kata-kata yang tidak pantas didengar oleh siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan Gabriel. Satu jam terasa begitu lama baginya.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” cetus Natalia geram. Dia mengambil gunting dan mu
“Apa pun yang terjadi, kamu harus mengambil keputusan dan mengatakan semua ini kepada istrimu," terdengar ketegasan dalam nada bicara wanita itu. Angga menahan napas, menunggu jawaban dari Gabriel untuk wanita itu.“Baiklah, aku akan mengatakannya hari ini.”“Janji loh, ya. Jangan ditunda-tunda lagi. Semakin cepat dia tahu, maka itu akan lebih bagus untuk ke depannya.”Gabriel hanya mengangguk dengan wajah lesu.Percakapan Gabriel dan wanita itu membuat bulu kuduk Angga meremang. Kamera kecil di bawah meja terus bekerja, merekam setiap kata dan ekspresi dari mereka berdua.Agar Gabriel tidak menaruh curiga padanya, Angga memesan segelas jus mangga dan duduk sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Walaupun kamera telah merekam hasil percakapan mereka, tapi Angga tetap memasang telinga dengan sebaik-baiknya. Dia tidak mau ketinggalan sedikit pun informasi penting dari mereka.Cukup lama juga, Gabriel dan wanita itu menghabis waktu di sana. Sesekali, Gabriel mengambil ponselnya dan s
Angga yang sangat penasaran kenapa Gabriel hanya mampir sebentar di kantornya yang super megah, segera menghidupkan mesin motornya dan mengikutinya dengan sangat hati-hati."Jangan kira kamu bisa lolos dari pengawasanku," bisik Angga. Adrenalinnya serasa dipacu dengan cepat, dia janji tidak akan melepaskan Gabriel dari pandangan matanya.Begitu mereka memasuki lokasi jalan yang ada lampu merah, Angga memperlambat laju motornya dan menekan remote kamera yang ditempelnya di dekat kaca spion motor. Ia juga menggunakan kamera kedap suara sehingga tidak ada orang yang curiga sama sekali kalau dia sedang menjadi paparazi.Lampu merah di depan mulai berganti menjadi hijau, memberi aba-aba bagi kendaraan yang sempat membeku di tempat. Perlahan tapi pasti, deru mesin mulai terdengar, roda-roda melaju, meninggalkan jejak debu di jalanan yang hangat oleh sinar mentari pagi. Mobil-mobil, motor, bahkan sepeda, semuanya tampak seperti bidak-bidak kecil dalam permainan besar yang bernama kehidupan.