Gabriel memaksa diri untuk berkonsentrasi dan meneruskan pekerjaannya, tapi itu tidak berhasil. Diletakkan pulpen yang ada di tangannya di atas meja dan mengusap wajahnya. Dia tidak bisa melupakan netra Grace yang indah. Jujur saja, sejak dia melihat wanita itu pertama kalinya di rumah kedua orang tuanya, Gabriel sudah terpesona pada wanita si pemilik mata indah itu. Walaupun saat itu dia memarahi dan mencaci maki Grace, tapi sebenarnya itu hanya untuk menutupi hatinya yang jatuh dalam pesona dan daya tarik Grace. “Kau membuat imanku oleng, Grace. Aku ingin sekali memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan dan memperlakukanmu dengan lebih baik lagi.” Gabriel menutup matanya dan membayangkan tubuh Grace yang panas di bawah tubuhnya. Dadanya berdesir aneh setiap kali dia mengingat malam itu. Wajah Grace yang memerah saat dia menggagahinya, Gabriel tidak pernah melupakan hal itu. Tirai suci milik wanita itu yang telah dia rusak dan ambil dengan paksa, adalah kenikmatan dan dosa
“Maaf, aku membutuhkan buku itu,” ucapku sambil menatap pria yang telah mengambil buku yang sudah kucari dari tadi. Namun, aku terperanjat kaget begitu melihat wajah pria di sampingku itu. Wajahnya benar-benar mirip dengan Gabriel."Maaf, Nona, aku juga membutuhkan buku ini," kilahnya sambil tersenyum usil.Aku yang awalnya ingin marah, tapi segera kuurungkan niatku. Lagi pula, aku tidak mau berhubungan dengan spesies yang ada sangkut pautnya dengan Gabriel. Mereka adalah ras dan makhluk yang paling menyebalkan di dunia ini.Aku pun memilih untuk mengalah dan beranjak pergi darinya. Sudahlah kalau dia butuh buku itu."Sebentar! Kalau kamu mau kenalan denganku, maka buku ini adalah milikmu," tawar pria itu sambil nyengir kuda. Terlihat sekali kalau dia ingin menggodaku.“Maaf, aku sedang tidak ingin berkenalan dengan siapa pun,” ucapku singkat dan melanjutkan pencarianku. Kulirik dengan ekor mataku dan melihat pria itu menggaruk-garuk kepalanya tidak jelas.“Nona, aku serius, berkenal
Gabriel memasuki mansionnya dengan terburu-buru. Suasana yang terasa sepi membuatnya merasa kesepian. Dia ingin sekali saat dia pulang kerja, ada seorang atau dua orang anak kecil yang berlari menyambut kepulangannya dan memanggilnya PAPA. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia mulai merindukan suara tangisan bayi dan celoteh seorang anak kecil di mansion ini.“Hmm, rupanya belum ada tanda-tanda kalau Natalia maupun Grace sudah pulang dari kegiatannya masing-masing,” gumam Gabriel saat melewati ruang tamu yang sangat luas.“Bik Sumi!” panggil Gabriel sambil menggantung kunci mobilnya di tempat biasa.“Ya, Tuan? Oh, sudah pulang rupanya. Saya sedang menyiapkan makan malam seperti yang telah Tuan minta.”“Terima kasih, Bik. Nanti langsung saja dibawa ke rooftop.""Bai, Tuan.""Oh iya, Bik Tutik sudah kembali dari mudik?”“Sepertinya Tutik akan kembali besok sore, Tuan.”“Baik, Bik. Oh iya, setelah semua beres, jangan lupa untuk mengganti sprei baru di kamarku dan Natalia.”“Maaf, Tuan. Saya
Gabriel berdiri di depan meja makan di rooftop dan memastikan semua sempurna seperti yang dia inginkan. Mulai dari dekorasi, penataan meja dan kursi, cara menyidangkan makanan dan hal-hal kecil lainnya.“Hmm, sekarang tinggal menunggu kepulangan Natalia,” gumam Gabriel sambil duduk di sebuah kursi yang terlihat seperti kursi pantai. Dia duduk selonjor dan mulai berseluncur di dunia maya, serta membaca berita-berita di internet. Waktu berjalan terasa sangat lambat, dan belum ada tanda-tanda kepulangan Natalia, padahal sebentar lagi pukul lima sore. Natalia sempat mengirimnya sebuah pesan beberapa jam yang lalu, dan memberitahunya kalau dia akan tiba di rumah jam setengah lima.“Apakah dia lembur hari ini? Tetapi kenapa dia tidak menelponku?” ucap Gabriel bermonolog. Dia sudah tidak sabar rupanya menunggu kepulangan Natalia. Kembali dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat foto-fotonya bersama Natalia waktu mereka liburan ke Singapura dua tahun yang lalu. Namun, rasa bosan
“Hari ini adalah hari terindah dalam hidup saya, Non Grace,” ucap Bik Sumi sambil tersenyum riang. Wanita paruh baya itu sempat bersenandung beberapa kali saking senangnya.“Alasannya?” tanyaku penasaran sambil menata buah-buahan segar di atas sebuah nampan cantik. “Ya ini, Non, bisa piknik dengan Non Grace.”“Hah? Yang benar, Bik?”Iya, Non, masa saya bohong?"Aku tertawa lepas melihat kepolosan dan kejujuran Bik Sumi. Bahagia itu ternyata sesimpel ini ya. Tidak perlu menata meja yang cantik dengan segala pernak-perniknya, serta makanan mewah. Cukup bersama dengan orang yang menerima diri kita apa adanya, itu sudah lebih dari cukup. “Bik Sumi duduk di sini, aku duduk di sana,” ucapku sambil menyediakan alas yang empuk untuk tempat duduk.“Terima kasih, Non. Sejak kematian suami saya, semua terasa sepi."Aku menatap haru wanita paruh baya yang duduk tepat di hadapanku kini. "Aku ikut berdukacita, Bik Sumi." Kupeluk Bik Sumi dengan hati sedih."Terima kasih, Non. Tapi saya sudah terb
Gabriel mendorong tubuhnya sehingga wajah kami berdua begitu dekat. Matanya menatapku, lalu pelan-pelan tatapannya turun ke bibirku, dan dengan pelan dia berbisik di telingaku.“Ya, aku ingin sekali bercinta denganmu, saat ini, di dalam taman ini dan di atas tikar ini.”Aku mematung mendengar apa yang Gabriel katakan, tapi untung kesadaranku kembali dengan cepat. Kudorong dia dengan kuat. TIDAK! Yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah, melayangkan tanganku ke pipinya saat mendengar hasrat mesumnya itu.“Lancang kamu,” ujarku dengan suara tertekan. Kutahan gemuruh di dada ini dengan sekuat mungkin. Aku tidak boleh kasar karena aku bukan orang yang gampang main tangan atau menyakiti orang lain.“Grace, mama ingin agar kamu hamil secepat mungkin.”Glek! Aku diingatkan kembali pada perjanjianku dengan Ibu Ariani, dan mau atau tidak mau, aku harus memenuhi semua persyaratan yang ada dalam kontrak sialan itu.“Aku siap membuat cucu untuk mama dan papa kapan saja," lanjut Gabriel.‘What? Apa
“Tunggu sebentar, Grace, masih ada yang ingin aku katakan,” ucap Gabriel lirih.Aku berdiri dan menunggu kalimat apa yang akan dia ucapkan padaku.“Grace, aku tidak sabar lagi menanti hari ketiga itu. Kalaupun kamu mau sekarang, aku sudah siap.”Aku hampir tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang memelas, tapi kutahan semampuku.“Kenapa kamu ingin sekali melakukan hal ini sekarang?” tanyaku usil. Entah kenapa, aku ingin mengorek-ngorek apa yang ada di pikirannya.“Karena aku …, eeemm, aku …”“Ingin memberi cucu untuk orang tuamu? Ingin bercinta denganku? Oooh, atau mungkin kamu butuh kehangatan karena Natalia belum pulang juga?”“Semua itu tidak benar, Grace,” elak Gabriel lirih.Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya. Entah itu hanya perasaanku saja atau tidak, aku pun tak tahu. Dengan berani, aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.“Dengar ya, Gabriel. Aku bukan wanita penghangat ranjangmu di saat kamu membutuhkan kehangatan. Tugasku di sini untuk memberi cucu bag
“Terima kasih sudah berinisiatif mengadakan acara ini,” bisik Natalia sambil menyesap minuman di dalam gelas di depannya.“You’re welcome. Melihatmu bahagia seperti ini, merupakan kehormatan bagiku.”Bara yang duduk di depan Natalia sambil menikmati kecantikan wanita itu. Suasana bar itu sudah mulai sepi karena teman-teman sekerja mereka sudah pulang duluan. Kini hanya tinggal Bara dan Natalia yang masih bertahan dan minum-minum.Natalia yang sudah dalam pengaruh minuman yang telah dikonsumsinya, memegang wajah Bara dan mengelus-ngelus wajah pria itu.Glek! Bara menelan salivanya karena tindakan Natalia yang mengelusnya, mengenai bagian sensitif di wajahnya.“Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Natalia sambil membelai rahang Bara. Netra Bara berkilat menatap Natalia yang ada di depannya. Dia benar-benar harus menahan diri agar tidak menyentuh atau mengecup bibir Natalia yang sangat menggemaskan.“Jam berapa sekarang, Baaraaa,” tanya si Natalia yang sudah mulai oleng. Mau tak mau, Ba
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki, s
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,