Anita banyak menghabiskan waktunya di rumah singgah demi kesembuhan anaknya. Hingga akhirnya ia mengetahui suaminya telah menikah lagi. Ia berusaha mengabaikan perasaannya yang hancur dan memperlihatkan baik-baik supaya tidak mempengaruhi kesehatan anaknya. Sayangnya, sang anak akhirnya mengetahui ayah yang ia rindukan memiliki perempuan lain, hingga berujung pada kondisi sang anak yang kritis. Apakah Anita akan mempertaruhkan rumah tangga setelah kondisi anaknya semakin buruk atau memilih mundur dan mengabdikan diri pada rumah singgah? Di sisi lain, ada Bayu, pemilik rumah singgah yang selalu mendukungnya. Dan Abbas, seorang ayah penyintas kanker yang juga menyukainya, membuat keadaan semakin rumit. Kepada siapakah Anita akhirnya mengabdikan dirinya? Kepada laki-laki yang dicintai putrinya, pemilik rumah singgah atau seorang ayah penyintas kanker? Jangan lupa follow dan subcribe untuk info update selanjutnya. Terima kasih.
View MoreJangan lupa tinggalkan jejak dengan subscribe, rating, like, dan komen.
Selamat membaca. Semoga menginspirasi****"Ayah, kenapa ayah merangkul Tante Rana?" tanya Izza, bocah sembilan tahun sambil memegang boneka. "Izza, sudah datang? Sini peluk ayah. Ayah rindu sekali." Ridwan mendekat dan menjongkok, tetapi Izza menjauh."Ayah belum jawab pertanyaan Izza. Ayah bilang, tidak boleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram bersentuhan, tetapi, kenapa ayah tadi merangkulnya? Dia 'kan bukan mahram Ayah?" Izza menatap sahabat ibunya polos. Matanya beralih ke perut Rana. Ia tahu Rana dan ibunya bersahabat, tetapi baru kali ini melihat ayahnya menyentuh perempuan itu.Sedang Anita tak kuasa lagi menahan air mata. Sesuatu yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Sebelumnya ia telah meminta Ridwan agar jangan membawa perempuan itu ke rumah mereka. Ternyata di belakangnya ini Ridwan ingkar janji dan siapa sangka bertepatan dengan Izza pulang ke rumah. Dari awal kepercayaannya sudah hilang kepada Ridwan. Sebelum Izza pulang, Anita sudah berusaha menghubungi laki-laki itu, tapi tak kunjung diangkat. Pesan teks yang dikirimnya, tak kunjung dibaca. Dari perjalanan, ia dengan Bayu sudah berusaha mengalihkan perhatian Izza agar tidak ke rumah, dengan mengajaknya ke rumah nenek bahkan mengajak ke mall.Namun, anak itu sudah sangat merindukan ayahnya. Berbagai rayuan dicoba sudah tidak mempan lagi."Dengarkan Ayah. Kita masuk dulu, ya. Nanti ayah jelaskan." Suara Ridwan menembus lamunan Anita. Ridwan kembali mendekati Izza. Izza hendak menjauh, tapi Ridwan sigap menangkap lengannya.Izza menoleh ke arah Anita. Ia lihat wajah ibunya basah. Pandangan Izza beralih ke ayah yang ada di depannya. "Kenapa ibu menangis? Pasti karena Ayah nakal, selama ibu tidak ada."Ridwan mendesah. Ia memegang kedua tangan putrinya. "Tidak. Ayah tidak nakal.""Lalu kenapa Ayah deketan sama Tante Rana? Ayah bilang la--""Izza," potong Ridwan. "Izza suka adik bayi, kan?"Izza mengangguk. Mata Izza berbinar cerah. Ridwan merasa sedikit bernapas lega."Sebentar lagi Izza akan punya adik bayi." Mata Izza semakin membesar."Bayi yang di perut Tante Rana itu ... adik Izza."Izza terkesiap. Ia masih belum mengerti, mengapa ayahnya bilang, bayi di perut Rana itu adiknya? Namun, insting membuatnya menarik tangan, lalu mundur beberapa langkah. Ia menggeleng. "Izza hanya ingin adik bayi dari ibu.""Izza." Ridwan mendekat. Tetapi Izza berlari ke arah seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri mematung di samping mobil, Bayu. Izza menarik tangan Bayu. "Om, bolehkan Izza jadi penghuni tetap Rumah Bahagia? Izza ingin tinggal di sana?"Bayu bungkam. Situasinya sebagai orang lain benar-benar tidak bagus. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Andai bukan karena mengkhawatirkan Izza, sedari tadi ia sudah menjauh.Bayu berjongkok. "Boleh, Izza. Rumah Bahagia selalu terbuka untuk Izza. Hanya saja, masuklah dulu ke rumah. Ayah sangat merindukan Izza."Izza menggeleng. Seketika ia menangis. "Ayah tidak pernah merindukan Izza. Selama di rumah sakit, ayah cuma sesekali jengok Izza. Ayah sudah punya adik bayi." Tangisan Izza semakin menderu. Ia menggoyang tangan Bayu. "Om, kita balik ke Banjar, yuk." Ridwan mendekat, lalu mendekap Izza. "Jangan ngomong begitu. Ayah sangat rindu Izza. Biarkan Ayah memeluk Izza."Bayu berdiri menjauh. Tanpa sadar ia juga meneteskan air matanya. Tangisan pilu Izza telah membuat lukanya kembali menganga."Engga mau." Izza meronta-ronta. Ridwan makin mendekap erat. Melihat itu Anita berlari mendekati mereka."Engga mau.""Mas, lepaskan." Anita berusaha melepaskan tangan suaminya. Ridwan mendekap erat. Ia pun menangis. Sesal telah memenuhi ruang hatinya. Hatinya sangat hancur dengan penolakan putri kesayangannya."Engga mau." Izza semakin berontak."Ayah sayang Izza." "Ayah bohong," lirih Izza. Sepertinya tenaga Izza sudah habis akibat memberontak. "Izza!" Izza terkulai lemas dalam dekapan Ridwan. "Izza," teriak Anita. Ridwan melonggarkan pelukannya. "Izza, kau tidak apa-apa, Nak?" Anita mengguncang tubuh Izza. Izza bergeming. Bayu merangsek. Ia menyentuh lengan Izza. Terlihat bintik-bintik merah telah muncul di kulit putih Izza. "Gawat. Cepat kita bawa ke rumah sakit."***Flashback. "Hemoglobin 10.0L, Trombosit 21 L, Leukosit 20. L " Anita merasakan tungkai kakinya melemah setelah membaca hasil laboratorium cek darah putrinya. Terapi sudah berjalan enam bulan, membaca hasil laboratorium seperti itu bukan pertama kali baginya sebagai seorang ibu yang memiliki putri penyintas leukemia. Tidak. Ia tidak akan terbiasa menerima keadaan ini. Hanya saja, ia harus selalu kelihatan tegar di depan putrinya. Ia tidak boleh kelihatan lemah, karena nantinya akan mempengaruhi psikologi anaknya. "Transfusi darah lagi," keluh Anita, sambil menyusuri selasar ruang Hemato-Onkologi. Sudah dua pekan Izza di ruang Hemato-Onkologi, ruangan khusus penyintas kanker dan kelainan darah. Dua pekan ini, Izza sudah menyedot lebih dari lima puluh kantong TC (thrombocyte) dan dua PRC (Packed Red Cell)Sebelum membuka pintu ruang inap putrinya, sejenak ia melepaskan napas beratnya, lalu mengisi oksigen baru yang diimbangi dengan dzikir. Berharap memberinya sedikit kelapangan. "Assalamu 'alaikum," ucapnya lirih. Di rumah ia selalu terbiasa mengucapkan salam ketika membuka pintu rumah atau pintu di kamar. Ketika di rumah sakit ia merasa tidak nyaman melakukan hal itu. Karena tiap orang tentu memiliki karakter yang berbeda. Bahkan sekarang, kadang ucapan salam sudah dianggap aneh atau peminta-minta. "Bagaimana hasilnya, Ma?" tanya Izza, ketika ia telah mendekati nakas di samping ranjang putrinya. Terlebih dulu ia menatap putrinya. Terlihat Izza sedang menunggu laporan dari mamanya. Anita menyerahkan lembaran hasil laboratorium. Izza yang bermimpi menjadi dokter anak mencermati nama-nama beserta angka-angkanya. "Tambah darah lagi ya?"Anita mengangguk lambat. Izza menarik napas, lalu melepaskannya. Ia menarik tangan mamanya "Jangan khawatir, Ma. Izza kuat." Anita tersenyum haru. Matanya berkaca-kaca. Sesaat ia menatap tangan Izza yang masih terpasang jarum infus. Ia duduk di ranjang Izza. Tangan sebelahnya mengelus kepala Izza yang sudah mulai rontok. "Mama bangga pada Izza. Izza pasti bisa melewati semua ini."Izza mengangguk pasti.Anita menghela napas. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan diisi enam pasien yang ditemani salah satu keluarganya. "Kak Rizky asik banget nonton. Nonton apa?" tanya Anita, pada pasien anak di samping bangsal Izza. "Nonton yutub." Rizky tersenyum sebentar, lalu balik lagi ke ponselnya."Dari tadi meyutub terus, kasihan matanya," gerutu ibunya Rizky, Asih. Yang duduk di samping ranjang Rizky. Anita tertawa kecil. Menatap Rizky penderita Anemia Aplastik. Beberapa memar kebiruan terlihat di kakinya yang putih. Sering bertemu Rizky di rumah sakit, membuat Anita penasaran dan browsing di internet. Kesimpulan yang ia pahami, Anemia Aplastik merupakan penyakit langka akibat kelainan pada tulang sumsum. Tulang sumsum tidak dapat menghasilkan cukup sel darah merah, sel darah putih, trombosit, atau sekaligus ketiganya. Gejala yang dialami Rizky tidak jauh beda dengan putrinya. Di antaranya lemah, kulit pucat, memar atau lebam, luka sulit sembuh, pendarahan gusi, sesak napas, nyeri dada, dada berdebar, atau sakit kepala. Gejala serupa, tetapi pengobatan yang berbeda. Izza harus menjalani kemoterapi. Namun, dibanding pasien lain, Rizky termasuk orang yang kuat. Selama merawat Rizky, Asih telah banyak melihat pasien yang telah meninggal. Memainkan ponsel sudah merupakan bagian dari kehidupan anak-anak Hemato-onkologi dalam mengisi hari-harinya. Anita memahami kebosanan anak-anak yang terus baringan di atas ranjang, tetapi memainkan ponsel dalam waktu yang cukup lama akan berdampak buruk pada kesehatan anak-anak. Terlebih lagi bagi mereka yang memang sudah mempunyai imun yang sangat rendah.Untuk mengusir kejenuhan harus ada edukasi dari orang tua, misalnya menggambar, menulis atau membaca. Sepertinya yang dilakukannya pada Izza. Ia memberi Izza sebuah buku gambar, pensil, dan crayon.Anita sudah membiasakan supaya Izza rajin menulis. Anita tau, meski Izza terlihat baik-baik saja, masih ada yang disembunyikan anak itu dari dirinya. Izza hanyalah anak berusia tujuh tahun, tetapi enam bulan sebagai penyintas kanker telah membuatnya terlihat lebih tua dari usianya."Hallooo .… Selamat siaaang .… Apa kabar?"Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments