Gleg.
Apa yang terjadi? Batin Anita. Ia tidak tahu kalau suaminya sebenarnya mantan sahabatnya. Ia tidak tahu kalau sebenarnya dirinya yang merebut Ridwan dari Rana, apa maksudnya uang yang ditransfer suaminya adalah uang Rana? Keuangan toko memburuk? Seketika beberapa rentetan pertanyaan muncul silih berganti, membuat dunia Anita menjadi berputar. ***Mobil hitam mewah itu hanya sekitar sejam membelah jalan dari Rantau ke Banjarmasin. Anita merasakan perutnya ingin memuntahkan isi, andai saja tidak sekuat tenaga ditahan."Cepat sekali jalannya, Mang. Hoek …." gerutu Anita, ketika keluar sudah dari mobil.Mang Yuni dan Bayu tertawa dengan ocehan Anita. "Hoek ….""Mama …." Izza duduk di kursi roda yang didorong oleh neneknya. Anita tersenyum, ketika melihat putrinya. Seketika mual terlupakan. "Ingat, bersikaplah tenang! Jangan gegabah."Jantung Anita mencelus. "Kenapa laki-laki ini jadi tanpa jarak?" gerutu Anita dalam hati. "Izza …." Seperti biasa, Bayu merentangkan tangan jika bertemu Izza. "Bagaimana ketika ditinggal mama? Izza pinter enggak?"Izza mengangguk. "Pintaaar." Bayu menyentuh hidung kecil Izza. "Oh iya, nenek Izza datang, ya?"Izza memamerkan gigi kecilnya. Bayu berdiri. Anita sudah di dekat mereka. "Bu, kenalkan ini, Pak Bayu. Pemilik sekaligus donatur Rumah Bahagia."Bayu mengulurkan tangan yang langsung disambut Iroh. "Saya Bayu, Bu.""Saya Iroh, neneknya Izza. Senang bisa bertemu langsung dengan Bapak. Malam tadi Izza banyak cerita tentang Bapak."Bayu menoleh Izza, meminta penjelasan. Anak itu mengalihkan perhatiannya. Anita tersenyum tingkah mereka. "Kalau begitu, saya permisi, Bu." "Silakan."Bayu kembali berjongkok. "Izza mau ikut ke rumah Om?" "Mau mau." Izza langsung merentangkan tangan. Bayu menggendong Izza. "Kita cari Kak Huda dulu, ya. Biar Izza ada temannya.""Huda masuk rumah sakit," sahut Izza."Heh? Kenapa? Kapan masuknya?""Huda demam. Subuh tadi tadi Amang Udin ngantar ke rumah sakit.""Oh, begitu. Ya sudah, kita ke rumah Om, ya."Izza mengangguk cepat. Ia memang ingin melihat seluruh ruangan di rumah sebesar itu. "Kami permisi, Bu."Bayu masuk ke dalam begitu mendapat anggukan Iroh. **"Apa Ibu tahu hubungan Mas Ridwan menikah dengan Rana?" tanya Anita. Anita membawa mertuanya ke taman belakang rumah Bayu. Mereka duduk, mengelilingi meja bundar, yang dinaungi oleh sebuah payung besar.Iroh tak langsung menjawab. Dari sikap mertuanya, Anita sudah tahu jawabannya."Apa Ibu juga tau, kalau Rana itu sebenarnya dulu pacarnya Ridwan?"Iroh menghela napas. "Ibu tidak tahu sejauh mana hubungan mereka. Waktu itu, Ridwan memang ingin melamar Rana, tapi ibu tak merestuinya." Anita merasakan matanya mulai memanas. Merutuki betapa bodoh dirinya, dan membiarkan Rana terus berada di sisi mereka. Iroh menarik kedua tangan Anita. "Ibu tahu, ini sangat menyakitkan buatmu, tapi ingatlah semua perlakuan baik Ridwan padamu dan Izza."Anita mengusap kasar wajahnya. "Kenyataannya dia tetap menikahi Rana dan di saat seperti ini."Anita terisak. "Mengapa tidak ditahan sebentar saja, menunggu Izza sembuh? Mengapa di saat seperti ini?"Anita meletakkan wajahnya di atas meja. Air matanya benar-benar tidak dibendung lagi. Iroh pindah ke kursi di samping Anita. "Maaf Ibu, Nak. Ibu juga terlambat mengetahuinya." Anita mengangkat wajahnya. "Kapan mereka menikah?""Sekitar dua yang lalu. Ibu juga tidak diberitahu. Nak, ibu tau, kamu sangat marah, kecewa bahkan benci. Tapi, ibu yakin, hatimu masih ada cinta untuknya. Meski sangat sedikit, pertahankan yang sisa itu, untuk menopang kerjasama kalian demi kesembuhan Izza.""Apa Mas Ridwan memiliki pemikiran yang sama?" bantah Anita. "Seandainya sebesar biji jagung cintanya untukku, seharusnya ia menahan diri. Bagaimanapun aku ibu dari anaknya. Anak yang setiap saat berjuang untuk bertahan hidup. Anak yang selalu menegang ketika berhadapan alat medis, tetapi ia selalu saja menurut demi menjadi kebanggaan orang tuanya."Air mata Iroh mulai lirih. "Itulah yang tidak aku mengerti. Ridwan orang yang selalu bertanggung jawab. Kenapa tiba-tiba dia mendua. Ibu sendiri benar-benar tidak mengerti." Anita sesenggukan. Berkali-kali ia menarik napas, lalu mengeluarkan pelan. Berharap tangisnya bisa berhenti. "Apa ibu tau keuangan Ridwan tidak baik?""Apa? Ridwan tidak pernah cerita. Dari mana kamu mendengarnya?""Dari Rana. Katanya keuangan toko sedang buruk, dia yang membantu Ridwan bangkit.""Dasar perempuan ular," umpat Iroh. "Kamu tau siapa Ridwan. Dia paling tidak bisa menceritakan masalahnya. Pada awal-awal kalian ke sini, dia sering ke rumah, sekadar makan atau minta cucikan pakaian. Tapi lama kelamaan, dia tidak datang lagi. Ibu datang ke rumah kalian, rumahnya terlihat bersih dan rapi. Ibu pikir, dia memang sudah bisa mandiri. Setelah sekian lama tidak melihatnya muncul, ibu..."Ucapan Iroh terhenti. Anita melihat, seperti ada yang menyumbat pernapasan mertuanya."Ibu melihat Rana di dalam rumah. Ternyata selama ini, Rana yang membersihkan rumah dan menyediakan keperluan Ridwan."Iroh mulai menangis tersedu. "Perempuan itu benar-benar ular. Dia mengambil kesempatan di kesusahan kalian. Ibu benar-benar tidak rela punya mantu dia."Kini giliran Anita yang menyabari Iroh. Sebenarnya hatinya lebih terluka. Suami dan sahabat khianat padanya, di saat ia sangat memerlukan dorongan semangat. Ia melepaskan rangkulannya, ketika ponsel di dalam tasnya berdering. Ia segera mengeluarkan dan memperhatikan layarnya. "Mas Ridwan." Iroh sesenggukan. "Ma, kamu di mana?" "Aku di Rumah Bahagia.""Keluarlah, aku di luar."Anita menutup speaker ponsel. Memberitahu mertuanya akan kedatangan Ridwan. "Teruslah lewat samping kanan Rumah Bahagia, terus ke belakang. Kami ada di belakang rumah besar." Panggilan langsung terputus. Tak lama, muncul Ridwan dengan napas terengah-engah. Anita melihat napas lega suaminya ketika mendapati dirinya. Sesaat kemudian, wajah Ridwan berubah saat menyadari ada ibunya. Ridwan mendekat. "Ibu ada di sini? Kapan berangkatnya?""Kemarin siang," jawab Iroh, lalu beralih ke Anita. "Kalian bicaralah baik-baik. Ibu masuk ke dalam dulu." Iroh berlalu tanpa menunggu jawaban putra dan menantunya itu.Ridwan merangsek maju, ingin memeluk, tetapi Anita mundur. Anita menghidupkan ponsel, tapi Ridwan segera merebut dari tangannya. "Aku perlu bicara denganmu.""Izza sangat merindukanmu.""Anita … please.""Aku tak bisa bicara dengan keadaan kepalaku mau meledak seperti ini," sahut Anita, setengah berteriak.Ridwan maju, ingin meraih tangan Anita, tetapi lagi-lagi mundur. "Tolong, Yah. Jangan paksa aku. Ayah tau siapa aku. Dibanding itu, aku ingatkan lagi, kondisi Izza sedang tidak baik. Dia membutuhkan Ayah."Ridwan menghela napas pasrah. "Baiklah."Anita mengulurkan tangannya, meminta ponsel kembali. Ridwan menurut. Tak lama panggilannya sudah terjawab."Hallo.""Pak, bawa Izza ke sini. Di belakang rumah Bapak.""Bapak?""Ayah Izza datang.""Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar."Tanpa suara Anita duduk ke kursi. Membiarkan suaminya yang masih berdiri. Ia tau betul Ridwan pasti sangat kelelahan. Ia cuma khawatir, lahar kembali berkobar seiring mulutnya yang terbuka.Tak lama Izza muncul dalam gendongan Bayu. "Ayah," teriak Izza dari kejauhan. Ridwan menyongsong Izza. Mengambil alih dari Bayu. "Anda?""Saya Bayu, orang yang tinggal di samping Rumah Bahagia," sahut Bayu. "Dia pemilik Rumah Bahagia," sela Anita. Ridwan termangu. Ia ingat betul, laki-laki di depannya, orang yang mampu menjinakkan Anita.Bayu tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya permisi dulu.""Ayah, kenapa tidak barengan dengan ibu?"Ridwan mencium pipi putrinya yang tembem. "Ayah menyelesaikan urusan dulu. Izza tambah berat ya. Tangan Ayah jadi pegal."Izza tertawa. "Ayah, baru sebentar sudah pegal. Ayah payah." Ridwan merengut. Izza semakin tertawa. "Ayah ingatkan kemarin Izza ulang tahun?""Ayah ingat, Sayang. Mana mungkin lupa. Maaf, ayah baru bisa datang sekarang.""Lalu, hadiahnya mana?"Ridwan terkesiap. 🍒"Ayah ingat, Sayang. Mana mungkin lupa ulang tahun anak Ayah yang cantik ini." Ridwan mencium pipi kanan."Maaf, Ayah baru bisa datang sekarang." Ridwan mencium pipi kiri. "Lalu, hadiahnya mana?"Ridwan terkesiap. Yang dipikirkannya hanyalah Anita, sampai ia lupa soal ulang tahun Izza. "Duduk dulu, ya. Ayah cape."Izza mengangguk. Ridwan mendudukkan Izza di kursi samping Anita. "Maaf ya, Sayang. Ayah benar-benar lupa membawa hadiah. Ayah sangat terburu-buru tadi ke sini." Izza merengut. "Atas permintaan maaf ayah, Izza mau apa?" "Izza mau jalan-jalan bareng Ayah dan Mama." Ridwan menatap Anita. Meminta pendapat wanita itu. Anita menyentuh punggung Izza. "Untuk saat ini, Izza tak boleh keluar. Izza tidak boleh capek dan ingat, Mama pernah bilang, semakin banyak orang, Izza semakin rawan terpapar virus bakteri. Itu tak baik buat tubuh Izza yang masih lemah."Izza menampilkan wajah sedih. Matanya mulai berkaca-kaca. "Eh, Izza anak Ayah yang paling penurut. Apa yang Mama bilang
"Aku yang terlalu naif, dengan mudahnya mentransfer uang kepada temanku itu. Ternyata barang tak kunjung datang, bahkan orangnya menghilang."**"Wan, kapan kau kembalikan uangku?"Suara langsung memberondong begitu Ridwan menjawab panggilan teleponnya. "Maaf, Zan. Kau tau, aku telah ditipu. Jadi berilah aku waktu.""Ndasmu. Memang aku bapakmu? Aku tak mau tau masalahmu, kau harus kembalikan uangku secepatnya. Aku perlu itu. Kalau kau masih saja ngeyel, aku tidak segan bertindak kasar. Ingat itu!"Panggilan terputus, tanpa memberi kesempatan kepada Ridwan. "Mas lagi ada masalah?" Ridwan terkejut. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Ridwan. Ia keluar dari kamarnya. "Udah lama. Ke sini mau ketemu Anita dan Izza. Mereka ke mana?""Mengapa kau masuk tanpa salam?""Aku sudah ngucap salam tadi. Mas saja yang tidak dengar. Kebetulan pintu juga terbuka, jadi aku masuk saja. Kadang aku juga begitu 'kan? Anita sama Izza di mana? Aku rindu mereka.""Belum pulang," jawab Ridwan judes. "H
Bagaimana untuk orang tidak mampu seperti Misna? Bagaimana juga dengan dirinya dan Izza? Apalagi Izza juga akan melakukan biopsi susulan. Ia sangsi apakah Ridwan akan terus memperhatikan mereka. Sekarang obrolan online, bahkan berkunjung juga semakin berkurang. Mungkin besok-besok transferan juga berkurang. Anita tidak bisa lagi mengusir kecemasan, mengingat kebutuhan dirinya dan Izza berkali lipat dari orang biasa. ***Di ruang rapat minimalis berdinding putih bersih, meja dari kayu dan kursi yang kontras, Bayu, Karin, dan beberapa staf sedang konsentrasi musyawarah untuk memecahkan suatu masalah di perusahaan mereka.Tiba-tiba ponsel di saku jas Bayu berdering. Membuat Bayu dan beberapa orang di sana tersentak, terlebih lagi Karin. Mata Bayu mengkilat ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel."Tunggu, sebentar. Aku angkat telpon dulu."Bayu keluar ruangan. Teman-teman di ruangan bersitatap heran. Mengangkat panggilan telepon bukan gaya Bayu. Bayu sering mensenyapkan, ba
"Aku telah kehilangan seorang adik karena kanker. Di dunia ini, hanya kalian keluargaku. Aku tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya."Anita mengerjap. Ia baru menyadari, apakah Bayu hidup sebatang kara? Orang tua Bayu ke mana? Apakah mereka masih hidup? Anita menghela napas beratnya. Ia mengangguk ragu. "Terima kasih."Bayu meraih tangan Anita. "Aku juga berterima kasih padamu. Menganggapku saudara, dan sekarang aku memiliki keponakan cantik dan secerdas Izza."Napas Anita. Ia merutuk dalam hati. Mengapa Bayu terlihat sangat tampan jika bahagia?Seketika ia merasakan hangat menjalar dari tangan. Ia memandang sumber kehangatan, dan segera menarik tangannya. Ia menarik napas, lalu menghembuskan pelan. **"Bujang pang*.""Marasa maka tahu*" Suara melengking dari seorang perempuan dengan dandanan menor.Disahut dengan tawa perempuan lainnya sebangku, Misna. Di samping Misna duduk seorang laki-laki. Dan seorang laki-laki lainnya berdiri, menyandarkan punggung ke dinding, men
"Badan sudah gede, masih saja cengeng."Isma masih menangis. "Sakit, Ma.""Ya gimana lagi? Ini waktunya tidur, mama cape. Coba dibawa tidur. Gitu aja nangis."Anita menciumi ubun-ubun Izza, berharap bisa membantu Izza menenangkan diri.Lingkungan salah satu ujian bagi anak-anak kanker, khususnya bagi mereka yang hanya bisa dirawat di kamar bersama. Mereka harus terbiasa tangisan, jeritan, bahkan berita kematian. Tentu saja, di ruangan bersama juga akan mendapatkan keuntungan, di antaranya saling berbagi informasi, membantu dan saling memotivasi. Terlebih lagi, mereka sama-sama senasib dan sepenanggungan.*Izza sudah dibiasakan bangun pagi-pagi, mandi lalu sarapan. Seperti pagi itu, Izza sudah kelihatan segar setelah mandi. "Isma?!"Anita menoleh sesaat, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Menyuapi Izza. "Isma, kamu kenapa, Nak?" Misna terdengar panik. Perhatian Anita dan Izza teralih ke Isma. Beberapa orang dewasa yang tadinya meringkuk di lantai kini terjaga. "Isma kenapa, Bu
"Hebaaat …." Bayu segera menyambut tubuh Izza. Lima langkah pertama tanpa alat bantu setelah Izza mendapat diagnosis kanker darah. Biasanya Izza berlatih berjalan dengan menggunakan Walker atau alat bantu jalan.Kemoterapi salah satu prosedur medis yang kerap diberikan kepada penderita tumor atau kanker untuk memperlambat ataupun menghentikan sel kanker. Dengan segala kemanfaatannya, kemoterapi juga memiliki beberapa efek samping, di antaranya kerontokan rambut juga pengeroposan tulang. Karena itu, Anita rutin memberikan kepada Izza susu kambing, mengingat susu kambing baik untuk kesehatan tulang dan gigi. Sebelumnya Izza tidak menyukai susu, berkat semangat sembuh yang terus diberikan kepadanya, akhirnya Izza mencoba secara perlahan. Awalnya cuma sepuluh ml, bertahap hingga sekarang Izza sudah menyukai susu kambing. Terutama susu kambing dengan rasa Vanila. Berbeda dengan Bayu. Bayu sering membawakan anak-anak kacang-kacangan, terutama almond. Almond dipercaya memiliki kandungan
"Bagus.""Bukan itu maksudku. Bagaimana perasaanmu? Senang ga?""Senang. Indah. Fresh. Fantasi. Entahlah, ada rasa-rasa yang sulit dijabarkan.""Bukankah kamu sering bepergian ke berbagai daerah, bahkan negeri? Jadi pemandangan seperti ini sudah biasa.""Mungkin kamu benar, tapi mungkin ini karena di halaman kita, atau aku ikut menata, sehingga ikut merasakan senangnya dari hasil tangan kita.""Nah itu dia. Rasa senang akan menghasilkan beberapa hormon seperti Dopamin, Serotonin, atau Endorfin. Hormon-hormon ini akan membuat sel-sel dalam tubuh bekerja lebih baik. Tentunya juga akan meningkatkan imunitas." Bayu mengacungkan dua jempolnya. "Jadi aku akan mewajibkan anak-anak Rumah Bahagia untuk merawat tanaman-tanaman ini. Biarkan mereka ikut merasakan hasil jerih payah mereka. Tentunya harus dengan pengawasan kita.""Sip, aku dukung. Kalau ada waktu, aku juga akan bantu-bantu."***Sejak itu, Anita selalu mengajak Izza atau anak Rumah Bahagia lainnya juga akan merawat tanaman. Izza
Bayu merasakan matanya menghangat. Memori lama kembali muncul. Ia pernah berada di posisi Anita, tetapi pernah juga merasakan bagaimana sesaknya merindukan kehadiran seorang ayah di masa-masa sulit. ***"Assalamu 'alaikum."Izza mengerjapkan mata. Masih serasa mimpi baginya, tetapi tatapan mata dan senyuman itu benar-benar nyata. "Ayah?"Ridwan tersenyum. "Sudah bangun."Izza ingat, ia menaiki mobil mewah Bayu dari Banjarmasin setelah shalat Subuh. Tak lama ia duduk di mobil itu, tiba-tiba diserang kantuk. Ia tidak tahu kapan sampai ke rumah. Ia segera bangkit, melingkarkan tangannya ke leher Ridwan, dengan tatapan masih tak percaya. "Kenapa menatap Ayah seperti itu?" Izza sudah dalam gendongan Ridwan. "Izza rindu Ayah.""Ayah juga." Ridwan mencium pipi kiri dan kanan Izza. "Heh, asem."Izza tertawa. "Mandi, yuk. Biar Izza lebih segar," ucap Anita. Izza menatap Anita, sambil mengangguk, lalu beralih ke Ridwan. Matanya mengerjap. Antara percaya dan tidak. "Ayo … let's go."Izz
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom