Bayu merasakan matanya menghangat. Memori lama kembali muncul. Ia pernah berada di posisi Anita, tetapi pernah juga merasakan bagaimana sesaknya merindukan kehadiran seorang ayah di masa-masa sulit. ***"Assalamu 'alaikum."Izza mengerjapkan mata. Masih serasa mimpi baginya, tetapi tatapan mata dan senyuman itu benar-benar nyata. "Ayah?"Ridwan tersenyum. "Sudah bangun."Izza ingat, ia menaiki mobil mewah Bayu dari Banjarmasin setelah shalat Subuh. Tak lama ia duduk di mobil itu, tiba-tiba diserang kantuk. Ia tidak tahu kapan sampai ke rumah. Ia segera bangkit, melingkarkan tangannya ke leher Ridwan, dengan tatapan masih tak percaya. "Kenapa menatap Ayah seperti itu?" Izza sudah dalam gendongan Ridwan. "Izza rindu Ayah.""Ayah juga." Ridwan mencium pipi kiri dan kanan Izza. "Heh, asem."Izza tertawa. "Mandi, yuk. Biar Izza lebih segar," ucap Anita. Izza menatap Anita, sambil mengangguk, lalu beralih ke Ridwan. Matanya mengerjap. Antara percaya dan tidak. "Ayo … let's go."Izz
Anita menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Hari ini, hari yang panjang baginya. Beruntung Izza tidur lebih awal. Tatapan-tatapan tetangga dan tamu yang sempat terekam di kepalanya kini memutar kembali. Tatapan kasihan, empati, dan ada yang mencemooh. Meski tatapan seperti itu bukan baru di sepanjang hidupnya, karena ia juga bukan terlahir dari keluarga yang berada, tetapi tatapan untuk seorang istri yang gagal terasa sangat menusuk. Sejak kecil Anita terbiasa berjuang keras. Membantu orang tua, bekerja untuk biaya sekolah hingga akhirnya ia bisa menyelesaikan kuliah dengan nilai yang memuaskan. Baru kali ini Anita merasakan kegagalan dalam hidupnya. Tiba-tiba ada sentuhan yang membuatnya tersentak. Spontan kakinya melipat. "Ayah …," seru Anita, ketika melihat laki-laki yang menyentuh kakinya. Tangannya mengusap-usap dada. Meredakan jantungnya yang berlompatan. "Maaf, aku tak menyangka akan mengejutkanmu. Aku cuma mau memijat kakimu."Anita mendesah keras. "Setahun lebih, A
Angka suhu badan cukup mencemaskan, terlebih lagi untuk Izza yang masih memiliki daya imun sangat lemah. Namun, di sisi lain Anita bersyukur kadar saturasi oksigen masih batas di angka normal. Ia mematikan AC, lalu bergegas ke dapur mencari air panas. Anita sempat kebingungan melihat dapur yang kelewat rapi. Tidak ada peralatan masak memasak di luar, kecuali alat pembuat kopi dan pemanggang roti. Ia membuka lemari satu persatu sampai akhirnya menemukan panci stainless. Tak ingin membuang waktu, ia merebus sedikit air dengan panci itu. Tak lama ia sudah kembali dengan membawa air hangat-hangat kuku di sebuah mangkuk kaca. Tak disangka, Bayu sudah ada di dalam, duduk di samping Izza. "Koq, kamu bisa ada di sini?" Anita meletakkan mangkuk ke atas nakas, lalu mengambil handuk di dalam tas. "Rumah ini selalu sepi, jadi agak sensitif dengan bunyi-bunyian.""Maaf, membuatmu terbangun.""Tak apa."Bayu memperhatikan tangan cekatan Anita melap badan Izza dengan handuk yang telah dicelup
Tanpa suara Bayu duduk kembali. Ia menarik napas, lalu melepaskan pelan-pelan. Kejadiannya hanya beberapa detik, tetapi ia perlu waktu lama untuk menenangkan diri.**Izza telah memasuki protokol kedua. Izza dan Anita mempunyai ujian baru. Saat protokol pertama, Izza mempunyai nafsu makan yang meningkat. Berat badan Izza naik berkali lipat, tetapi protokol kedua malah sebaliknya. Izza tidak mempunyai nafsu makan. Perlahan berat badan Izza menurun. Anita mempunyai kekhawatiran baru dan mencoba melakukan berbagai terobosan baru.Pada protokol pertama, Anita sangat jarang bersentuhan medsos. Buka internet, hanya mencari informasi sekitar penyakit yang diderita Izza juga penyakit lain dalam lingkup Hemato-Onkologi. Dulu ia browsing makanan yang memiliki kandungan baik untuk melawan kanker, kini ia mulai browsing makanan yang bisa menggugah selera Izza. Tidak hanya dari segi rasa tapi juga penyajian, tanpa mengabaikan efek baik buruknya pada kesehatan Izza. Anita juga berusaha mengatu
"Ayah, kenapa ayah merangkul Tante Rana?" tanya Izza. Bayu berbalik. Ridwan dan seorang perempuan bunting sudah ada di belakangnya. Sesaat ia bersitatap dengan Anita di teras yang juga syok seperti dirinya. Bayu tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak tahu apa yang telah dilihat Izza."Izza, sudah datang? Sini peluk ayah. Ayah rindu sekali." Ridwan mendekat dan menjongkok, tetapi Izza mundur beberapa langkah. "Ayah belum jawab pertanyaan Izza? Ayah bilang, tidak boleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram bersentuhan. Tetapi, kenapa ayah tadi merangkulnya? Dia 'kan bukan mahram Ayah?" Izza menatap sahabat ibunya polos. Matanya beralih ke perut Rana. Ia tahu Rana dan orang tuanya bersahabat, tetapi baru kali ini melihat ayahnya menyentuh perempuan itu. Sedang Anita tak kuasa lagi menahan air mata. Sesuatu yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Mengapa Ridwan mengindahkan pesannya? Mengapa masih saja membawa Rana ke rumah mereka? Mengapa membawa Rana, padahal sudah jela
Di Rumah Sakit Umum Daerah H Damanhuri, Barabai. Air mata Anita terus mengalir, menatap putrinya tak sadar diri. Masih terbayang di mata Anita keceriaan Izza saat hendak pulang, kini putrinya digelayuti beberapa selang, dengan bunyi monitor yang terus berbunyi. Anita tak berani menatap layar monitor. "Kau harus kuat Izza. Perjuangan kita sudah sejauh ini. Izza janji akan menjaga Mama." Anita meletakkan wajah di tangannya yang menggenggam tangan Izza. Bayu menyentuh bahu Anita. "Kau istirahatlah. Biar aku jaga Izza." Bayu meletakkan sebotol sari buah di pangkuan Anita. "Minumanlah ini. Semoga bisa membuatmu lebih bertenaga. Kau harus kuat untuk menjaga Izza."Anita bergeming. "Nit!" Bayu mengangkat suaranya. Anita menoleh ke atas, menghadap wajah Bayu. Bayu membujuk dengan tatapan matanya. Beberapa detik hingga akhirnya Anita mengangguk. "Jika bisa, makanlah. Ada makanan di luar."Anita tak merespon. Di luar Anita melihat Ridwan yang terkulai lemas, menyandarkan diri di bangku p
Anita syok. Dirinya dibopong laki-laki yang bukan suaminya? Ia ingin berontak, tetapi Bayu semakin mengokohkan pegangannya. Anita pasrah. Ia melingkarkan tangan ke leher Bayu. Ini yang kedua kalinya, Bayu mengangkat badan Anita, setelah di Rantau. Di banding waktu di Rantau, sekarang badan Anita jauh lebih berat. Iya, berat badan Anita bertambah, karena selama setahun ia sibuk memasak untuk Izza, yang tentunya ia selalu harus menghabiskan sisa Izza. Mengingat hal itu, perasaan Bayu terasa remuk. Betapa keadaan sangat cepat berbalik. Siapapun tidak ada yang menyangka, kalau Izza yang sempat dinyatakan negatif, sekarang telah terbaring di samping almarhumah adiknya. **Iroh jatuh sakit mendengar berita kematian cucunya. Ia hanya bisa berdiam diri di rumah Ridwan ketika almarhum di bawa ke pemakaman. "Anita mana?" tanya Iroh, ketika tidak melihat Anita bersama Ridwan dan Rana. Beberapa orang tetangga masih di situ untuk menemani Iroh. Seorang perempuan paruh baya memijat kaki Iro
Siang malam terus berganti. Seminggu sudah sejak meninggalnya Izza, Anita masih tinggal di rumah orang tuanya, tanpa semangat hidup. Anita sudah mulai beraktivitas di rumah, membantu ibunya sebagai penjual nasi kuning pagi hari di muka rumah. Sesekali ia pergi ke sawah bersama bapaknya, berharap ia menemukan semangat baru dalam hidupnya.Kenyataannya usahanya nihil. Semangatnya telah pergi. Meninggalkan ruang kosong. Setiap saat bisa terisi oleh lamunan, tangisan dan kerinduan. Ternyata lelah berjuang demi kesembuhan Izza, belum apa-apanya dibandingkan lelahnya diterpa kerinduan. Ironisnya, rindu itu tidak berujung. Yang ada hanyalah disambut tangisan. Malamnya Ridwan datang ke rumah orang tua Anita, yang disambut dengan wajah sinis dari Saudah. "Masuklah." Suara Anita dari belakang Saudah. Saudah menyingkir. Membiarkan Ridwan masuk. Anita mempersilakan Ridwan duduk dengan isyarat tangan. "Bagaimana keadaanmu, Ma?""Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."Ridwan terdiam, menatap An
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom