"Aku bisa aja motong semua jarinya buat bikin mereka ngaku," sebut Ben mendatangi Ann yang ikut masuk ke dalam ruangan di mana 6 orang penyerang sang istri itu ditahan. "Jangan Mas, kamu nggak perlu ngotorin tangan kamu. Aku masih baik-baik aja, tandanya mereka gagal. Yang nyuruh mereka pasti bakalan bertindak lagi," kata Ann jauh lebih sabar ketimbang sang suami. "Baiknya kita apain?" tanya Benji ikut mendekat. "Mereka udah babak belur gitu, kasih makan dulu Bang," pinta Ann. "Kasih makan?" Ben menoleh istrinya bingung. "Kalau perut mereka kenyang, otaknya bisa berpikir jauh lebih jernih. Jadi mereka bisa milih, ngaku buat bertahan hidup, atau tetep bungkam sampe mati," ujar Ann sangat taktis. "Wow!" Benji tersenyum takjub. "Nggak salah emang kita mempertahankan Ane-san yang satu ini," pujinya. "Ini kualitas namanya, Bang," ujar Ann jumawa, senyumnya melengkung cantik. "Kalau Ane-san udah kasih perintah, kita nggak bisa nolak," ucap Ben menunjuk dua orang anak buahnya untuk m
Ben menjentik abu rokoknya di asbak, pandangan dinginnya begitu menusuk dan tanpa ampun. Enam orang yang menyerang Ann sudah mengaku siapa sosok yang memerintahkan mereka dan nama Irfan muncul sebagai dalang utama. "Kita harus gimana sekarang?" tanya Benji hati-hati. "Lacak keberadaan Irfan, bunuh kalau dia ditemukan," perintah Ben lirih. "Ben," Benji mendengus pelan. "Menurut gue ada yang salah," desahnya gelisah. "Apaan?" "Aneh aja. Buat apa Irfan susah-susah nyerang Ann, nggak langsung ke lo aja?" Ben menaikkan pandangannya ke arah halaman rumahnya, "Karena dia tau Ann adalah harta gue yang paling berharga," katanya."Tapi selama ini pola dia nggak pernah nargetin orang terdekat. Dia langsung ke point-nya!" ucap Benji ngeyel. "Jadi menurut lo, ini perbuatan orang laen yang dilimpahin ke Irfan?" tebak Ben. "Iya kan?" "Siapa?" Ben menyipitkan matanya ke arah Benji. "Siapa lagi yang nggak suka posisi Ann jadi istri lo," kata Benji yakin. "Pemikiran lo sama kayak Ann. Cuma g
"Nggak jadi ngomong serius ini?" Ann mengikuti gerakan suaminya yang tengah berganti pakaian. "Ada darurat di kantor, Ann," balas Ben. "Darurat apaan sih, Mas? Soal kerjaan?" tanya Ann penasaran. Ben berhenti sekejap, "Iya," balasnya singkat. "Aku ikut ya?""Mau ngapain?" "Ya ikut suamiku ke kantor masak nggak boleh? Emang siapa tadi yang barusan telepon sih Mas?" Ann tak cukup diberi jawaban singkat oleh sang suami. Ben harus menjawabnya dengan detail dan jujur. "Benji, Irfan dateng ke kantor," ungkap Ben tak punya pilihan lain selain berkata apa adanya. "Irfan siapa? Adyaksa?" Ben mengangguk, "Orang-orang yang nyerang kamu udah ngaku kalau mereka suruhannya Irfan. Aku khawatir ini pasti ada sangkut-pautnya. Kamu masih luka dan nggak boleh kenapa-napa. Di rumah aja ya?" pintanya. "Aku harus ikut!" putus Ann berkacak pinggang serius. "Ane-san," desah Ben lirih. "Aku harus tau gimana tampangnya Irfan. Aku juga harus tau alasan kenapa dia nyuruh orang buat nyoba nyulik aku, M
Mendengar penuturan Irfan, Ben bergerak mendekati mejanya. Ia raih pedang pajangan di belakang kursi kerja itu, lantas dihunusnya langsung ke arah Irfan. "Jangan nyoba-nyoba buat memprovokasi istriku!" ancam Ben bengis. "Apanya yang memprovokasi? Aku sama Eriska udah beda kubu, Ben. Dia nggak bisa kukendalikan. Karena dia, bisnisku berhasil kalian hancurkan, dia biang kerok yang sangat mirip denganku," kata Irfan masih terlihat sangat santai. "Kamu berusaha nyari info keberadaan Christ? Bener kan tebakanku?" Ben menyungging senyum miring. "Kalian berdua pasti udah gila, berani-beraninya dateng ke sarang musuh begini," gumamnya tanpa menurunkan hunusan pedangnya. "Aku ambil resiko. Antagonis yang sebenarnya itu Eriska, Ben," sebut Irfan. "Dan kamu jadiin anak perempuan kandungmu itu sebagai tameng?" sambar Benji lirih. "Cinta itu ngerubah banyak hal, termasuk cintanya Eriska ke seorang Big Ben," desis Irfan. Ia beranjak sambil mengangkat tangan agara Ben tak menyerangnya. "Orang
"Mas," Ann menengadah, sedikit mendesah karena sentuhan Ben bermuara di bawah tulang selangkanya. "Hem?" Masih asik mengecupi leher istrinya, Ben hanya menggumam. Ia sedang dalam mood yang sangat bagus untuk bercinta, jadi, ia tidak akan membiarkan apapun menggagalkan usahanya. "Mas Ben," lirih Ann mengerang, tubuhnya melengkung indah, menggelinjang kegelian."I want you, Ane-san," bisik Ben menggigiti daun telinga Ann, mengembuskan napasnya hingga membuat bulu kuduk Ann meremang. "Nggak pa-pa di kantor?" tanya Ann sengaja menahan dada suaminya yang sudah siap menindihnya di sofa panjang. "Sensasinya beda kan?" gumam Ben menyeringai. "Kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Emang ada yang berani? Benji juga nggak akan masuk lagi, Ann," ucap Ben dengan mata memerah yang sudah dikuasai gairah. "Ya udah," jawab Ann malu-malu. "Aku berisik dikit nggak pa-pa ya Mas?" desisnya seraya memainkan jemarinya di dada sang suami, menggoda sekali. "Nggak pa-pa, teriak juga boleh," ujar Be
"Mas Ben ngomong aneh dua hari yang lalu ke gue dan pas coba gue minta penjelasan, dia menghindar," sebut Ann dengan pandangan nanar ke arah kolam ikan di taman depan. "Dia cuma coba antisipasi. Kita nggak tau apa yang bakalan terjadi ke depannya juga," ucap Danisha mencoba memberi pengertian pada kakak iparnya. Danisha baru tiba pagi ini di Jakarta, rencananya selama dua minggu ia akan menemani Ann mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya karena Benji sibuk menangani pekerjaan. Jadi, untuk sementara, Ben memintanya secara khusus untuk terbang ke Indonesia dan memasrahkan penjagaan Christ di Jepang sana pada Bastian dan kerabat perkumpulan termasuk sang kakek. "Dengan minta lo balik Indo secara tiba-tiba gini, gue jadi makin curiga ada yang lagi ketua kita sembunyiin, Sha," ucap Ann yakin. "Dia tipe yang nggak mau asal bertindak dulu sebelom dapet kepastian. Lo tau sendiri Ben itu bukan orang yang gampang percaya sama orang laen. Menurut gue, dia coba ngeyakinin
"Jadi?" Ann membuat Ben menghentikan kunyahannya. Ia tatap suaminya sangat tajam, bahkan tak rela melepaskan bayangan Ben sekalipun dari pandangannya. "Kamu pengin aku cerita soal apa? Danisha bahas apa sama kamu?" tanya Ben sabar. "Seberapa parah yang kejadian di wilayah timur? Kamu harus turun tangan sendiri?" tembak Ann tak mau berbasa-basi. Ben meletakkan sumpitnya, ia sandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Lalu diangkatnya gelas air putih yang tadi sempat disiapkan Ann untuknya. Sejenak ia dan Ann hanya saling tatap dalam diam, yang satu menunggu penjelasan, satunya lagi mencari kalimat paling ringan untuk memulai penjelasan. "Masih bisa diatasi," ucap Ben kemudian, ia membasahi bibirnya pertanda ini bukan jawaban terjujur yang pernah ia katakan pada sang istri. "Eriska?" tebak Ann langsung. Ben menggeleng, "Aku belom tau. Beberapa bantuan dari Jogja sama Bandung lagi nyoba nyari tau siapa dalang pengkhianat yang ngabisin orang-orang loyal dari pihak kita," desisnya. "Ja
Ben melepaskan sarung pedangnya begitu ia turun dari mobil. Dilihatnya di kejauhan, Logan sudah berhasil menumbangkan orang-orang dari pihak Ben. Di seberang Logan, Benji menghunus pedangnya, bersiap menghadapi serangan. "Bang!" panggil Ben hingga membuat Benji menolehnya. "Ketua datang juga," sambut Logan berkelakar senang. "Luar biasa keluarga Takahashi ini ya. Setelah membuang calon ketua, sekarang jadi anjing setia si terbuang," kekehnya menghina. "Lo ngomongin gue?" Ben tersenyum miring. "Punya kekuatan sebesar apa lo? Berani banget dateng ke sini cuma buat keributan, ngebunuh orang-orang yang harusnya lo anggep sodara sendiri," desisnya. "Cih!" Logan meludah sembarangan. "Kita nggak akan bisa jadi sodara, Ben. Lo seharusnya tau soal itu sejak awal. Sodara macam apa yang ngerampas hak sodara lain?" "Hak? Kekuasaan atas klan dan perkumpulan selalu ditentuin dengan cara yang sama. Ben menang dengan cara yang sangat adil!" sergah Benji tersinggung. "Kalau dia nggak kalian pung
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama