Bahu Ann meluruh mendengar ucapan Ben. Ia tatap wajah tampan suaminya itu tajam, dahinya mengernyit. "Maksudku, dia udah nggak berdaya sekarang, apa mungkin dia masih punya anak buah yang bisa dia suruh buat nyerang kamu?" gumam Ben meralat ucapannya. "Kakinya doang yang nggak bisa jalan, mulutnya masih bisa ngomong. Kamu juga pernah bilang kalau dia dilindungi basis kekuatan cukup besar selama di Kupang sana," balas Ann. "Kemungkinan itu bisa juga terjadi, nanti kusuruh Benji buat cari tau," ucap Ben tersenyum. Salah bicara sedikit saja, ia bisa menggali kuburnya sendiri. "Kalau sampe ini adalah rencana Eriska, aku bakalan buru dia sampe dapet. Kamu nggak boleh ikut campur, Mas!" "Kenapa nggak boleh? Dia musuhku juga, Ann."Ann tersenyum miring, "Kalau emang kamu nganggep dia musuh yang harus dikalahin, dua kali dia nemuin kamu dan dia pulang tanpa lecet sedikitpun, Big Ben!" cecarnya. "Aku nggak bisa nyerang lawan yang lemah dan rentan kayak kondisi dia waktu itu, Ann.""Kalau
"Aku bisa aja motong semua jarinya buat bikin mereka ngaku," sebut Ben mendatangi Ann yang ikut masuk ke dalam ruangan di mana 6 orang penyerang sang istri itu ditahan. "Jangan Mas, kamu nggak perlu ngotorin tangan kamu. Aku masih baik-baik aja, tandanya mereka gagal. Yang nyuruh mereka pasti bakalan bertindak lagi," kata Ann jauh lebih sabar ketimbang sang suami. "Baiknya kita apain?" tanya Benji ikut mendekat. "Mereka udah babak belur gitu, kasih makan dulu Bang," pinta Ann. "Kasih makan?" Ben menoleh istrinya bingung. "Kalau perut mereka kenyang, otaknya bisa berpikir jauh lebih jernih. Jadi mereka bisa milih, ngaku buat bertahan hidup, atau tetep bungkam sampe mati," ujar Ann sangat taktis. "Wow!" Benji tersenyum takjub. "Nggak salah emang kita mempertahankan Ane-san yang satu ini," pujinya. "Ini kualitas namanya, Bang," ujar Ann jumawa, senyumnya melengkung cantik. "Kalau Ane-san udah kasih perintah, kita nggak bisa nolak," ucap Ben menunjuk dua orang anak buahnya untuk m
Ben menjentik abu rokoknya di asbak, pandangan dinginnya begitu menusuk dan tanpa ampun. Enam orang yang menyerang Ann sudah mengaku siapa sosok yang memerintahkan mereka dan nama Irfan muncul sebagai dalang utama. "Kita harus gimana sekarang?" tanya Benji hati-hati. "Lacak keberadaan Irfan, bunuh kalau dia ditemukan," perintah Ben lirih. "Ben," Benji mendengus pelan. "Menurut gue ada yang salah," desahnya gelisah. "Apaan?" "Aneh aja. Buat apa Irfan susah-susah nyerang Ann, nggak langsung ke lo aja?" Ben menaikkan pandangannya ke arah halaman rumahnya, "Karena dia tau Ann adalah harta gue yang paling berharga," katanya."Tapi selama ini pola dia nggak pernah nargetin orang terdekat. Dia langsung ke point-nya!" ucap Benji ngeyel. "Jadi menurut lo, ini perbuatan orang laen yang dilimpahin ke Irfan?" tebak Ben. "Iya kan?" "Siapa?" Ben menyipitkan matanya ke arah Benji. "Siapa lagi yang nggak suka posisi Ann jadi istri lo," kata Benji yakin. "Pemikiran lo sama kayak Ann. Cuma g
"Nggak jadi ngomong serius ini?" Ann mengikuti gerakan suaminya yang tengah berganti pakaian. "Ada darurat di kantor, Ann," balas Ben. "Darurat apaan sih, Mas? Soal kerjaan?" tanya Ann penasaran. Ben berhenti sekejap, "Iya," balasnya singkat. "Aku ikut ya?""Mau ngapain?" "Ya ikut suamiku ke kantor masak nggak boleh? Emang siapa tadi yang barusan telepon sih Mas?" Ann tak cukup diberi jawaban singkat oleh sang suami. Ben harus menjawabnya dengan detail dan jujur. "Benji, Irfan dateng ke kantor," ungkap Ben tak punya pilihan lain selain berkata apa adanya. "Irfan siapa? Adyaksa?" Ben mengangguk, "Orang-orang yang nyerang kamu udah ngaku kalau mereka suruhannya Irfan. Aku khawatir ini pasti ada sangkut-pautnya. Kamu masih luka dan nggak boleh kenapa-napa. Di rumah aja ya?" pintanya. "Aku harus ikut!" putus Ann berkacak pinggang serius. "Ane-san," desah Ben lirih. "Aku harus tau gimana tampangnya Irfan. Aku juga harus tau alasan kenapa dia nyuruh orang buat nyoba nyulik aku, M
Mendengar penuturan Irfan, Ben bergerak mendekati mejanya. Ia raih pedang pajangan di belakang kursi kerja itu, lantas dihunusnya langsung ke arah Irfan. "Jangan nyoba-nyoba buat memprovokasi istriku!" ancam Ben bengis. "Apanya yang memprovokasi? Aku sama Eriska udah beda kubu, Ben. Dia nggak bisa kukendalikan. Karena dia, bisnisku berhasil kalian hancurkan, dia biang kerok yang sangat mirip denganku," kata Irfan masih terlihat sangat santai. "Kamu berusaha nyari info keberadaan Christ? Bener kan tebakanku?" Ben menyungging senyum miring. "Kalian berdua pasti udah gila, berani-beraninya dateng ke sarang musuh begini," gumamnya tanpa menurunkan hunusan pedangnya. "Aku ambil resiko. Antagonis yang sebenarnya itu Eriska, Ben," sebut Irfan. "Dan kamu jadiin anak perempuan kandungmu itu sebagai tameng?" sambar Benji lirih. "Cinta itu ngerubah banyak hal, termasuk cintanya Eriska ke seorang Big Ben," desis Irfan. Ia beranjak sambil mengangkat tangan agara Ben tak menyerangnya. "Orang
"Mas," Ann menengadah, sedikit mendesah karena sentuhan Ben bermuara di bawah tulang selangkanya. "Hem?" Masih asik mengecupi leher istrinya, Ben hanya menggumam. Ia sedang dalam mood yang sangat bagus untuk bercinta, jadi, ia tidak akan membiarkan apapun menggagalkan usahanya. "Mas Ben," lirih Ann mengerang, tubuhnya melengkung indah, menggelinjang kegelian."I want you, Ane-san," bisik Ben menggigiti daun telinga Ann, mengembuskan napasnya hingga membuat bulu kuduk Ann meremang. "Nggak pa-pa di kantor?" tanya Ann sengaja menahan dada suaminya yang sudah siap menindihnya di sofa panjang. "Sensasinya beda kan?" gumam Ben menyeringai. "Kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Emang ada yang berani? Benji juga nggak akan masuk lagi, Ann," ucap Ben dengan mata memerah yang sudah dikuasai gairah. "Ya udah," jawab Ann malu-malu. "Aku berisik dikit nggak pa-pa ya Mas?" desisnya seraya memainkan jemarinya di dada sang suami, menggoda sekali. "Nggak pa-pa, teriak juga boleh," ujar Be
"Mas Ben ngomong aneh dua hari yang lalu ke gue dan pas coba gue minta penjelasan, dia menghindar," sebut Ann dengan pandangan nanar ke arah kolam ikan di taman depan. "Dia cuma coba antisipasi. Kita nggak tau apa yang bakalan terjadi ke depannya juga," ucap Danisha mencoba memberi pengertian pada kakak iparnya. Danisha baru tiba pagi ini di Jakarta, rencananya selama dua minggu ia akan menemani Ann mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya karena Benji sibuk menangani pekerjaan. Jadi, untuk sementara, Ben memintanya secara khusus untuk terbang ke Indonesia dan memasrahkan penjagaan Christ di Jepang sana pada Bastian dan kerabat perkumpulan termasuk sang kakek. "Dengan minta lo balik Indo secara tiba-tiba gini, gue jadi makin curiga ada yang lagi ketua kita sembunyiin, Sha," ucap Ann yakin. "Dia tipe yang nggak mau asal bertindak dulu sebelom dapet kepastian. Lo tau sendiri Ben itu bukan orang yang gampang percaya sama orang laen. Menurut gue, dia coba ngeyakinin
"Jadi?" Ann membuat Ben menghentikan kunyahannya. Ia tatap suaminya sangat tajam, bahkan tak rela melepaskan bayangan Ben sekalipun dari pandangannya. "Kamu pengin aku cerita soal apa? Danisha bahas apa sama kamu?" tanya Ben sabar. "Seberapa parah yang kejadian di wilayah timur? Kamu harus turun tangan sendiri?" tembak Ann tak mau berbasa-basi. Ben meletakkan sumpitnya, ia sandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Lalu diangkatnya gelas air putih yang tadi sempat disiapkan Ann untuknya. Sejenak ia dan Ann hanya saling tatap dalam diam, yang satu menunggu penjelasan, satunya lagi mencari kalimat paling ringan untuk memulai penjelasan. "Masih bisa diatasi," ucap Ben kemudian, ia membasahi bibirnya pertanda ini bukan jawaban terjujur yang pernah ia katakan pada sang istri. "Eriska?" tebak Ann langsung. Ben menggeleng, "Aku belom tau. Beberapa bantuan dari Jogja sama Bandung lagi nyoba nyari tau siapa dalang pengkhianat yang ngabisin orang-orang loyal dari pihak kita," desisnya. "Ja