Share

Bab 5

Langkah Thasia seketika berhenti, lalu dia berkata dengan nada hormat, bukan nada seorang istri, "Pak Jeremy ada urusan apa lagi?"

Jeremy menoleh, dengan bingung menatap ekspresi asing di wajah Thasia. Dia berkata dengan nada memerintah, "Duduk."

Thasia seketika merasa bingung apa yang ingin pria itu lakukan.

Jeremy berjalan mendekat.

Saat Thasia melihatnya mendekat, dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda, seakan-akan udara di sekitarnya menipis.

Merasa gugup juga bingung.

Thasia tidak bergerak. Jeremy segera menarik tangannya.

Saat tangan hangat pria itu menyentuhnya, Thasia merasa seakan-akan terkena sesuatu yang panas, dia ingin menarik tangannya kembali, tapi genggaman Jeremy cukup kuat, sehingga Thasia tidak bisa menarik tangannya. Jeremy langsung menariknya ke samping, berkata sambil mengerutkan kening, "Kamu nggak sadar tanganmu terluka?"

Perhatiannya membuat Thasia terkejut. "Aku ... nggak apa-apa."

"Sudah kapalan." Jeremy bertanya, "Kenapa nggak bilang?"

Thasia menunduk, melihat kedua tangan besar itu yang sedang memeriksa lukanya.

Selama bertahun-tahun ini, berapa kali Thasia ingin menggandeng tangan ini, ingin merasakan kehangatannya, ingin membawanya ke suatu tempat.

Namun, dia tidak pernah memiliki kesempatan itu.

Saat dia ingin menyerah, pria itu memberinya kehangatan lagi.

"Hanya luka kecil, setelah beberapa hari juga sembuh," jawab Thasia.

"Aku akan menyuruh orang ambilkan obat."

Mata Thasia berkaca-kaca, setelah bertahan selama bertahun-tahun, akhirnya ada sedikit respons dari pria ini.

Namun, dia juga tahu pria ini tidak mencintainya.

Jeremy mengambil obatnya, memakaikan pada luka Thasia. Saat Thasia melihat pria itu berjongkok di lantai, gerakannya juga sangat berhati-hati, dia sepertinya punya perasaan bahwa dirinya adalah wanita kesayangan pria ini.

Hanya luka kecil seperti ini saja dia begitu peduli.

Thasia bahkan merasa ingin tertawa. Dia sudah berada di sisinya tujuh tahun, setiap hari dia yang merawat pria ini. Kalau tahu begini lebih baik dia terluka sedikit saja untuk menarik perhatiannya.

Luka ini sepadan.

Sebuah air mata menetes ke bawah.

Kebetulan menetes ke tangan Jeremy.

Jeremy segera menoleh, dia melihat mata Thasia berkaca-kaca. Baru kali ini dia melihat wanita itu menunjukkan perasaannya di depannya.

"Kenapa nangis, sakit?"

Thasia bisa merasakan gejolak perasaannya, dia merasa dirinya saat ini sedikit aneh. "Nggak sakit, hanya saja mataku sedang nggak nyaman. Pak Jeremy, lain kali aku nggak akan begini lagi."

Jeremy sudah sering mendengar nada formalnya, dia pun mengerutkan keningnya dengan sedikit kesal. "Kita sedang di rumah, bukan di kantor, kamu nggak perlu selalu bersikap formal denganku. Di rumah kamu boleh memanggil namaku."

Namun, selama tujuh tahun ini Thasia melewatinya dengan cara seperti ini.

Di kantor dia adalah sekretaris.

Di rumah dia memang memiliki status sebagai istri Jeremy, tapi juga mengerjakan pekerjaan seperti sekretaris.

Thasia melihat wajah yang selalu dia kagumi itu, dia sudah merasa lelah perasaannya tidak pernah terbalaskan. Thasia terdiam sejenak, lalu berkata, "Jeremy, kita kapan mengurus perceraian ...."

Jeremy segera memeluknya.

Seketika tubuh Thasia membeku, dia menunduk melihat bahu pria itu dalam diam.

Jeremy pun berkata, "Aku hari ini sangat lelah, kita bicarakan hal lainnya besok."

Thasia pun tidak jadi membahas masalah ini.

Saat berbaring di ranjang, Thasia merasa Jeremy berubah lagi. Pria itu menempel terus padanya, membuat merasa hangat.

Tangan Jeremy terus memeluknya, meliputinya dengan aroma pohon pinus, membuatnya merasa tentram.

Tangan besar pria itu menempel perutnya, membuat Thasia sedikit menjauh, seketika terdengar suara di telinganya, "Geli?"

Thasia pun menoleh, "Nggak terbiasa."

Mendengar ini gerakan Jeremy menjadi lebih berani, kedua tangannya langsung memeluk Thasia lebih erat. "Kalau begitu biasakan, nanti juga akan terbiasa."

Thasia masuk ke dalam pelukannya, napas panasnya menerpa tubuhnya, membuat wajah Thasia memerah.

Thasia mendongak, lalu berpikir mungkinkah di kehidupan pernikahan mereka akan ada perubahan?

Namun, Thasia berharap dirinya bisa memiliki identitas lain.

Thasia berkata, "Jeremy ... bisakah kita ...."

Saat itu ponsel Jeremy berdering.

Perhatian Jeremy teralihkan ke ponsel itu.

Perkataan Thasia selanjutnya tidak jadi diucapkan.

Dia ingin bertanya, bisakah kita bersikap seperti pasangan suami istri.

Dia bisa muncul di hadapannya bukan dengan identitas sekretaris lagi.

Hanya saja dorongannya untuk mengatakan hal itu hanya sebentar. Saat ponsel Jeremy berbunyi, dia melihat nama si penelepon adalah Lisa.

Seketika hal itu membuat Thasia kembali ke sikap awalnya.

Jeremy kembali bersikap dingin, dia segera melepaskan Thasia, terduduk, tidak memedulikannya lagi.

"Halo."

Thasia bisa melihat wajah Jeremy menjadi dingin, dia segera bangun dari kasur, berjalan keluar dari kamar untuk berbicara dengan Lisa di telepon.

Wajah Thasia terlihat sedih, lalu dia tersenyum dengan pahit.

Bagaimana bisa dirinya memiliki ilusi seperti tadi?

Hati Jeremy sudah milik Lisa, pria itu tidak akan suka padanya, dia sudah mengatakannya di pernikahan mereka tiga tahun yang lalu.

Thasia menoleh, entah kenapa hatinya terasa sakit, matanya pun semakin berkaca-kaca.

Thasia menutup matanya, tidak membiarkan air matanya jatuh.

Setelah tahu hati pria itu sudah diisi seseorang, Thasia sering diam-diam menangis karena hal itu, tapi tidak pernah ketahuan oleh Jeremy.

Thasia sadar dirinya hanyalah seorang sekretaris.

Begitu Jeremy kembali selesai menelepon, dia melihat Thasia masih belum tidur, dia pun berkata, "Aku ada urusan di kantor jadi harus ke pergi dulu, kamu tidur dulu saja."

Thasia tidak menoleh, dia takut pria itu akan melihat sisi rapuhnya. "Hmm. Pergilah, besok aku akan kerja tepat waktu."

"Hmm."

Jeremy menjawab sekilas, lalu dia mengambil jaket sambil berjalan pergi.

Begitu mendengar suara deru mobilnya semakin menjauh, hati Thasia rasanya hancur.

Thasia tidak bisa tidur nyenyak semalaman.

Keesokan harinya dia masih harus kerja.

Thasia pergi cukup pagi, di kantor baru ada beberapa orang. Dia mengerjakan semua kerjaannya seperti biasa, menyusun semua kerjaan Jeremy dengan baik.

Namun, hari ini Jeremy tidak ada di kantor.

Thasia sempat meneleponnya beberapa kali, tapi ponselnya mati.

Saat ini Rina berkata dengan sedikit panik, "Kak Thasia, Pak Jeremy hari ini nggak masuk, entah dia pergi ke mana. Jadi, tugas mengawasi lapangan hari ini menjadi tanggung jawabmu."

Sebagai sekretaris Jeremy, Thasia memang sempat terjun ke semua bidang di perusahaan, dia yang lebih mengerti tugas ini.

Thasia masih menelepon Jeremy untuk terakhir kali, kalau masih tidak ketemu dia akan berhenti mencarinya.

Tiba-tiba dia teringat semalam Lisa meneleponnya.

Jadi pria itu tidak ke kantor, semalam juga tidak pulang, pasti dia pergi bertemu wanita itu.

Thasia segera menahan sakit di hatinya. "Kalau begitu nggak perlu menunggu Pak Jeremy lagi, ayo."

Di luar matahari lagi terik, setelah di sampai di lapangan.

Di sana bangunannya baru berupa kerangka, belum terbentuk semua, keadaan masih kacau.

Begitu tiba di sana terdapat banyak debu, besi dan suara mesin yang kencang.

Thasia sempat datang beberapa kali, jadi dia kenal tempat ini, dia pun dengan cepat berjalan memeriksanya.

Namun, tiba-tiba ada orang berteriak, "Hati-hati!"

Thasia mendongak, dia melihat ada sebuah kaca yang hendak menimpa kepalanya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fhifijayantiwaty Waty
kejam skli Jeremy TPI prhtian diam"nya yg BKIn klepek"
goodnovel comment avatar
Mahreta Ita
tega banget sih kamu Jeremy,membiarkan thasia melakukanya sendirian meskipun posisinya adalah sekretaris tapi hal itu terlalu berlebihan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status