Share

Bab 6

Seketika Thasia merasa pusing, dia hampir pingsan, tapi saat itu dia mendengar seseorang berkata dengan panik, "Kalian ini bagaimana sih, kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini! Kak Thasia, Kak Thasia ...."

Seiring suara itu mengecil, Thasia pun benar-benar jatuh pingsan.

Begitu bangun Thasia sudah berada di rumah sakit, dia melihat langit-langit yang putih, dia masih belum terlalu sadar, kepalanya terasa sakit.

"Kak Thasia, kamu sudah siuman!" Rina segera berdiri dari bangku dengan mata memerah, lalu dengan panik bertanya, "Apakah ada yang sakit? Aku akan memanggil dokter."

Thasia segera menoleh, walau badannya masih lemas dia tanpa sadar ingin terduduk. "Aku nggak apa-apa, kerjaannya bagaimana? Apakah ada orang lain yang terluka?"

Rina berkata, "Jangan pikirkan kerjaan dulu, kamu tertimpa kaca hingga pingsan. Kamu membuatku takut saja, aku pikir kamu nggak akan siuman lagi."

Sambil berbicara dia pun menangis lagi.

Rina adalah asistennya Thasia, hubungan mereka cukup baik.

Rina yang masih muda belum pernah menghadapi kejadian yang begitu tiba-tiba ini, dia merasa terkejut.

"Bukannya aku sudah sadar, kenapa masih takut," jawab Thasia.

Thasia mengelus kepalanya, di sana terdapat kain kasa, juga terasa sakit. Dia pun mengerutkan kening sambil bertanya, "Di lapangan nggak ada masalah, 'kan?"

Dia takut karena terjadi hal yang tidak terduga kerjaan jadi tertunda.

"Nggak ada masalah Kak Thasia. Sudah luka separah ini kamu masih memikirkan kerjaan, biasanya saat melihatmu kelelahan saja aku merasa khawatir. Cepat berbaring dan istirahat!" Rina merasa bersalah, kalau bukan dirinya yang mengajak Thasia memeriksa pekerjaan di lapangan, maka tidak akan terjadi kejadian ini, jadi dia tidak ingin membahas pekerjaan dulu dengannya.

Thasia sudah terbiasa.

Seakan-akan selama bertahun-tahun ini dia hanyalah robot, selalu memikirkan orang, memikirkan keperluan Jeremy.

Jadi tanpa sadar dia selalu memikirkan kerjaan.

Apalagi, dia masih berutang 20 miliar pada Keluarga Okson, dia merasa lebih tidak tenang lagi.

Saat ini dari luar terdengar suara ribut, seakan-akan para gadis muda di luar sana sedang bertemu artis.

"Astaga, artis terkenal itu ada di rumah sakit ini?"

"Ya, tadi aku juga lihat. Lisa, si artis terkenal itu. Baru kali ini aku berjarak begitu dekat dengannya!"

"Dia terluka? Parah nggak, ya?" tanya mereka dengan penuh perhatian.

"Minggir, semuanya minggir!"

Sekelompok pengawal membuka jalan, menghalangi orang-orang di samping, menghalangi orang untuk melihat dan memotret Lisa. Suara bising itu pun sampai ke telinga Thasia.

Hanya saja yang menarik perhatian Thasia adalah.

Dia juga melihat sosok Jeremy melindungi Lisa di sisi gadis itu.

Lisa memasukkan kepalanya ke dada pria itu sambil menunduk. Matanya memerah, wajahnya terlihat pucat, kelihatannya sangat lemah.

Kemunculan Lisa menimbulkan sensasi, karena ada pengawal yang membuka jalan, dengan cepat kondisi kembali tenang.

Kedua orang itu ditempatkan di ranjang sebelahnya.

Sedang diperiksa di sebelah.

"Bukankah itu Pak Jeremy?"

Rina merasa sangat terkejut melihat ini.

Mereka sudah mencarinya sepanjang pagi, tapi pada akhirnya malah melihatnya di rumah sakit, bahkan sedang bersama Lisa.

Hal ini pun membuatnya berpikir yang tidak-tidak.

Rina berkata lagi, "Pak Jeremy selama ini nggak pernah absen kalau ada kerjaan penting, tapi demi menemani Lisa ponselnya saja dimatikan, mungkinkah mereka berpacaran? Pantas saja Lisa ke kantor nggak perlu membuat janji dulu, ternyata Pak Jeremy yang memberinya perlakuan khusus. Kak Thasia, jangan-jangan Pak Jeremy adalah calon suami Lisa yang digosipkan diam-diam mendukungnya itu?"

Tangan Thasia terkepal erat, kubu jarinya menjadi putih, hatinya terasa sakit.

Dia menoleh pada Rina, lalu berkata dengan datar tanpa ingin gadis itu menyadari perubahan suasana hatinya, "Kamu keluar dulu sana, aku ingin istirahat."

"Baiklah. Kak Thasia, kamu istirahat saja dengan tenang."

Rina tidak berani membahas hal tadi lagi, dia segera pergi keluar kamar.

Thasia berbaring di kasur sambil berpikir apakah Jeremy pernah menjenguknya saat dirinya masuk ke rumah sakit.

Sepertinya tidak pernah.

Sedangkan masalah yang bersangkutan dengan Lisa sudah bisa membuat pria itu khawatir.

Tanpa peduli pada penilaian orang, Jeremy langsung membawanya ke rumah sakit. Begitu banyak orang yang melihatnya dan peduli akan hal itu.

Thasia memang menyedihkan.

Dia melirik ponselnya, setelah ragu sejenak dia segera menelepon nomor yang sudah dia hafal.

Dengan cepat panggilannya dijawab.

"Halo."

Mendengar suara ini seakan-akan berada di sisinya.

Thasia tidak tahu harus berkata apa.

Jeremy di sisi lain pun berkata dengan tidak sabar, "Kalau ada urusan cepat bilang, aku lagi sibuk."

Melalui kain penutup Thasia bisa melihat wajah pria itu dari samping, seakan-akan teleponnya ini telah mengganggu acara pentingnya.

Kalau dipikir-pikir tidaklah heran, orang yang terluka adalah gadis pujaannya, Lisa.

Seketika Thasia merasa menyesal meneleponnya, tapi dia tetap berkata, "Aku ... aku nggak enak badan."

Thasia sempat melihat pria itu menutup ponselnya sebentar, lalu menatap dokter dengan tatapan dingin, seakan-akan menyalahkannya telah membuat Lisa kesakitan saat memakaikan obat.

Pria itu berbalik lagi. "Tadi kamu bilang apa?"

Thasia membuka mulutnya, banyak kata sudah sampai di ambang mulut. Dia ingin bertanya kenapa pria itu mau menikah dengannya padahal sudah ada wanita lain di hati.

Kenapa setelah menikah, dia masih saja peduli pada wanita lain.

Namun, dia pun berpikir dengan tenang, walau bertanya jawabannya tetap bukan seperti yang dia inginkan.

"Nggak ada apa-apa."

"Thasia, aku sedang sibuk. Kalau nggak ada urusan penting, jangan cari aku dulu."

Tut ....

Setelah itu, Jeremy menutup ponselnya, lalu menatap ke arah Lisa.

Mata Thasia seketika memerah, dia merasa hatinya sangat sakit.

Marah, sakit, tidak terima ....

Semua perasaan itu bercampur aduk di hatinya, Thasia memeras ponselnya dengan kuat.

Sudah seharusnya semua berakhir,

Sudah saatnya dia melepaskan pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status