Setelah beristirahat sebentar di rumah sakit, akhirnya Thasia diizinkan pulang dengan keadaan lesu."Thasia!"Saat Sabrina Gunawan menjemput Thasia, melihat wajahnya yang pucat dan kepalanya yang diperban, dia pun segera mendekat. "Astaga, apa yang terjadi padamu?"Thasia tidak menjawab."Jam segini seharusnya kamu sedang bekerja, kamu terluka saat kerja?" tanya Sabrina. "Mana Jeremy?""Nggak tahu."Sabrina melihat ada yang tidak beres pada Thasia, seharusnya tidak hanya tubuh wanita ini yang terluka, dia pun mendengus. "Kamu bekerja untuknya, sekarang kepalamu sampai luka begini. Jeremy sebagai suamimu malah nggak tahu di mana, apa bedanya kamu bersuami dengan nggak?""Nanti juga pria itu bukan suamiku lagi.""Apa? Dia ingin bercerai?" Ekspresi Sabrina pun berubah."Aku yang ingin bercerai."Ekspresi Sabrina berubah lagi. "Cerai saja. Nggak bisa mendapatkan orangnya, uangnya harus tetap dapat, kalau ada uang untuk apa takut nggak ada pria yang mau lagi? Nanti cari saja beberapa pria,
Thasia tahu Jeremy sangat serius dalam bekerja, pria itu tidak suka kalau ada kesalahan.Namun, hal ini bukan salahnya, pria itu yang seharian di rumah sakit menemani Lisa kemarin."Kamu bilang sedang sibuk, lalu menutup telepon."Jeremy terdiam sejenak, lalu berkata, "Lalu bagaimana solusinya?"Saat itu Thasia sudah di rumah sakit, jadi dia berkata, "Masih belum sempat diurus, aku ....""Bu Thasia." Jeremy berkata dengan dingin, "Seingatku kamu nggak pernah lalai dalam bekerja."Mendengar pria itu memanggilnya "Bu Thasia", hal itu mengingatkannya bahwa dirinya hanyalah seorang sekretaris, bukanlah istrinya.Thasia menggigit bibirnya, lalu berkata dengan sulit, "Aku rasa urusannya nggak terlalu parah, jadi masih bisa diundur.""Ada masalah bukannya segera diurus malah cari alasan untuk membela diri, apakah begini caraku mengajarimu?" Seketika Jeremy berteriak, "Segera datang ke kantor!"Setelah itu dia langsung menutup panggilannya.Thasia merasa sedih, tapi dia tidak ada waktu untuk m
Tepat saat itu Thasia sudah sampai di kantor, suasana di area kantor presdir sangat tegang."Kak Thasia."Begitu dia datang semua orang memanggilnya dengan sopan."Kak Thasia, lukamu sudah sembuh?"Thasia tidak ingin mereka terlalu khawatir. "Hanya luka kecil, kemarin setelah istirahat keadaanku sudah membaik.""Tapi seharusnya kamu masih istirahat, minta izin saja dengan Pak Jeremy, kamu masih terluka tapi sudah masuk kerja. Kak Thasia, kamu rajin sekali." Mereka merasa salut pada Thasia, dia lebih sering kerja daripada menikmati kehidupannya, mereka rasa tidak ada sekretaris serajin Thasia lagi.Pernikahan Jeremy dan Thasia masih dirahasiakan, semua orang tidak tahu hubungan mereka yang sebenarnya, jadi dia juga tidak berani terlalu berkomentar. "Aku ke kantor Pak Jeremy dulu, kalian kerjakan saja kerjaan kalian, nggak perlu memikirkanku."Baru sampai di pintu, dia mendengar Jeremy berteriak, "Pecat semua orang yang menyebabkan kelalaian itu di lapangan."Thasia tertegun, dia pikir m
Seharusnya pria itu senang kalau dirinya setuju.Atau jangan-jangan pria ini merasa terhina kalau Thasia yang mengajukan gugatan cerai itu.Jeremy menatap tubuh Thasia, lalu berkata dengan datar, "Sudah masuk jam kerja."Thasia melihat jam, saat ini pas jam sembilan, sudah saatnya masuk kerja.Thasia tersenyum dengan pahit. Pria ini tepat waktu sekali, sedetik pun tidak membiarkan dirinya santai.Dia melihat punggung Jeremy yang menjauh, membuatnya merasakan hawa dingin dan asing.Thasia juga tidak membuang-buang waktu lagi, dia segera melangkah pergi.Tony sedang menunggunya di luar. "Bu Thasia, ini dokumen dari Pak Jeremy."Dokumen yang jumlahnya sangat banyak diberikan padanya.Debu dari dokumen berterbangan ke mukanya, membuatnya terbatuk. Thasia bertanya, "Sudah berdebu begini, dokumen dari kapan?"Tony tidak berani mengatakannya. "Aku juga nggak tahu, Pak Jeremy yang mengaturnya."Semua orang di kantor melihat ke arah Thasia, seketika mereka merasa kasihan padanya.Mereka berpiki
Ricky Sendio merasa bingung, mungkinkah Jeremy sedang sakit?Bukankah beberapa waktu yang lalu pria itu sudah melakukan pemeriksaan, tubuhnya juga tidak bermasalah.Thasia itu istrinya, kalau ada masalah mungkinkah ....Ricky segera berjalan ke kantor, setelah memanggilnya, tatapannya tertuju pada celana Jeremy.Melihat tatapan anehnya, Jeremy mengerutkan kening. "Aku menyuruhmu memeriksa Thasia, untuk apa kamu melihatku?"Ricky menarik kembali arah pandangannya, dia tersenyum dengan canggung. "Nggak apa-apa, aku tadi bertemu Kak Thasia di pintu lift. Dia sudah pergi, sepertinya dia sedang marah."Jeremy berkata, "Nanti juga akan kembali.""Kalian bertengkar?""Wanita ngambek itu sudah biasa."Ricky ingin mengatakan sesuatu tapi tidak enak, pada akhirnya dia hanya duduk di sofa samping.Melihat pria itu masih tidak pergi, dia pun berkata, "Dia sudah pergi, untuk apa kamu masih di sini, aku sudah nggak membutuhkanmu lagi.""Aku baru datang tapi sudah diusir, setidaknya mengobrollah deng
Thasia menoleh. "Kemas barang.""Mau ke mana?"Thasia berkata, "Pulang.""Bukankah ini rumahmu?" kata Jeremy dengan nada dingin.Seketika hati Thasia terasa sakit, dia pun menatap Jeremy. "Menurutmu ini rumahku? Aku hanya menumpang saja di tempat kalian."Jeremy segera menari tangannya, menghentikannya mengemasi koper, lalu suara bernada dinginnya terdengar dari atas kepala. "Kamu ingin marah sampai kapan?"Thasia tidak berani mendongak, takut dirinya akan menangis melihat wajah pria itu, dia segera menepisnya. "Aku nggak marah, aku serius. Pak Jeremy, minggir sebentar, aku ingin beres-beres."Thasia bersikeras ingin cerai dengannya, Jeremy pun segera membanting pintu.Mendengar ini Thasia segera menoleh, lalu Jeremy berkata, "Kenapa kamu ingin pergi?"Thasia tidak menjawab.Jeremy mendekatinya lalu berkata dengan penuh selidik, "Kamu merasa aku nggak bisa menghamilimu? Kamu ingin aku membuktikannya sekarang, hah?"Perkataannya ini membuat Thasia merasa takut, seketika dia teringat sal
Tubuh pria itu terasa panas, ada aroma alkohol yang tercium, napasnya yang membara berderu di telinga Thasia.Dia mabuk?Thasia berkata, "Jeremy?"Jeremy masih memeluk pinggangnya, kepalanya terkubur di rambut Thasia, lalu berkata dengan suara kecil, "Jangan bergerak, biarkan aku memelukmu."Thasia tidak bergerak lagi.Dia merasa bingung kenapa pria ini bisa mabuk.Dengan berjarak selimut, Thasia berbaring dengan cukup lama hingga badannya terasa kaku. Dia sedang berpikir kapan pria ini akan bangun.Jeremy seakan-akan tidak ada tanda-tanda akan bangun, dia hanya berbaring di sana dan menghirup udara di sekitarnya.Jangan-jangan pria ini berpikir dirinya Lisa lagi.Thasia memanggilnya lagi, "Jeremy ....""Thasia, aku masih ingin berbaring sebentar."Mendengar ini Thasia terdiam lagi.Pria itu memanggil namanya, berarti dia tidak berpikir dirinya adalah wanita lain.Thasia tidak pernah melihat kondisi Jeremy seperti ini, seketika dia tidak tahu harus berbuat apa.Namun, hati Thasia tetap
Seorang wanita yang merupakan editor majalah berkata, "Aku hanya sering mendengar kamu punya pacar, tapi kenapa dia nggak pernah muncul, benar-benar membuat orang penasaran."Lisa memainkan rambutnya, lalu berkata dengan tertekan, "Aku nggak suka dia muncul di depan umum, jadi aku menyuruhnya nggak perlu menemaniku ke acara-acara seperti ini. Kalau kami menikah, aku pasti akan mengundang kalian.""Misterius sekali, kalau begitu aku akan menantikannya."Editor itu menoleh pada Thasia, lalu menganggukkan kepalanya. "Nona Thasia, kita bertemu lagi."Thasia juga kenal wanita ini, waktu itu saat Jeremy melakukan wawancara mereka sempat bertemu.Justru karena campur tangan wanita ini mereka jadi berhasil.Thasia pun balas menyapa, "Bu Dela.""Kalian saling kenal?" tanya Editor Dela pada mereka.Lisa menjawab, "Kenal tapi nggak dekat."Lisa segera membatasi hubungannya dengan Thasia.Thasia juga meneruskan percakapan mereka tadi, "Berita kepulangan Nona Lisa juga tertulis karena ingin bertemu
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak