Share

Bab 9

Tepat saat itu Thasia sudah sampai di kantor, suasana di area kantor presdir sangat tegang.

"Kak Thasia."

Begitu dia datang semua orang memanggilnya dengan sopan.

"Kak Thasia, lukamu sudah sembuh?"

Thasia tidak ingin mereka terlalu khawatir. "Hanya luka kecil, kemarin setelah istirahat keadaanku sudah membaik."

"Tapi seharusnya kamu masih istirahat, minta izin saja dengan Pak Jeremy, kamu masih terluka tapi sudah masuk kerja. Kak Thasia, kamu rajin sekali." Mereka merasa salut pada Thasia, dia lebih sering kerja daripada menikmati kehidupannya, mereka rasa tidak ada sekretaris serajin Thasia lagi.

Pernikahan Jeremy dan Thasia masih dirahasiakan, semua orang tidak tahu hubungan mereka yang sebenarnya, jadi dia juga tidak berani terlalu berkomentar. "Aku ke kantor Pak Jeremy dulu, kalian kerjakan saja kerjaan kalian, nggak perlu memikirkanku."

Baru sampai di pintu, dia mendengar Jeremy berteriak, "Pecat semua orang yang menyebabkan kelalaian itu di lapangan."

Thasia tertegun, dia pikir maksud pria itu dirinya.

Setelah beberapa saat, sekelompok orang berjalan keluar dari dalam kantor Jeremy.

Semua orang yang keluar menundukkan kepalanya. Ekspresi Thasia pun tetap terlihat datar, dia bersikap seperti biasa sambil berjalan masuk.

Jeremy segera menoleh padanya, tatapannya tertuju pada luka di kepala wanita itu. Wajah Thasia terlihat sedikit pucat, sepertinya lukanya cukup parah.

"Pak Jeremy," panggil Thasia.

Jeremy menoleh lagi, dia tidak membahas masalah di lapangan, dia malah meletakkan dokumen yang tadi pagi dia terima ke meja. "Apa maksudnya ini?"

Itu surat cerai yang dikirim Sabrina tadi pagi, Thasia pun menjawab dengan tenang, "Aku rasa Pak Jeremy seharusnya mengerti, itu adalah surat cerai. Hari ini aku ke kantor bukan hanya untuk membahas masalah kerjaan, tapi juga membahas masalah perceraian ini, apakah Pak Jeremy punya waktu?"

"Thasia!" Suara Jeremy sedikit kencang, nadanya terdengar dingin, "Aku bahkan nggak tahu kamu sangat menginginkan anak."

Thasia merasa bingung. "Maksudnya?"

Jeremy melemparkan dokumennya. "Lihat saja sendiri."

Thasia membuka dokumen itu, dia baru sadar salah satu alasan cerai mereka di sana tertulis: "Pihak wanita menginginkan anak, tapi pihak pria tidak bisa memberikannya, jadi hubungan mereka berakhir!"

Seketika Thasia merasa canggung. Sabrina yang mengurus surat cerai ini, dia tidak tahu wanita itu memasukkan alasan ini.

Semua kata membelanya.

Pantas saja saat dia keluar tadi Sabrina terlihat bersemangat, seakan-akan begitu dia pergi dirinya akan menjadi kaya.

Hal ini sungguh tidak masuk akal.

Dia menoleh pada Jeremy, pria itu marah mungkin karena berpikir dirinya sedang memerasnya.

"Pak Jeremy, aku salah mengirim surat cerainya." Thasia merapikan suratnya. "Kalau nggak terburu-buru, aku akan membuat surat baru."

"Aku nggak bisa memberikanmu anak?"

Pria itu sudah melangkah ke arahnya, wajahnya terlihat dingin, seakan-akan dia ingin memastikan makna dari kalimat itu dari Thasia.

Thasia pun melangkah mundur sedikit. "Pak Jeremy, mungkin Lisa lebih tahu hal ini daripada aku ...."

Seketika Jeremy menarik Thasia ke dalam pelukannya.

Thasia tidak bisa melawan, tubuhnya didorong oleh pria itu hingga ke meja.

Kedua tangan Thasia menahan permukaan meja, pinggulnya mengenai sisi meja sehingga terasa sedikit sakit.

"Kalau kamu sangat ingin memiliki anak kenapa nggak bilang dari dulu?" tanya Jeremy.

Thasia membuka mulutnya, tapi suaranya tidak bisa keluar. Saat itu juga Jeremy mendengus. "Kamu ingin menggunakan anak untuk mengikatku? Jadi surat cerai ini hanya alasan, sebenarnya kamu ingin punya anak denganku, bukan?"

Perkataan Jeremy membuat ekspresi Thasia terlihat tidak senang, dia pun segera mendorong pria itu, "Pak Jeremy, mohon jangan kelewatan."

Reaksi Jeremy malah semakin dingin, nada pun juga terdengar menusuk, "Thasia, selama bertahun-tahun ini aku nggak pernah bertindak keterlaluan padamu, sebaiknya hilangkan saja pikiranmu yang nggak masuk akal itu!"

Pria itu tidak memahaminya.

Menurut pria itu, Thasia akan merasa bahagia kalau menikah dengannya, dengan posisi sebagai "Nyonya Okson" dia bisa menjalani kehidupan yang indah.

Namun, Thasia tidak merasa bahagia.

Thasia menenangkan dirinya, dia tidak ingin bertengkar dengannya. "Jangan lupa kamu yang menentukan batas waktu pernikahan kita, aku hanya membahasnya saja."

"Memang aku yang menentukannya, jadi aku yang berhak memutuskannya. Tanpa persetujuan dariku, kita nggak akan bisa bercerai."

Thasia merasa bingung. Kalau mereka bisa bercerai secepatnya, bukankah pria ini bisa lebih cepat bersama Lisa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status