Share

Bab 13

Tubuh pria itu terasa panas, ada aroma alkohol yang tercium, napasnya yang membara berderu di telinga Thasia.

Dia mabuk?

Thasia berkata, "Jeremy?"

Jeremy masih memeluk pinggangnya, kepalanya terkubur di rambut Thasia, lalu berkata dengan suara kecil, "Jangan bergerak, biarkan aku memelukmu."

Thasia tidak bergerak lagi.

Dia merasa bingung kenapa pria ini bisa mabuk.

Dengan berjarak selimut, Thasia berbaring dengan cukup lama hingga badannya terasa kaku. Dia sedang berpikir kapan pria ini akan bangun.

Jeremy seakan-akan tidak ada tanda-tanda akan bangun, dia hanya berbaring di sana dan menghirup udara di sekitarnya.

Jangan-jangan pria ini berpikir dirinya Lisa lagi.

Thasia memanggilnya lagi, "Jeremy ...."

"Thasia, aku masih ingin berbaring sebentar."

Mendengar ini Thasia terdiam lagi.

Pria itu memanggil namanya, berarti dia tidak berpikir dirinya adalah wanita lain.

Thasia tidak pernah melihat kondisi Jeremy seperti ini, seketika dia tidak tahu harus berbuat apa.

Namun, hati Thasia tetap luluh, dia takut kalau pria ini kurang tidur maka akan terkena flu.

Dia pun mendorongnya. "Jangan tidur seperti ini, kalau nggak mau mandi setidaknya tidur dengan selimut ...."

Jeremy segera berbalik, tapi tangannya tidak lepas dari Thasia, sehingga Thasia pun jatuh ke pelukannya, pria itu memeluknya dengan erat. Hidung Thasia bisa mencium aroma tubuhnya, terdapat aroma mint bercampur alkohol.

Seketika Thasia merasa panik, mata pria itu terus melihatnya.

Jeremy tidak menutup mata, dia menatap Thasia dengan lekat dan alis berkerut, seakan-akan dia merasa sedikit tidak senang.

Untuk apa dia ingin tahu pria ini sedang senang atau tidak, menebak apa yang sedang dia pikirkan. Karena tidak mau terlalu memperhatikannya Thasia pun segera menoleh.

Tangan Jeremy mengelus jidatnya.

Sentuhannya yang hangat itu membuat Thasia merasa aneh, dia pun menghindar. Jeremy tertegun lalu dengan pelan berkata, "Sakit?"

Hidung Thasia memerah, mungkin karena merasa sangat tertekan, begitu dipedulikan dia merasa sedih. "Untuk apa kamu menanyakan hal itu?"

Nadanya terdengar mengeluh.

Jeremy menepuk punggungnya, seakan-akan sedang berusaha menenangkannya. "Ke depannya aku nggak akan membiarkanmu ke tempat yang berbahaya lagi."

Pria itu sedang mengkhawatirkannya?

Jelas-jelas pria itu bilang pernikahan mereka tidak berdasarkan cinta, melarangnya mengharapkan sesuatu yang lebih.

Thasia pun sekali lagi memperhatikannya, kali ini mata pria itu sudah terpejam, hanya saja gerakan di tangannya masih tidak berhenti.

Pada detik ini, Thasia baru merasakan bahwa pria ini miliknya.

Hanya saat pria itu mabuk, hubungan mereka baru ada kemajuan, menjadi pasangan suami istri pada umumnya.

Thasia mengangkat tangannya, ingin menyentuh wajah pria itu dan mendekatinya. Namun, tangannya baru terangkat setengah, akal sehatnya sudah menyadarinya.

Dia tahu kehangatan malam ini, keesokan paginya akan menghilang.

Pria itu akan kembali ke sikap awalnya, sedangkan dirinya juga akan kembali menjadi dirinya lagi.

Tangannya pun diturunkan.

Wajahnya menempel pada dada pria itu, merasakan detak jantungnya, mendengar suara napasnya yang teratur. Seharusnya pria itu sudah tidur.

Dia baru berkata, "Jeremy, kalau kamu bisa mencintaiku, walau hanya sedikit saja, aku akan merasa sangat senang."

Sebenarnya Thasia sangat mudah merasa puas.

Namun, hal ini terasa sulit untuk digapai olehnya.

Pada akhirnya Thasia menutup mata. Dia berharap waktu bisa berhenti di sini, dia berharap tidak akan terbangun lagi.

Namun, pada akhirnya dia tetap harus terbangun.

Keesokan paginya, ranjang di sisinya sudah kosong. Pagi-pagi sekali Jeremy sudah pergi.

Thasia terbangun, dia melihat ada kertas di sisi ranjang, di atasnya ada tulisan yang berbunyi: "Aku pergi ke kantor dulu, kamu di rumah saja istirahat. Ingatlah untuk makan."

Di sebelahnya terdapat sebuah kartu bank.

Thasia mengambilnya, lalu teringat pria itu membelikan baju untuk Lisa seharga dua miliar.

Mungkinkah pria itu merasa bersalah karena ketahuan, lalu menggunakan kartu ini untuk merayunya?

Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Jeremy, pria itu menyukai Lisa, tapi di saat yang sama juga tidak ingin cerai, apa maksudnya semua ini?

Sebenarnya bercerai, lalu memulai hidup baru sudah menghabiskan semua keberanian Thasia.

Jeremy tidak akan mengerti kenapa Thasia bisa menyukainya, kenapa dirinya rela menunggu pria itu selama tujuh tahun.

Masa mudanya yang indah, dia habiskan semuanya hanya untuk fokus pada pria itu.

Begitu berpikir akan meninggalkannya, Thasia pun merasa sedih.

Dia telah menghabiskan semua keberaniannya, demi pria itu dia telah mengorbankan semuanya, saat ini tidak ada yang tersisa.

Jadi manusia harus bisa berpikir dengan jernih, jangan sampai demi seorang pria malah mengorbankan semuanya, mempertahankan cinta sepihak, pada akhirnya semua menjadi lelucon.

Thasia mengambil kartu itu dan meletakkannya di laci, lalu dia tidak pernah mengambilnya lagi.

Sabrina mengiriminya pesan, mengatakan bahwa pameran gambarnya hari ini baru buka, wanita itu menyuruhnya datang untuk memberi dukungan.

Meski Sabrina memberinya saran yang tidak bisa diandalkan, kemampuan wanita itu tidak bisa diremehkan, dia seorang pelukis yang cukup terkenal, juga seorang desainer.

Thasia memutuskan datang ke acara itu sekalian mencari udara segar.

Dia membawa sebuket bunga ke sana. Saat ini Sabrina sedang menyapa para tamu, saat melihat dirinya, dia segera berpamitan dan menghampirinya. "Hei, sayangku."

Sabrina segera memeluknya.

Thasia juga balas memeluknya sambil berkata, "Selamat."

"Selamat apa, hal ini sudah biasa." Sabrina menerima bunga darinya. "Kamu bisa datang saja aku sudah senang, biasanya kamu sibuk kerja jadinya nggak bisa datang ke pameranku."

Thasia merasa tidak enak. "Maaf."

"Untuk apa meminta maaf, kamu ini sahabat terbaikku, aku bisa mengerti."

Pekerjaan Thasia memang sibuk, kalau ada waktu dia hanya bisa pergi bertemu Sabrina.

Sepertinya dia memang tidak pernah ke acara pameran Sabrina, ini pertama kalinya.

Sabrina bertanya lagi, "Masalah ceraimu bagaimana?"

Seketika Thasia teringat masalah surat cerai. "Omong-omong tentang hal itu, kamu ini ingin aku bercerai dengannya atau ingin aku dipukuli?"

"Kamu dipukul? Jeremy benar-benar kurang ajar, aku akan memberinya pelajaran."

"Aku rasa kamu sengaja." Thasia berkata, "Orang pintar mana pun nggak akan mau tanda tangan surat cerai seperti itu, apalagi Jeremy."

Sabrina mencibir. "Aku ini ingin membela keadilan untukmu. Dalam pernikahan kalian, pria itu nggak rugi apa-apa, malahan bisa berpacaran dengan wanita lain, sedangkan kamu sudah kehilangan masa mudamu, Walau cerai, tetap saja dia harus mengorbankan sesuatu! Kalau dia punya hati nurani, dia nggak pelit soal harta."

Saat membahas ini Thasia merasa tidak senang. "Jangan bahas ini lagi, bukannya kamu menyuruhku ke sini untuk melihat karyamu? Kita bicarakan hal-hal yang menyenangkan saja, agar aku merasa lebih baik."

"Baiklah, terserah kamu saja." Sabrina berkata dengan senang, "Tenang saja, aku pasti akan menemanimu melewati kesulitan ini."

Mendengar ini Thasia merasa tersentuh, dia pun tersenyum sambil mengangguk.

Ada wartawan di sana, mereka memperhatikan gambar Sabrina, lalu ingin mewawancarainya. Jadi Sabrina tidak bisa selalu menemaninya, Thasia pun berjalan sendiri.

Tiba-tiba dia melihat sesosok diiringi beberapa orang lainnya mendekat.

"Nona Lisa, selamat datang."

Lisa tersenyum dengan hormat pada penanggung jawab perusahaan Sabrina. "Aku datang juga sebagai penggemar, aku suka dengan gambar-gambar Nona Sabrina."

"Kalau begitu suatu kehormatan bagi kami, Sabrina sedang diwawancarai, mohon tunggu sebentar."

Thasia menatap Lisa, tanpa sadar dia menilai penampilannya, matanya tertuju pada bekas luka merah kecil di lengan gadis itu.

Seingatnya Lisa sempat ke rumah sakit, dia kira lukanya sangat parah.

Mengingat sikap gugup Lisa waktu itu sehingga dilindungi oleh Jeremy, dia merasa gadis itu sedikit berlebihan.

Saat dia berbalik, Lisa malah melihat dirinya, dia segera berpamitan dengan semua orang, lalu berteriak, "Thasia."

Thasia meliriknya berjalan mendekat. "Kamu juga di sini.''

Thasia hanya diam saja, Lisa terus berbicara, "Kenapa kamu nggak kerja, memangnya Jeremy mengizinkanmu ke pameran gambar seperti ini?"

"Nggak perlu mencampuri urusanku," jawab Thasia dengan datar.

Lisa berkata, "Bukan begitu, hanya saja aku nggak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini, apalagi kamu sendirian."

Wanita ini mengingatkan bahwa dirinya sendirian, juga mengungkit tentang Jeremy, mungkin maksudnya Jeremy selalu menemaninya kalau Lisa butuh.

Kalau dipikir-pikir Lisa memang unggul dalam hal ini, karena Jeremy memang dari dulu tidak pernah menemaninya ke mana pun.

Tiba-tiba ada orang berjalan mendekat. "Lisa, gaunmu cantik sekali, beli di mana?"

Lisa tersenyum dengan senang, lalu berkata pada wanita itu, "Cantik, 'kan? Pacarku yang memilihnya."

"Hah, aku pernah melihatnya di majalah, harga gaun ini hampir dua miliar lebih."

Lisa menjawab dengan sopan, "Ya."

"Pacarmu sungguh baik, dia mau membelikan gaun seharga dua miliar. Seharusnya dia sering memberimu uang, bukan?"

Seketika wajah Lisa memerah. "Tentu saja. Pacarku sayang padaku, jadi dia rela mengeluarkan uang untukku."

Seketika hal ini mengingatkan Thasia bahwa Jeremy sempat membelikan baju seharga dua miliar untuk Lisa. Ternyata gaun yang mengkilap ini.

Seketika dia merasa tidak suka melihat gaun itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitria Aly
pisah aja nikmatin hidupmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status