Share

Bab 12

Thasia menoleh. "Kemas barang."

"Mau ke mana?"

Thasia berkata, "Pulang."

"Bukankah ini rumahmu?" kata Jeremy dengan nada dingin.

Seketika hati Thasia terasa sakit, dia pun menatap Jeremy. "Menurutmu ini rumahku? Aku hanya menumpang saja di tempat kalian."

Jeremy segera menari tangannya, menghentikannya mengemasi koper, lalu suara bernada dinginnya terdengar dari atas kepala. "Kamu ingin marah sampai kapan?"

Thasia tidak berani mendongak, takut dirinya akan menangis melihat wajah pria itu, dia segera menepisnya. "Aku nggak marah, aku serius. Pak Jeremy, minggir sebentar, aku ingin beres-beres."

Thasia bersikeras ingin cerai dengannya, Jeremy pun segera membanting pintu.

Mendengar ini Thasia segera menoleh, lalu Jeremy berkata, "Kenapa kamu ingin pergi?"

Thasia tidak menjawab.

Jeremy mendekatinya lalu berkata dengan penuh selidik, "Kamu merasa aku nggak bisa menghamilimu? Kamu ingin aku membuktikannya sekarang, hah?"

Perkataannya ini membuat Thasia merasa takut, seketika dia teringat salah paham yang ditimbulkan oleh surat cerai tadi pagi.

Dia ingin bangkit berdiri, tapi Jeremy menempel pada tubuhnya, seketika kaki Thasia terasa lemas, dia pun jatuh ke atas kasur, seakan-akan memberi Jeremy kesempatan. Pria itu menekannya di bawah ranjang, tubuhnya yang tinggi menatapnya di bawah dengan mata membara.

Thasia seketika merasakan ada tekanan dari atas kepalanya, dia pun menunduk sambil menjelaskan, "Aku nggak berpikir seperti itu, kamu salah, jangan terlalu dipikirkan. Aku akan membuat ulang surat cerai itu, kamu pasti ...."

Perkataan Thasia berhasil membuat Jeremy marah, tubuh tinggi pria itu segera bergerak ke bawah.

Thasia seketika merasa takut, dia tidak berani bergerak, tangannya menahan di dada pria itu. "Kamu ingin berbuat apa?"

Jeremy menjepit dagunya, lalu berkata dengan nada dingin, "Thasia, kamu terus mengungkit tentang cerai, sepertinya aku kurang memuaskanmu."

Thasia masih memikirkan apa maksudnya, tapi dia menyadari tubuh pria itu semakin lama semakin panas, seketika dia mulai mengerti. Wajah Thasia memerah, seakan-akan dirinya masuk ke dalam oven, dia pun merasa gugup. "Jeremy, kamu jangan emosian dulu, aku nggak bermaksud begitu."

"Hasrat antara suami istri memangnya salah?" tanya Jeremy.

Thasia segera berkata, "Tapi kamu dari awal sudah bilang kita nggak boleh melewati batas!"

Tatapan Jeremy menjadi mengerikan, matanya menggelap, tubuhnya seketika terasa membara, tangannya segera menekan pinggul Thasia.

Tubuh Thasia pun membeku.

Meski pernah melewatkan malam bersama, tapi mereka hanya melakukannya sekali, malam itu Jeremy juga sedang mabuk. Saat ini keduanya dalam keadaan sadar, dia pun merasa sedikit asing, tubuhnya pun bergetar.

Kancing bajunya sudah terbuka sebagian, Thasia bisa merasakan hawa dingin di tubuhnya.

Namun, di benaknya muncul gambaran saat malam pernikahan mereka, ketika Jeremy dengan dingin mengatakan kalau dia berani melewati batasan antar mereka, pria itu akan membuat dirinya merasakan akibatnya.

Seketika Thasia tersadar, dia segera menangkap tangan Jeremy yang bergerak dengan liar, berusaha menolaknya. "Jangan, aku sedang nggak ingin!"

Hasrat Jeremy seketika hilang karena penolakannya, melihat Thasia ketakutan, ekspresinya pun menjadi dingin. "Thasia, aku sudah memberimu kesempatan tapi kamu yang nggak mau."

Sikap dingin pria itu membuat Thasia kecewa. "Aku nggak menginginkannya."

Jeremy menutup bibirnya, dia menarik tangannya sambil bergerak berdiri, membelakanginya, lalu berkata dengan dingin "Kamu juga tahu alasan kita menikah karena apa, jadi jangan pernah mengharapkan sesuatu dariku."

Jeremy merapikan pakaiannya dan berjalan keluar.

Seketika kamar itu menjadi hening. Thasia tercengang di tempatnya tanpa bisa bergerak.

Thasia hanya merasa sangat dingin. Dia terduduk, kedua tangannya memeluk kaki hingga tubuhnya membentuk sebuah bola, dengan begini dia baru merasa tidak akan tersakiti.

Thasia tahu akan hal itu, walau sudah tahu tetap saja dia merasa sakit mendengar kata-kata pria itu.

Pernikahan mereka bukan berdasarkan cinta, dia tidak bisa berharap apa-apa.

Thasia berpikir, kalau tidak ada pernikahan ini, mungkin dia bisa hidup dengan lebih baik, tidak perlu terikat dengannya selama tiga tahun. Dia juga bisa melupakan perasaannya dan mencintai orang lain.

Dia menutup matanya. Seketika dia merasa lelah, entah kapan perasaan kecewa dan sakit ini berakhir.

Tanpa sadar Thasia tertidur, tapi dia tiba-tiba mendengar suara, dia pun terbangun lagi.

Di bawah cahaya lampu redup dia melihat seseorang berjalan dengan terhuyung-huyung ke arah kasur, sebelum dia bereaksi, orang itu sudah memeluknya.

Pelukannya itu sangat kuat, seakan-akan takut kehilangan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status