Share

Bab 4

"Suasana hati Kak Thasia hari ini sedang nggak baik, dia nggak mau mengantarkan dokumennya, jadi aku yang mengantarkannya." Lalu Lisa sengaja menunjukkan bekas luka di tangannya. "Jeremy, kamu jangan menyalahkan Kak Thasia, aku rasa dia nggak bermaksud begitu, dokumennya nggak terlambat, 'kan?

Baru kali ini Thasia berani memberikan dokumen kantor kepada orang lain.

Jeremy merasa sangat kesal, tapi karena ada Lisa di sini dia pun menahannya, dia hanya melonggarkan ikatan dasinya, lalu berkata, "Nggak apa-apa."

Dia pun mengalihkan topik pembicaraan. "Karena sudah datang, maka duduklah sebentar."

Mendengar ini seketika Lisa merasa senang. Setidaknya pria itu tidak membencinya dan masih menerimanya.

"Bukannya kamu ada rapat? Apakah aku mengganggumu?"

Jeremy pun menelepon seseorang. "Undur rapatnya selama setengah jam."

Lisa pun tersenyum. Tadi dia sempat khawatir Jeremy akan marah karena waktu itu dia pergi tanpa pamitan, ternyata dirinya yang berlebihan.

Waktu yang sudah dia lewatkan masih bisa dia ganti.

Lisa duduk di sofa, dia merasa bersemangat dan juga ingin menjelaskan, "Jeremy ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Waktu itu aku yang salah karena nggak pamitan, tapi aku sekarang sudah kembali ...."

Jeremy segera memotong pembicaraannya, "Aku urus kerjaan dulu."

Lisa tidak jadi meneruskan kalimatnya, melihatnya begitu sibuk dia hanya bisa berkata, "Kalau gitu aku tunggu kamu selesai saja."

Lisa tidak berani mengganggu, dia juga tidak tahu harus menunggu berapa lama baru mereka bisa berbicara.

Dia tidak bisa memprediksikan suasana hati pria ini.

Hingga Tony berjalan masuk, Jeremy baru menghentikan aktivitasnya.

Melihatnya berjalan mendekat, Lisa berkata dengan senang, "Jeremy, aku ...."

"Tanganmu masih sakit?"

Pria itu sadar luka di tangannya, apakah dia mengkhawatirkannya?

Lisa segera menjawab, "Sudah nggak sakit."

"Hmm," jawab Jeremy, dia mengambil cairan obat dari tangan Tony. "Aku dengar setelah kamu kembali, kamu nggak terbiasa dengan lingkungan di sini, lalu tenggorokanmu sakit. Minumlah obat ini, bagus untuk tenggorokan."

Melihat cairan obat yang masih panas, suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik.

Pria ini memperhatikan berita tentangnya, bahkan Jeremy tahu tenggorokannya lagi tidak enak, itu berarti Jeremy masih peduli padanya.

Dia segera mengambil obat itu, lalu tersenyum cerah. "Jeremy, aku merasa sangat senang kamu masih peduli padaku. Aku akan meminumnya."

Sebelum meminumnya, dia sudah mencium aroma yang tidak enak.

Lisa tidak suka obat herbal, tapi kalau obat ini dari Jeremy dia akan berusaha meminumnya.

Meski terasa sangat pahit dan sulit ditelan, dia tetap tidak berkomentar.

Melihat Lisa meminum semua cairan itu tanpa sisa, Jeremy baru mengalihkan tatapannya.

"Pak Jeremy, rapat akan segera dimulai," ingat Tony.

Jeremy pun menatap Lisa. "Aku sudah harus rapat, kamu pulanglah."

Lisa membersihkan bibirnya. Dia juga tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa menjawab dengan penuh pengertian, "Baiklah, lain kali aku akan menemuimu lagi."

Jeremy segera berjalan keluar.

Lisa menatap punggungnya, tatapannya masih belum teralihkan hingga sosok pria itu hilang.

Dia sangat senang, lalu segera mengirim pesan untuk manajernya, 'Kali ini pilihanku untuk pulang nggak salah, dia masih peduli padaku.'

Di sisi lain, saat berjalan ke arah ruang rapat, Tony bertanya pada Jeremy, "Pak Jeremy, kenapa kita harus memasukkan obat pencegah kehamilan ke cairan tadi?"

Jeremy menjawab dengan wajah datar dan dingin, "Lisa sempat pergi ke hotel kemarin malam."

Seketika Tony pun mengerti, pria itu takut wanita semalam adalah Lisa, lalu wanita itu nanti malah hamil.

Kalau diberi obat pencegah kehamilan, semuanya baru aman.

Hari ini Thasia tidak kembali ke kantor, juga tidak menelepon untuk meminta izin.

Biasanya wanita itu tidak pernah jauh dari Jeremy, selalu saja membantunya tanpa melakukan kesalahan.

Namun akhir-akhir ini, wanita itu menjadi semakin berani, tidak datang kerja juga tidak meminta izin.

Jeremy seharian merasa kesal, wajahnya selalu ditekuk, tidak tersenyum sedikit pun. Hal ini juga membuat para karyawan di perusahaan menjadi waspada, takut mereka akan membuat kesalahan.

Setelah pulang kerja, Jeremy kembali ke rumah.

Saat ini Thasia sudah dikeluarkan.

Di kamar, Thasia sedang berbaring di ranjang. Tangannya bergetar, matanya memerah, seakan-akan kondisi mentalnya sedang terpukul.

Luka di tangannya sudah kapalan karena tidak diobati.

Dibandingkan dengan luka di hatinya, luka di tangannya tidak ada apa-apa.

Jeremy baru sampai di depan pintu, pembantu segera mendekat dan menyiapkan sandal ganti.

Dia pun bertanya dengan wajah datar, "Di mana Nyonya?"

"Di atas." Pembantu itu berkata lagi, "Begitu pulang, Nyonya sudah nggak turun lagi."

Mendengar ini Jeremy segera naik ke atas.

Begitu masuk ke kamar, dia melihat seseorang berbaring di kasur dengan tubuh tertutup semua.

Sikap Thasia ini membuat Jeremy bingung. Dia berjalan ke arah ranjang, lalu menyentuh selimut yang menutupinya.

"Jangan sentuh aku!"

Thasia segera menepis tangannya.

Thasia sudah mendengar suara di pintu, dia kira pembantu yang datang untuk membawanya ke gudang lagi. Suara setiap langkah orang yang mendekat membuat jantungnya berdebar.

Dia memegang selimutnya dengan kencang, merasa sangat ketakutan.

Hingga orang itu membuka selimutnya, Thasia segera terduduk, lalu menepis tangan orang itu.

Jeremy sangat terkejut melihat respons Thasia yang berlebihan. Seketika wajahnya terlihat tidak senang, lalu berkata, "Thasia, kalau kamu nggak bertingkah aneh, memangnya aku mau menyentuhmu?"

Begitu Thasia sadar orang itu adalah Jeremy, dia pun merasa tenang.

Mendengar perkataannya seketika hatinya merasa sangat sakit, dia pun segera menenangkan dirinya. "Pak Jeremy, aku nggak tahu ternyata kamu."

"Di rumah kalau bukan aku, maka siapa lagi?" sindir Jeremy. "Atau mungkin kamu sedang memikirkan orang lain."

Thasia terdiam, dibenaknya hanya terngiang-ngiang kalimat Yasmin.

Lisa lebih pantas untuk Jeremy.

Sekarang wanita itu sudah kembali, mereka bisa kembali membangun hubungan, dirinya sudah tidak ada urusan lagi di sini.

"Hari ini aku nggak enak badan."

Thasia tahu dirinya tidak diinginkan. "Lisa sudah menyerahkan dokumennya, 'kan? Seharusnya hal itu nggak mengganggu kerjaanmu."

Hari ini Thasia berani bersikap lancang sehingga Jeremy merasa kesal. "Bu Thasia, kalau kamu merasa dirimu pintar, kenapa masih saja suka membuat masalah?"

Thasia merasa bingung, membuat masalah apa?

Mungkinkah karena dirinya telah membuat ibu mertuanya marah?

Atau karena telah melukai wanita yang dia cintai.

Dia menyembunyikan tangannya di selimut, seketika hatinya merasa kecewa. "Lain kali nggak akan lagi."

Setelah bercerai masalah seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Dia tidak akan mengganggu mereka lagi.

"Sudah tahu belum siapa wanita kemarin malam?"

Badan Thasia seketika membeku. "CCTV-nya rusak, jadi masih belum tahu."

Jeremy mengerutkan keningnya, dia menatap Thasia dengan lekat. "Kalau begitu kamu melakukan apa saja di rumah?"

Thasia melirik langit di luar, ternyata sudah gelap.

Dia seharian tidak ke kantor, pria itu pasti berpikir dirinya sengaja bolos untuk bermalas-malasan.

"Aku akan pergi mencari tahu sekarang." Thasia tidak ingin bertele-tele. Setelah dia membayar semua utangnya pada Keluarga Okson, bisa dibilang mereka impas.

Sudah saatnya melupakan perasaan yang dia pendam selama ini.

Thasia segera berdiri, mengambil jaketnya, lalu berjalan menghindari pria itu.

Tanpa kehadiran pria itu di rumah ini, untuk apa dia tinggal lebih lama lagi?

Saat ini dia sudah lelah, dia tidak ingin merasa tertekan lagi.

Jeremy menatapnya, lalu melihat di tangannya juga terdapat luka bakar.

Luka itu kelihatannya lebih parah dari milik Lisa.

Saat Thasia hendak mencapai pintu, dia berkata, "Tunggu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status