Share

Bab 3

Saat menoleh, dia melihat Lisa sedang memakai celemek, di tangannya terdapat sendok sup.

Saat wanita itu melihat Thasia, senyumannya seketika membeku, tapi detik berikutnya dia berkata dengan ramah, "Tamu Bibi, ya? Kebetulan aku membuat supnya cukup banyak, ayo masuk."

Sikapnya sangat lugas seakan-akan dia adalah tuan rumah ini.

Sedangkan Thasia adalah tamu yang datang berkunjung.

Kalau dipikir-pikir, benar juga, gadis itu sebentar lagi akan menjadi tuan rumah di sini.

Thasia mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit tidak senang.

Pernikahannya dan Jeremy disiarkan di seluruh kota, Lisa bahkan sempat mengirimkan kartu ucapan selamat, tidak mungkin gadis ini tidak tahu dirinya adalah istri Jeremy.

Saat Lisa melihat Thasia tidak bergerak, dia segera menarik tangannya. "Jangan sungkan, cepatlah masuk."

Saat Lisa mendekat Thasia bisa mencium aroma bunga melati. Dia ingat tahun lalu saat dia berulang tahun, Jeremy pernah memberikannya parfum dengan aroma yang sama persis dengan aroma ini.

Seketika dia merasa tenggorokannya sakit, napas dan langkahnya menjadi berat, sehingga sulit untuk bergerak.

Yasmin yang melihat Thasia tidak bergerak pun mulai berkata, "Thasia, kenapa diam saja? Ada tamu datang kenapa kamu nggak memberinya minum?"

Thasia menatapnya. Dia tahu dirinya tidak pantas bertanya, tapi dia tetap bertanya, "Ibu kenapa dia bisa ada di sini?"

Yasmin berkata, "Lisa baru pulang, tentu saja dia datang mencariku. Kenapa, memangnya dia nggak boleh ke sini? Lagi pula, aku juga sudah meminta izin dari Jeremy, dia saja nggak keberatan, kenapa kamu yang banyak atur?"

"Bukan begitu." Thasia pun menunduk.

"Ternyata kamu yang bernama Thasia. Saat Kak Jeremy menikah aku nggak melihat foto kalian, jadi aku nggak mengenalimu. Jangan marah, ya."

Thasia menatap gadis itu tersenyum dengan cerah.

Haha.

Mana mungkin Jeremy menunjukkan foto pernikahannya dengan orang lain pada wanita yang dicintainya.

Yasmin saat ini berkata lagi.

"Cepat ambilkan minum."

Thasia mengangguk, dia mengambil teh dari samping.

Saat ini, Lisa dan Yasmin sudah mengobrol di sofa, Yasmin bahkan membantu gadis itu melepaskan celemek. Ibu mertuanya saat ini tersenyum dengan ramah, Thasia tidak pernah melihat tersenyum seperti itu.

Thasia menahan rasa sedih di hatinya sambil mengambilkan minum untuk Lisa.

Lisa pun menyentuh gelasnya sebentar.

Thasia tahu airnya panas, dia takut gadis itu akan kepanasan, jadi dia ingin menyuruhnya jangan sentuh dulu. Siapa sangka Lisa malah membuat teh panas itu tumpah sehingga mengenai tangan Thasia ....

"Aduh."

Thasia meringis kesakitan, tapi dia malah mendengar Lisa berteriak, "Ah ...."

Yasmin yang mendengar teriakannya pun menjadi panik. "Ada apa?"

Lisa pun berkata sambil menahan tangisnya, "Nggak apa-apa, Bibi, dia nggak sengaja."

Melihat tangan Lisa terkena air panas sehingga memerah, ekspresi Yasmin pun berubah, dia segera menoleh menatap Thasia.

Sebuah tamparan langsung mendarat di wajah Thasia.

Thasia tidak percaya Yasmin akan memukulnya.

"Apa yang kamu lakukan, tahu nggak Lisa ini seorang musisi, kalau tangannya kenapa-napa, memangnya kamu bisa ganti rugi?" kata Yasmin dengan nada dingin.

Wajah Thasia terasa perih, tapi hatinya terasa lebih sakit. Dia menoleh, menatap mereka berdua, "Dia yang mengambil gelas itu, apa hubungannya denganku?"

Yasmin pun memelototinya. "Kamu berani menyahut. Seseorang, kurung dia!"

Setelah itu muncul dua orang pembantu, mereka hendak menangkap Thasia.

Wajah Thasia seketika memucat, dia tahu apa yang ingin mereka lakukan, seketika dia pun melawan. "Lepaskan aku!"

Namun, tenaganya terlalu kecil, dia segera diseret oleh pembantu ke dalam ruangan yang gelap.

Begitu Thasia masuk, keadaan di dalam sangat gelap. Dia sempat memukul pintu yang dikunci, lalu terduduk dilantai dengan lemas.

Seketika dia merasa seluruh tenaganya terkuras, tubuhnya mulai bergetar, kedua tangannya memeluk kepala, dia berusaha untuk bertahan di tengah kegelapan itu.

Di ruang tengah, ponsel Thasia terus berdering.

Yasmin saat ini sedang mengurusi luka Lisa. Saat mendengar suara deringan, dia melihat nama Jeremy tertera di atasnya, dia pun segera mengangkat. "Halo, Jeremy."

Di telepon Jeremy berkata dengan terkejut, "Ibu?"

Yasmin berkata, "Ya."

Jeremy terdiam sebentar, tatapannya sedikit menegang. "Di mana Thasia?"

"Di rumah."

Jeremy juga tidak terlalu memikirkannya. "Suruh dia ambilkan dokumenku di laci ruang kerja."

Setelah telepon ditutup, perhatian Lisa sudah fokus pada panggilan itu, dia pun berkata dengan bersemangat, "Bibi, telepon dari Jeremy, ya?"

"Ya." Yasmin berkata, "Dia menyuruh Thasia mengantarkan dokumen. Justru karena dia menjadi sekretarisnya, jadi sekarang malah jadi istrinya."

Seketika tatapan Yasmin jatuh pada Lisa, dia menarik tangannya sambil tersenyum. "Lisa, kalau waktu itu kamu nggak ke luar negeri, Jeremy sudah pasti menikah denganmu, bukan dengan Thasia. Kalau kamu yang menjadi menantuku, kalian pasti sudah punya anak, nggak seperti wanita mandul itu!"

"Bagaimana kalau kamu yang antar dokumen Jeremy."

"Memangnya nggak apa-apa kalau aku yang antar?" tanya Lisa.

"Tentu saja nggak masalah, Jeremy sudah lama nggak bertemu denganmu, dia pasti sangat senang." Yasmin berkata lagi, "Aku bahkan berharap kamu bisa memberiku cucu!"

Lisa pun berkata dengan wajah memerah, "Bibi, jangan berkata seperti ini. Kalau begitu aku antar dokumennya dulu."

Perkataan Yasmin memberikan harapan pada Lisa.

Kakek yang memilih Thasia untuk menikah dengan Jeremy, pernikahan mereka tidak berdasarkan cinta, bahkan setelah bertahun-tahun masih belum punya anak.

Mungkin saja selama ini Jeremy masih menunggunya.

Lisa segera memakai kacamata hitam dan maskernya, lalu naik ke mobil van, melaju meninggalkan rumah Keluarga Okson.

Dia ingin memberikan kejutan pada Jeremy, jadi dia menyuruh orang kantor diam saja.

Jeremy masih menunggu di kantornya. Begitu melihat jam, rapatnya akan segera dimulai, tapi Thasia masih belum datang.

Hingga dia mendengar suara pintu dibuka.

Wajah Jeremy seketika terlihat kesal, dia memutarkan kursinya, tanpa menoleh dia berkata, "Kamu nggak tahu sekarang sudah jam berapa?"

Pihak lawan tidak menjawab.

Jeremy merasa bingung. Saat menoleh, dia malah melihat Lisa berdiri di pintu.

"Jeremy."

Suara Lisa sedikit bergetar, mungkin karena terlalu bersemangat. Pria yang selalu dia rindukan berada di depannya, dia merasa semua ini seperti mimpi.

Jeremy juga terkejut, dia segera mengalihkan tatapannya. "Kenapa kamu yang ke sini?"

Lisa berkata, "Aku hari ini pergi melihat bibi."

Jeremy mengerutkan keningnya, dia berkata dengan datar, "Siapa yang mengizinkanmu ke sana?"

Mendengar ini Lisa pun tersenyum dengan canggung, hatinya merasa sedikit sakit, seakan-akan dia tidak seharusnya ke sana.

Lisa berusaha menenangkan dirinya, dia menunduk sambil berkata, "Begitu kembali tentu saja aku harus pergi menemui Bibi. Aku ke sini untuk mengantarkan barangmu."

Dia dengan hati-hati menguji sikap pria itu, mengeluarkan dokumen dari tasnya.

Jeremy meliriknya sebentar. Dokumen itu seharusnya berada di tangan Thasia, sekarang malah berada di tangan gadis ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status