Share

Bab 2

Mendengar ini Thasia hampir terjatuh karena terkejut.

Tubuhnya pun bersandar pada pria itu.

Saat Jeremy merasa Thasia hampir terjatuh, tangannya langsung melingkar di pinggangnya.

Kehangatan tubuh pria itu seketika mengingatkannya pada pergulatan mereka semalam.

Thasia segera menenangkan dirinya. Dia mendongak, menatap sepasang mata gelap pria itu.

Tatapan pria itu begitu serius, ada kebingungan dan keraguan, seakan-akan bisa membaca isi pikiran Thasia.

Jantung Thasia berdetak kencang.

Dia segera menghindari tatapan pria itu dengan menundukkan kepalanya.

Barusan saat Jeremy berpikir pasangannya semalam adalah wanita panggilannya tadi, pria itu sudah mengamuk, kalau Thasia mengakuinya, bukannya dirinya akan berakhir dengan mengerikan.

Dia tidak terima.

Namun, kalau Jeremy tahu bahwa wanita semalam adalah dirinya, apakah pernikahan mereka masih bisa dipertahankan?

Thasia tidak berani menatap matanya. "Kenapa bertanya seperti itu?"

Hanya Thasia yang tahu bahwa dirinya sangat penasaran pada jawabannya.

Tiba-tiba Jeremy tertawa. "Kamu nggak akan berani."

Tangan Thasia membeku, matanya pun melirik ke bawah.

Jeremy sangat berharap pasangannya semalam bukan Thasia, bagaimanapun, mereka hanya menikah karena kontrak.

Apalagi kontrak mereka beberapa hari lagi akan berakhir.

Tiba-tiba Jeremy menggenggam tangannya.

Jantung Thasia berdetak kencang. Dia mendongak, bertemu sepasang mata yang menatapnya dengan curiga.

Jantung Thasia berdetak dengan lebih kencang lagi.

Dia ingin menarik tangannya kembali, tapi detik berikutnya, Jeremy mendorong tubuhnya hingga menempel ke kaca.

"Apa yang ingin kamu lakukan?"

Thasia berpura-pura tenang, tapi suaranya yang bergetar menunjukkan bahwa dia sedang gugup.

"Kamu serius tidur di kantor?"

Thasia menatap sepasang mata pria itu yang gelap. Mungkinkah dia mencurigainya?

Seketika teringat saat malam pernikahan mereka, Thasia mengira pria ini juga bersedia menikahinya. Saat dia berpikir untuk menggandeng pria itu, Jeremy hanya berdiri diam di tempatnya.

Pria itu berkata.

"Thasia, aku menikahimu hanya karena permintaan Kakek saja. Tiga tahun lagi kita akan berpisah, selama periode waktu ini jangan menyentuhku, kalau nggak kamu pasti tahu bagaimana caraku memberi pelajaran pada orang."

Pria itu tidak ingin disentuh olehnya, karena di hatinya terdapat wanita lain.

Pria itu berpikir menyentuh wanita lain sama saja dengan mengkhianati Lisa, kalau pria itu tahu semalam adalah dirinya, dia pasti akan dibunuh!

Tatapan Thasia pun bergerak ke bawah. ".... Hmm."

Seketika tangan Jeremy menyentuh leher Thasia, terus bergerak ke bawah hingga ke kancing ketiga kemejanya. Saat tekanannya mengencang, muncul tanda merah di sana.

"Kancingmu salah."

Thasia pun melirik tangan pria itu, baru dia menyadari kancingannya ada yang salah.

Thasia pun merasa terkejut, dia segera menepis tangan pria itu, lalu membenarkan kancingnya. "Maaf, terjadi kesalahan pada pakaianku. Lain kali aku akan lebih memperhatikannya."

Jeremy seketika merasa kesal, seketika dia mendorong wanita itu, membuat jarak di antara mereka.

Jeremy membelakanginya, merapikan bajunya sendiri. "Lain kali jangan sampai terjadi kesalahan kecil seperti ini lagi."

Thasia menatap lantai, dia merasa hatinya seperti diremas oleh sesuatu.

Pria itu tidak mengizinkan Thasia berbuat salah, tapi bagaimana dengan dia sendiri?

Jeremy segera menoleh ke arahnya. "Kenapa masih diam di sana? Kamu nggak menyiapkan bahan rapat?"

Dia hanya bisa melihat Thasia menunduk, wajahnya tidak terlihat.

"Jeremy, Lisa telah kembali."

Mata Jeremy seketika menegang. Dalam tiga tahun ini, baru pertama kalinya Thasia memanggil namanya secara langsung tanpa embel-embel.

Thasia menoleh ke arahnya, air matanya sudah berhasil dia tahan. Kemudian dia berbicara dengan nada profesional, "Sudah saatnya kita bercerai."

Mendengar ini, urat di tangan Jeremy segera muncul, ekspresinya terlihat kesal. "Thasia, saat ini sedang jam kerja, kerjakan apa yang seharusnya kamu kerjakan."

Setelah itu, dia segera berbalik dan melangkah pergi.

Thasia menatap punggungnya yang menjauh, seketika dia merasa napasnya menjadi sulit.

Pria itu bisa dibilang menerimanya, bukan?

Seketika dia merasa ada sesuatu yang hangat di punggungnya tangannya, saat menunduk ternyata air matanya yang jatuh ke sana.

Pada akhirnya dia tetap menangis.

Namun, pria itu benar, dirinya tetap harus bekerja, karena dia adalah sekretaris pria itu.

Dokumen untuk rapat masih ada di rumah, jadi dia harus pulang dulu.

Sekalian dia akan membawa surat cerai yang sudah dia siapkan tiga tahun yang lalu.

...

Kantor CEO PT Okson.

Jeremy sedang bersandar di kursi kebesarannya dengan tatapan dingin.

Saat itu terdengar suara ketukan di pintu. Asistennya, Tony berjalan masuk.

"Pak Jeremy, aku sudah memeriksanya. Kemarin malam Thasia memang tidur di kantor."

Mendengar ini tatapan Jeremy menjadi lebih mengerikan.

"Selain itu, Nona Lisa semalam juga pergi ke hotel tempat Anda menginap, dia sempat menanyakan kamar Anda pada resepsionis."

Pada saat yang sama.

Thasia sudah sampai ke rumah Keluarga Okson. Begitu dia masuk, suara nyaring Yasmin Okson sudah terdengar. "Bukannya kerja untuk apa kamu pulang? Keluarga Okson nggak suka orang nganggur, apalagi wanita mandul sepertimu."

Thasia sudah biasa disindir oleh ibu mertuanya.

Hanya saja, masalah anak bukan hanya keputusannya seorang.

Sebenarnya ada bagusnya juga dia cerai, dengan begitu dia tidak perlu pusing disindir terus oleh ibu mertuanya karena belum melahirkan anak.

Juga tidak perlu meminum obat subur lagi, obat itu pahit sekali.

Thasia menjawabnya dengan sopan, "Aku pulang untuk mengambil dokumen Pak Jeremy."

"Kalau dokumen penting seharusnya dari awal sudah disiapkan dulu, kamu sengaja bolos dengan alasan mengambil dokumen, ya? Jangan lupa, kamu berutang pada keluarga kami sebesar 20 miliar! Walau kamu bekerja di tempat putraku seumur hidup pun, kamu nggak akan bisa membayarnya! Jangan berpikir untuk curang!"

Thasia menunduk, dia merasa hatinya sangat sakit.

Mana mungkin dia lupa bahwa Kakek Okson pernah membantu membayar utang orang tuanya sebesar 20 miliar, baru muncullah persyaratan Jeremy harus menikah dengannya.

Jadi saat tadi dia berkata tentang cerai, pria itu pun merasa biasa saja, hanya menyuruhnya kerja dengan benar.

Bagi Jeremy, walau kontrak pernikahan mereka sudah selesai, dia tetap harus bekerja untuk membayar utangnya.

"Ibu tenang saja, aku pasti akan membayar utang itu. Setelah mengambil dokumennya, aku akan segera pergi, ini agak mendesak."

Setelah itu, Thasia hendak pergi ke ruang kerja Jeremy.

"Aku belum menyuruhmu pergi kamu sudah mau pergi, dasar tak tahu sopan santun. Kebetulan ada hal yang ingin aku tanyakan padamu."

"Ada apa?"

"Kamu bulan ini sudah ke dokter belum? Sudah ada kabar hamil belum?"

"Aku dan Jeremy sedang banyak kerjaan, kami masih belum memikirkan hal ini. Kalau nanti ada waktu, kami pasti akan berusaha."

Seketika ekspresi Yasmin berubah, dia pun marah-marah, "Aku sudah mendengar alasanmu ini berulang kali, kalau kamu nggak bisa hamil, maka bercerai saja dengan Jeremy!"

Seketika wajah Thasia memucat. Meski saat malam pernikahan dia sudah tahu suatu saat akan bercerai, dia tetap ingin bertanya dengan jelas dulu.

"Apakah Jeremy yang ingin bercerai?"

"Kalau nggak, siapa lagi?" jawab Yasmin.

Wajah Thasia seketika menjadi lebih pucat lagi.

"Bibi, sup ayam kesukaanmu sudah matang, cobalah." Saat itu juga suara seorang wanita memecahkan suasana di antara mereka.

Saat Thasia mendengar suara ini tubuhnya pun menegang, darah di tubuhnya seketika berhenti mengalir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status