Share

CEO Jeremy Ditinggalkan oleh Istrinya yang Hamil
CEO Jeremy Ditinggalkan oleh Istrinya yang Hamil
Penulis: Tanpa Kebimbangan

Bab 1

Di sebuah kamar hotel yang berantakan.

Saat Thasia terbangun seluruh badannya terasa nyeri.

Dia mengucek matanya. Saat dia hendak bangun, dia melihat seseorang sedang berbaring di sebelahnya.

Seorang pria dengan wajah yang tampan dan menawan.

Pria itu masih belum bangun, juga tidak terlihat akan bangun.

Thasia segera terduduk. Selimut di tubuhnya merosot ke bawah, memperlihatkan pundaknya yang putih penuh dengan tanda semalam.

Dia pun segera turun dari ranjang. Di atas ranjang terlihat jelas noda darah yang mencolok.

Setelah melihat jam, ternyata sudah hampir jam masuk kerja, dia pun segera mengambil baju kerjanya yang berantakan dan memakainya.

Stoking yang dia pakai semalam sudah dirobek oleh pria itu.

Dia pun meremasnya menjadi sebuah bola, melemparnya ke dalam tong sampah, lalu memakai sepatu hak tingginya.

Saat itu ada orang yang mengetuk pintu.

Thasia sudah berpakaian rapi, kembali ke penampilannya sebagai seorang sekretaris. Dia segera mengambil tasnya dan berjalan keluar.

Orang yang mengetuk pintu itu adalah seorang wanita cantik.

Dia yang memanggil wanita ini.

Tipe wanita yang disukai Jeremy.

Thasia berkata, "Kamu hanya perlu berbaring di ranjang menunggu Pak Jeremy bangun, sisanya kamu nggak perlu mengatakan apa pun."

Thasia menoleh menatap pria di atas ranjang yang masih tertidur pulas rasa sakit di tubuhnya seketika melanda, tapi dia tetap berjalan keluar kamar.

Thasia tidak ingin Jeremy tahu bahwa mereka baru saja menghabiskan malam bersama.

Karena dalam perjanjian pernikahan mereka, setelah tiga tahun mereka akan bercerai.

Dalam masa waktu itu, mereka tidak boleh melakukan hal yang melanggar kontrak.

Dia sudah menjadi sekretaris Jeremy selama tujuh tahun, menjadi istrinya selama tiga tahun.

Setelah lulus, dia selalu berada di sisi pria itu.

Waktu itu, Jeremy sudah mengingatkannya bahwa hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan saja.

Tidak boleh lebih dari itu.

Thasia berdiri di jendela lorong, dia masih memikirkan kejadian kemarin, pria itu memeluknya di ranjang sambil menyebutkan nama "Lisa".

Seketika hatinya terasa sakit.

Lisa adalah cinta pertama pria itu.

Pria itu menganggap dirinya sebagai Lisa kemarin.

Thasia cukup mengenal Jeremy, pria itu tidak ingin ada sesuatu di antara mereka.

Selama ini, hanya Thasia yang berusaha dalam pernikahan ini, sudah waktunya untuk mengakhirinya.

Kejadian kemarin malam anggap saja sebagai kenang-kenangan terakhir di antara mereka.

Thasia mengeluarkan ponselnya, melihat sebuah judul berita baru: Musisi pendatang baru, Lisa Stanfil telah kembali mencari tunangannya!

Thasia memegang ponselnya dengan lebih erat, rasa sakit di hatinya semakin terasa, hidungnya pun memerah.

Akhirnya dia tahu kenapa Jeremy semalam bisa mabuk, kenapa pria itu bisa menangis di pelukannya.

Angin menerpa tubuh Thasia, dia tersenyum dengan pahit, menyimpan ponselnya sekalian mengeluarkan rokok dari tasnya.

Kedua jarinya menjepit batang rokok yang menyala, asap rokok membuat wajah cantik Thasia terlihat buram.

Saat ini, Rina berlari ke arahnya, dengan napas tersengal-sengal berkata, "Kak Thasia, jas Pak Jeremy sudah sampai, aku akan membawanya ke dalam."

Pikiran Thasia pun terpotong, dia segera menoleh.

Dia meliriknya sebentar. "Tunggu."

Rina segera berhenti. "Ada apa Kak Thasia?"

"Dia nggak suka warna biru, ganti warna hitam. Di dasinya masih ada kerutan, suruh setrika lagi, ingat jangan ada kerutan. Lalu jangan pakai plastik, dia nggak suka suara plastik, antar saja sekali dengan gantungannya." Thasia sudah seperti pelayan pribadinya Jeremy, dia mengingat semua kebiasaan pria itu, selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah salah.

Rina pun tercengang. Dia sudah bekerja di sini selama tiga bulan, melihat wajah Pak Jeremy yang begitu datar saja dia sudah takut.

Hari ini dia hampir saja terkena masalah besar.

Rina pun segera pergi menggantinya. "Terima kasih Kak Thasia."

Tiba-tiba sebuah suara dari dalam kamar terdengar. "Pergi sana!"

Kemudian terdengar suara wanita berteriak.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka.

Rina menunduk dengan mata memerah.

Dia diomeli.

Selain itu, kali ini Pak Jeremy benar-benar mengamuk.

Rina menatap Thasia dengan tatapan memohon pertolongan. "Kak Thasia, Pak Jeremy menyuruhmu masuk."

Thasia melihat ke arah pintu yang terbuka, dia juga takut dirinya tidak bisa mengatasi pria itu. "Pergilah."

Dia mematikan rokoknya di asbak, lalu langsung masuk ke kamar.

Dari pintu dia sudah bisa melihat pemandangan di dalam, barang-barang di sekitar Jeremy semuanya berantakan.

Lampu yang pecah, pecahan sebuah kaca, serta ponsel yang bergetar.

Wanita di dalam tidak berani bergerak, dengan tubuh yang masih telanjang bulat dia tidak tahu harus melangkah ke mana, tatapan matanya terlihat ketakutan.

Jeremy masih duduk di atas ranjang dengan wajah masamnya, tubuhnya sungguh indah, otot-ototnya memiliki potongan yang jelas, dadanya lebar, serta terdapat garis yang samar-samar terlihat memanjang ke arah dalam selimut.

Memang terlihat menggoda, hanya saja sepasang matanya yang gelap itu menunjukkan kobaran api yang menakutkan.

Thasia melangkah ke depan, dia mengangkat lampu yang terjatuh, lalu mengambil segelas air dan meletakkannya di meja sisi ranjang. "Pak Jeremy, jam setengah sepuluh Anda ada rapat, sudah waktunya Anda bangun."

Mata Jeremy melirik wanita yang dipanggil Thasia.

Seakan-akan dia masih tidak percaya.

Thasia pun baru tersadar, dia berkata pada wanita itu, "Sana keluar."

Wanita itu kelihatannya merasa lega, dia pun segera keluar tanpa menoleh ke belakang.

Seketika suasana menjadi hening.

Jeremy melirik wajah Thasia.

Thasia dengan lugas menyerahkan segelas air pada Jeremy, kemudian meletakkan baju bersih di sisi ranjang. "Pak Jeremy, ini baju Anda."

Jeremy terdiam, sorot matanya terlihat tidak senang, dia pun berkata, "Ke mana kamu semalam?"

Thasia tertegun. Mungkinkah pria ini menyalahkan dirinya karena tidak menjaganya, sehingga membiarkan wanita lain memanfaatkan keadaan itu, lalu Jeremy merasa bersalah pada Lisa?

Thasia pun meliriknya. "Anda semalam mabuk sehingga melakukan hal seperti itu. Kita semua sama-sama sudah dewasa, seharusnya hal seperti itu nggak perlu dipikirkan."

Nadanya yang datar ini seakan-akan menyuruh Jeremy tenang, dia tidak akan membiarkan para wanita itu mengganggunya.

Jeremy menatapnya, urat di kepalanya sedikit menonjol. "Aku tanya sekali lagi, ke mana kamu semalam?"

Thasia merasa sedikit gugup. "Akhir-akhir ini banyak kerjaan, jadi aku ketiduran di kantor."

Setelah itu dia mendengar Jeremy mendengus.

Wajah Jeremy terlihat dingin, bibirnya tertutup rapat. Pria itu melangkah turun sambil menarik handuk untuk menutupi tubuhnya.

Ketika Thasia melihat punggung pria itu yang menjauhinya, matanya mulai berkaca-kaca.

Pria itu selalu menutup diri darinya, seakan-akan merasa jijik kalau terlihat olehnya.

Semalam saat pria itu berpikir dirinya adalah Lisa, jadi dia tidak seperti itu.

Saat Thasia sadar dari lamunannya, Jeremy sudah selesai mandi dan berjalan ke depan cermin.

Thasia berjalan mendekat, lalu seperti biasa mengancingkan bajunya.

Tinggi pria itu mencapai 188 cm, meski tinggi Thasia 168 cm, saat memakaikan dasinya masih terasa sedikit sulit.

Pria itu sepertinya masih merasa bersalah pada Lisa dan marah karena tubuhnya telah dinodai, jadi dia tidak mau menunduk sedikit.

Thasia hanya bisa berjinjit untuk memakaikannya dasi.

Saat dia sedang fokus memakaikan dasi, napas Jeremy yang masih bercampur dengan aroma alkohol berembus di telinganya. Kemudian pria itu berkata dengan suara serak, "Thasia, wanita semalam itu kamu, bukan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status