Dinara keluar dari ruang HRD dengan senyum lebar, ia langsung memeluk Nada saat tahu dirinya diterima di perusahaan.
"Ayo kita langsung kerja saja, Din. Aku kenalkan Bu Lina, atasan kita," ucap Nada sambil menggandeng tangan Dinara. "Eh, aku langsung kerja hari ini?" Dinara mengehentikan langkah yang membuat Nada langsung berbalik badan. "Kata HRD tadi bagaimana?" "Nggak bilang apa-apa, sih. Suruh tanya atasan gitu," jawab Dinara. "Tapi aku belum pamit sama Azka, Nad. Nanti kalau dia nyariin bagaimana? Terus kalau suami dan mertuaku marah ... aku takut nggak dibolehin keluar lagi besok," imbuhnya. Wanita berambut sebahu itu mengelus lembut lengan Dinara sambil memasang senyum manis. "Sudah, nggak usah khawatir. Yang penting kita ketemu Bu Lina dulu, beliau bisa ngerti kok masalahmu." Kedua wanita itu menghadap seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, kali ini Bu Lina mengizinkan Dinara pulang jam dua belas siang, baru besok bisa bekerja sampai jam lima sore. "Tugas kamu di lantai bawah, dan sementara shift pagi dulu. Kalau sudah tiga bulan, baru bisa oper shift," kata Bu Lina. "Baik, Bu," sahut Dinara sambil mengangguk hormat. Dinara langsung mengambil alat kebersihan dan ditemani oleh Nada, dua wanita itu sama-sama mengerjakan tugas mereka dengan baik. Hingga tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas, Dinara pamit pulang dan langsung menuju sekolahan putranya. "Tumben mama jemput?" tanya Azka. "Tapi aku senang, biasanya aku selalu pulang sendiri." "Mama baru pulang kerja, Azka, hari ini masih bisa jemput. Kalau besok mama kerja sampai sore, kamu di rumah yang nurut sama nenek," kata Dinara. Meskipun Yuyun sering julid kepada menantunya, tetapi sayang sekali kepada cucunya. Bahkan Yuyun kerap memberi uang saku lebih kepada Azka, meskipun uang itu juga didapatkan dari Dinara. Anak laki-laki itu mengernyit. "Kenapa harus kerja? Bukannya ada papa yang sudah mencarikan kita uang?" "Mama ingin memberi kamu yang lebih banyak, Nak. Ini juga untuk kehidupan kamu yang lebih layak." Dinara berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang putra. "Tidak apa-apa, ya, Nak. Mama janji setiap malam selalu menemani kamu tidur, mama tidak akan membiarkan kamu kekurangan kasih sayang mama." Azka mengangguk mendengar penjelasan panjang lebar mamanya. Anak laki-laki itu mencoba mengerti keadaan mamanya, meskipun sebenernya ia ingin protes dan melarang sang mama bekerja. 'Aku kasihan sama mama, aku nggak mau mama capek. Semoga Tuhan selalu menjaga mama,' batin Azka, meranggas di dalam hatinya. • Hari berganti malam, Dinara menyetrika baju yang akan ia gunakan besok. Tadi Bu Lina sudah memberikan seragam. Meskipun hanya sebagai office girl, tetapi Dinara ingin menghormati pekerjaannya. "Malam-malam nyetrika, bikin boros listrik!" kata Reno saat baru saja memasuki kamar. Dinara tidak menjawab, ia tetap meneruskan kegiatannya. "Pantas saja listrik kemarin naik, ternyata kamu boros banget," ucap pria itu lagi. Ia semakin geram saat Dinara dian membisu, tatapan matanya tertuju pada kain yang disetrika. Reno semakin mengerutkan kening melihat istrinya menyetrika sebuah seragam. "Seragam siapa, tuh?" tanya Reno dengan mata memicing. "Seragamku. Aku tadi melamar kerja dan langsung diterima, mulai besok aku kerja sampai sore," jawab Dinara. Reno terkekeh mendengarnya. "Nah, begitu seharusnya dari dulu. Kamu cari kerja, bukaannya hanya membebaniku saja." Wanita itu hanya bisa mendengus lirih, ia sudah menduga suaminya tidak akan peduli. "Tapi jangan sampai kewajiban kamu sebagai istri terlupakan. Kamu tetap harus masak, beres-beres, mengurus semua keperluanku dan Azka. Kalau kamu sampai lalai, lebih baik keluar saja dari kerjaan." Dinara mengehentikan gerakan tangannya, ingin sekali menempelkan setrika panas itu ke mulut Reno. "Kamu juga harus jaga pandangan di luar sana, jangan macam-macam sama laki-laki lain. Selesai bekerja harus langsung pulang dan nemenin Ibu di rumah," ucap Reno. Dinara mencabut colokan dan lekas berbalik badan, napasnya kembang-kempis menatap suaminya yang tidak tahu malu itu. "Kamu saja kerja nggak pernah bantu-bantu di rumah, seharusnya kita sama. Ngapain aku harus mikirin kerjaan rumah?" tanya Dinara dengan mata melotot. Suaminya ini memang tidak tahu diri, membuat keputusan sesukanya tanpa memikirkan perasaan istrinya. "Kodrat perempuan, ya, begitu. Kamu mau jadi istri durhaka karena nggak nurut sama suami? Kamu mau masuk neraka?!" sentak Reno. "Kecilkan nada bicaramu, Mas. Jangan sampai anakku terbangun," desis wanita itu. "Aku kasih pengertian, ya, karena kamu nggak paham-paham. Kodrat perempuan itu haid, melahirkan dan menyusui. Selain itu laki-laki pun bisa mengerjakannya, apa susahnya kita berbagi tugas rumah tangga?" Dinara membuang pandangannya ke samping, sesak sekali bertatapan dengan pria yang menjadi suaminya itu. "Toh selama ini aku juga jualan online, cari uang bantu-bantu kamu tapi nggak pernah protes. Saat aku bisa menjalankan kodrat laki-laki yang seharusnya mencari nafkah, kenapa kamu nggak bisa melakukan ... yang katamu kodratku beres-beres tadi?" tanyanya. "Kalau memang kodratku hanya mengurus rumah, kenapa kamu membiarkanku bekerja?" tanya Dinara sambil menatap tajam ke dalam manik hitam itu. "Perempuan selalu diberatkan. Nggak kerja dikata boros dan memeras suami, kerja tapi banyak aturannya. Kenapa laki-laki nggak mau mengerti dengan membantu pekerjaan rumah? Bukan melimpahkan semuanya kepada perempuan, memangnya kami dinikahi untuk apa sebenarnya? Teman hidup atau teman kerja?!" imbuhnya. "Ak—" "Diam, Din!" Reno memotong ucapan istrinya dengan cepat. "Keluar saja dari kerjaanmu kalau protes terus. Lagian aku yakin gajimu nggak seberapa," lanjutnya dengan seringai senyum di ujung bibir. "Halah, sok-sokan nyuruh berhenti. Kamu saja ngasih uang cuma dua puluh ribu sehari, mana cukup?! Lebih baik aku kerja, nyari duit buat aku dan anakku," sahut Dinara yang tidak kalah sinisnya. "Kalau gitu nggak usah banyak bacot.!" Dinara kembali naik pitam. Reno benar-benar kejam menurutnya, ada istri marah bukannya ditenangkan malah bara kemarahan itu disiram bensin. Niatnya tadi bukan mengajak berdebat, hanya memberi pengertian tentang kodrat istri dan kodrat suami. Namun, otak kotor suaminya malah menangkap hal lain. Wanita itu menarik napas dalam, ia harus menyetok banyak kesabaran agar tenisnya tidak naik. Di kulkas masih ada timun, ia melenggang pergi dari hadapan suaminya tanpa mengatakan apapun. "Dasar laki-laki gila! Nyesel aku dulu nikah dan milih ninggalin kantor, padahal aku mau diangkat jadi karyawan tetap. Huh ... padahal dulu Reno janji memenuhi semua kebutuhanku dan nggak akan buat aku sengsara, tapi nyatanya itu hanya bertahan beberapa bulan. Sisanya ... aku cari uang sendiri kalau mau beli apa-apa. Huh, kalau nggak ada Azka, aku mending cerai saja!" gerutu Dinara sepanjang langkah menuju dapur. Tangannya membuka pintu kulkas, ia mengambil timun dan langsung memakannya dengan brutal. "Lihat saja, aku akan boyong Azka pergi. Aku tidak sudi tinggal di neraka ini," gumam Dinara, tanpa sadar ia meremas timun hingga terbelah jadi dua saking emosinya."Sudah matang semua, Din? Tumben jam enam sudah siap semua?" tanya Yuyun yang baru saja keluar kamar."Mulai hari aku kerja, Bu. Nanti pulangnya jam lima sore."Sebuah senyum terukir lebar di bibir keriput itu, kedua matanya mendelik sempurna."Nah ... gitu, dong. Sebagai perempuan harus kerja, jangan berpangku tangan kepada laki-laki. Ibu bangga kalau kamu kerja, nanti jangan lupa kasih ibu uang bulanan, ya."Helaan napas kasar terdengar dari mulut Dinara, belum juga gajian sudah ditodong uang bulanan. Padahal Yuyun selalu mendapat jatah dari Reno.Dinara melenggang pergi menuju kamarnya, ia melihat Azka yang sudah berpakaian rapi. Putranya selalu rajin, di usia tujuh tahun sudah bisa mengurus keperluannya sendiri."Nanti mama pulang sore, ya, Sayang," ucap Dinara."Iya, Ma."Wanita itu mengangguk. "Sekarang kamu sarapan saja, nanti mama antar sekalian mama berangkat kerja."Azka bergegas menuju dapur, sementara ia langsung memakai seragamnya dan berdandan tipis. Dinara tidak peduli
Dinara baru pulang saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, ia harus lembur kerena kedatangan petinggi perusahaan hari ini."Baru pulang?" tanya Reno saat melihat istrinya baru masuk rumah.Pria itu melipat kedua tangan di depan dada, tubuhnya bersandar di pintu kamar. Kilatan matanya menatap remeh ke arah Dinara, tanpa peduli wajah lelah sang istri."Katanya sampai jam lima saja? Ini, kok, jam tujuh baru pulang? Jangan-jangan kamu ketemuan sama cowok, ya?""Jaga mulutmu, Mas! Hari ini aku lembur karena petinggi perusahaan datang, kamu nggak tahu apa-apa jangan nuduh sembarangan," sanggah Dinara.Reno menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya apa kepentingan petinggi perusahaan sama kamu? Kamu 'kan hanya office girl.""Lalu siapa yang nyiapin makanan dan minuman? Kamu kira staf lain?!" sahut Dinara yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya.Membuat Reno membelalak kaget. "Baru kerja sehari saja sudah berani bentak-bentak suami. Memang nggak ada adab kamu, Din. Kalau dengan bekerja malah mem
"Aku dipaksa nikah sama papa dan mama, demi dapetin warisannya kakek. Mau menikah sama siapa?! Calon saja nggak punya, sedangkan aku hanya dikasih waktu satu minggu," ucap Gerald, kepada sahabatnya yang ada di seberang telepon.Pria itu berdiri di balkon sambil tangannya memegang segelas wine, kepalanya mendadak pusing memikirkan desakan orang tuanya."Ashley?" tanya Jacob, pria yang sudah menemani Gerald sejak kecil."Dia belum siap menikah. Lagipula ... bagaimana aku bisa mencari wanita lain kalau masih mencintai Ashley? Aku tidak yakin bisa menyukai wanita lain, hanya Ashley yang aku pikirkan setiap hari." Gerald meracau setelah menghabiskan satu botol wine, membuat Jacob hanya bisa menghela napas kasar."Carilah wanita lain, Gerald. Masalah perasaan bisa dipaksa, apalagi sekarang sudah nggak asing sama pernikahan kontrak. Yang penting kamu bisa klaim warisannya, urusan pernikahanmu biar dipikirkan sambil jalan," saran Jacob."Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi keluargaku
Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari."Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi."Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak.""Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara.Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk.Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah.Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang."Enak banget!" pekik Azka.Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang mel
"Tumben pagi-pagi sudah matang?" tanya Reno yang baru saja masuk dapur, semua makanan sudah tertata di meja."Aku ada kerjaan, diajak Bosku nanti. Sama temen-temenku juga."Pria itu mengernyit heran. "Office girl diajak Bos? Kamu nggak menggoda biar diajak 'kan?"Dinara menghentikan gerakan tangan yang tengah memasukkan makan siang ke kotak bekal, kilatan matanya menatap nyalang ke depan."Aku bukan wanita seperti itu.""Ya, bisa saja 'kan? Jaman sekarang banyak wanita nggak tahu malu, menggoda atasan untuk mendapatkan jabatan," ujar Reno."Ngomong apa, sih, Mas? Nggak bisa, ya, sehari saja nggak nuduh-nuduh aku? Oh, iya ... bukannya yang suka menuduh itu malah yang melakukan, ya?" sindir Dinara."Apa maksudmu?!" ketus pria itu dengan mata melotot."Kamu menuduhku, berarti kamu punya pengalaman dengan itu. Atau jangan-jangan ... kamu juga digoda stafmu dan uangmu diporoti, ya? Makanya jatah bulananku sering tidak diberikan!" netra cantik itu melirik ke arah Reno, Dinara tidak peduli m
Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara."Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu."Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut."Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald."Bak, Pak. Saya akan melakukannya."Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati.""Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya,
Dinara tiba di rumah dan langsung memasak, wanita itu tidak terlalu fokus saat memasukkan bumbu karena masih memikirkan ucapan Nada tadi. "Bagaimana cara mengumpulkan bukti perselingkuhan? Ponselnya Mas Reno dikunci, aku nggak bisa buka sesukanya," batin Dinara.Terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak sadar ikannya gosong. Baunya menyeruak ke seluruh dapur hingga rumah, membuat Yuyun yang tengah bersantai di depan televisi beranjak ke dapur."Ya ampun, Dinara ... kamu ini mau masak atau bakar dapur?!" Dinara gelagapan mendengar teriakan mertuanya, tangannya segera mematikan kompor dan mengangkat dua ekor ikan yang tampak mengenaskan. "Sudah tahu harga gas naik, malah dibuang-buang! Minyaknya juga gosong, nggak enak kalau buat masak lagi. Kamu ini bisanya cuma boros, belum gajian sudah menghabiskan bahan dapur. Pasti besok akan minta uang anakku buat beli bahan-bahan yang kamu buang ini!" ketus wanita paruh baya itu.Yuyun mengambil sendok dan mencicipi tumis kangkung yang terliha
Gerald datang ke kantor pagi-pagi sekali, sengaja karena ingin menunggu Dinara. Pria itu berencana meluapkan kekesalannya, kepalanya masih berdenyut memikirkan desakan orang tuanya yang semakin hari semakin tidak masuk akal."Nah, itu dia!" pekiknya saat melihat Dinara keluar dari lift karyawan.Kedua tangannya penuh dengan alat pel, kain lap tersampir di pundaknya.Namun, bukannya ilfeel, Gerald malah semakin kagum dengan Dinara. Apalagi saat Dinara menguncir rambutnya ke belakang, leher jenjang nan putih itu membuat mata Gerald tidak bisa berkedip."Kamu terlambat, harus menerima hukuman," celetuknya yang jelas saja membuat Dinara kaget.Dinara melihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sedangkan jam kerjanya dimulai jam tujuh. Bagaimana bisa dikatakan terlambat? Padahal absennya saja lebih pagi dari jam masuk."Maaf, Pak. Setahu saya, saya mulai bekerja jam tujuh. Dan sekarang masih jam tujuh kurang, saya juga sudah absen di bawah. Jadi, saya tidak bisa
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah