Share

Perdebatan

Dinara keluar dari ruang HRD dengan senyum lebar, ia langsung memeluk Nada saat tahu dirinya diterima di perusahaan.

"Ayo kita langsung kerja saja, Din. Aku kenalkan Bu Lina, atasan kita," ucap Nada sambil menggandeng tangan Dinara.

"Eh, aku langsung kerja hari ini?" Dinara mengehentikan langkah yang membuat Nada langsung berbalik badan.

"Kata HRD tadi bagaimana?"

"Nggak bilang apa-apa, sih. Suruh tanya atasan gitu," jawab Dinara. "Tapi aku belum pamit sama Azka, Nad. Nanti kalau dia nyariin bagaimana? Terus kalau suami dan mertuaku marah ... aku takut nggak dibolehin keluar lagi besok," imbuhnya.

Wanita berambut sebahu itu mengelus lembut lengan Dinara sambil memasang senyum manis. "Sudah, nggak usah khawatir. Yang penting kita ketemu Bu Lina dulu, beliau bisa ngerti kok masalahmu."

Kedua wanita itu menghadap seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, kali ini Bu Lina mengizinkan Dinara pulang jam dua belas siang, baru besok bisa bekerja sampai jam lima sore.

"Tugas kamu di lantai bawah, dan sementara shift pagi dulu. Kalau sudah tiga bulan, baru bisa oper shift," kata Bu Lina.

"Baik, Bu," sahut Dinara sambil mengangguk hormat.

Dinara langsung mengambil alat kebersihan dan ditemani oleh Nada, dua wanita itu sama-sama mengerjakan tugas mereka dengan baik. Hingga tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas, Dinara pamit pulang dan langsung menuju sekolahan putranya.

"Tumben mama jemput?" tanya Azka. "Tapi aku senang, biasanya aku selalu pulang sendiri."

"Mama baru pulang kerja, Azka, hari ini masih bisa jemput. Kalau besok mama kerja sampai sore, kamu di rumah yang nurut sama nenek," kata Dinara.

Meskipun Yuyun sering julid kepada menantunya, tetapi sayang sekali kepada cucunya. Bahkan Yuyun kerap memberi uang saku lebih kepada Azka, meskipun uang itu juga didapatkan dari Dinara.

Anak laki-laki itu mengernyit. "Kenapa harus kerja? Bukannya ada papa yang sudah mencarikan kita uang?"

"Mama ingin memberi kamu yang lebih banyak, Nak. Ini juga untuk kehidupan kamu yang lebih layak." Dinara berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang putra. "Tidak apa-apa, ya, Nak. Mama janji setiap malam selalu menemani kamu tidur, mama tidak akan membiarkan kamu kekurangan kasih sayang mama."

Azka mengangguk mendengar penjelasan panjang lebar mamanya. Anak laki-laki itu mencoba mengerti keadaan mamanya, meskipun sebenernya ia ingin protes dan melarang sang mama bekerja.

'Aku kasihan sama mama, aku nggak mau mama capek. Semoga Tuhan selalu menjaga mama,' batin Azka, meranggas di dalam hatinya.

Hari berganti malam, Dinara menyetrika baju yang akan ia gunakan besok. Tadi Bu Lina sudah memberikan seragam. Meskipun hanya sebagai office girl, tetapi Dinara ingin menghormati pekerjaannya.

"Malam-malam nyetrika, bikin boros listrik!" kata Reno saat baru saja memasuki kamar.

Dinara tidak menjawab, ia tetap meneruskan kegiatannya.

"Pantas saja listrik kemarin naik, ternyata kamu boros banget," ucap pria itu lagi.

Ia semakin geram saat Dinara dian membisu, tatapan matanya tertuju pada kain yang disetrika. Reno semakin mengerutkan kening melihat istrinya menyetrika sebuah seragam.

"Seragam siapa, tuh?" tanya Reno dengan mata memicing.

"Seragamku. Aku tadi melamar kerja dan langsung diterima, mulai besok aku kerja sampai sore," jawab Dinara.

Reno terkekeh mendengarnya. "Nah, begitu seharusnya dari dulu. Kamu cari kerja, bukaannya hanya membebaniku saja."

Wanita itu hanya bisa mendengus lirih, ia sudah menduga suaminya tidak akan peduli.

"Tapi jangan sampai kewajiban kamu sebagai istri terlupakan. Kamu tetap harus masak, beres-beres, mengurus semua keperluanku dan Azka. Kalau kamu sampai lalai, lebih baik keluar saja dari kerjaan."

Dinara mengehentikan gerakan tangannya, ingin sekali menempelkan setrika panas itu ke mulut Reno.

"Kamu juga harus jaga pandangan di luar sana, jangan macam-macam sama laki-laki lain. Selesai bekerja harus langsung pulang dan nemenin Ibu di rumah," ucap Reno.

Dinara mencabut colokan dan lekas berbalik badan, napasnya kembang-kempis menatap suaminya yang tidak tahu malu itu.

"Kamu saja kerja nggak pernah bantu-bantu di rumah, seharusnya kita sama. Ngapain aku harus mikirin kerjaan rumah?" tanya Dinara dengan mata melotot.

Suaminya ini memang tidak tahu diri, membuat keputusan sesukanya tanpa memikirkan perasaan istrinya.

"Kodrat perempuan, ya, begitu. Kamu mau jadi istri durhaka karena nggak nurut sama suami? Kamu mau masuk neraka?!" sentak Reno.

"Kecilkan nada bicaramu, Mas. Jangan sampai anakku terbangun," desis wanita itu. "Aku kasih pengertian, ya, karena kamu nggak paham-paham. Kodrat perempuan itu haid, melahirkan dan menyusui. Selain itu laki-laki pun bisa mengerjakannya, apa susahnya kita berbagi tugas rumah tangga?"

Dinara membuang pandangannya ke samping, sesak sekali bertatapan dengan pria yang menjadi suaminya itu. "Toh selama ini aku juga jualan online, cari uang bantu-bantu kamu tapi nggak pernah protes. Saat aku bisa menjalankan kodrat laki-laki yang seharusnya mencari nafkah, kenapa kamu nggak bisa melakukan ... yang katamu kodratku beres-beres tadi?" tanyanya.

"Kalau memang kodratku hanya mengurus rumah, kenapa kamu membiarkanku bekerja?" tanya Dinara sambil menatap tajam ke dalam manik hitam itu. "Perempuan selalu diberatkan. Nggak kerja dikata boros dan memeras suami, kerja tapi banyak aturannya. Kenapa laki-laki nggak mau mengerti dengan membantu pekerjaan rumah? Bukan melimpahkan semuanya kepada perempuan, memangnya kami dinikahi untuk apa sebenarnya? Teman hidup atau teman kerja?!" imbuhnya.

"Ak—"

"Diam, Din!" Reno memotong ucapan istrinya dengan cepat. "Keluar saja dari kerjaanmu kalau protes terus. Lagian aku yakin gajimu nggak seberapa," lanjutnya dengan seringai senyum di ujung bibir.

"Halah, sok-sokan nyuruh berhenti. Kamu saja ngasih uang cuma dua puluh ribu sehari, mana cukup?! Lebih baik aku kerja, nyari duit buat aku dan anakku," sahut Dinara yang tidak kalah sinisnya.

"Kalau gitu nggak usah banyak bacot.!"

Dinara kembali naik pitam. Reno benar-benar kejam menurutnya, ada istri marah bukannya ditenangkan malah bara kemarahan itu disiram bensin.

Niatnya tadi bukan mengajak berdebat, hanya memberi pengertian tentang kodrat istri dan kodrat suami. Namun, otak kotor suaminya malah menangkap hal lain.

Wanita itu menarik napas dalam, ia harus menyetok banyak kesabaran agar tenisnya tidak naik. Di kulkas masih ada timun, ia melenggang pergi dari hadapan suaminya tanpa mengatakan apapun.

"Dasar laki-laki gila! Nyesel aku dulu nikah dan milih ninggalin kantor, padahal aku mau diangkat jadi karyawan tetap. Huh ... padahal dulu Reno janji memenuhi semua kebutuhanku dan nggak akan buat aku sengsara, tapi nyatanya itu hanya bertahan beberapa bulan. Sisanya ... aku cari uang sendiri kalau mau beli apa-apa. Huh, kalau nggak ada Azka, aku mending cerai saja!" gerutu Dinara sepanjang langkah menuju dapur.

Tangannya membuka pintu kulkas, ia mengambil timun dan langsung memakannya dengan brutal.

"Lihat saja, aku akan boyong Azka pergi. Aku tidak sudi tinggal di neraka ini," gumam Dinara, tanpa sadar ia meremas timun hingga terbelah jadi dua saking emosinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status