Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari.
"Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi. "Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak." "Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara. Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk. Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah. Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang. "Enak banget!" pekik Azka. Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang melihat putranya makan dengan riang, Azka memang alasannya agar tetap kuat menjalani hidup. "Kamu sudah masak, Din? Masakanmu tadi dibawa Reno ke kantor, katanya mau bawa bekal," celetuk Bu Yuyun yang baru saja pulang dari rumah tentangga. "Semuanya, Ma?" tanya Dinara dengan mata melotot. "Iya, kenapa melotot begitu? Nggak suka?" Bu Yuyun balik memelototi menantunya. "Anakku butuh banyak makan biar punya tenaga, dia kerja dan pasti capek!" Dinara menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa kesal, otaknya langsung mendidih membayangkan tangan lancang suaminya yang mengambil ayam goreng putranya. Ayam itu ia beli dengan uangnya sendiri, karena mana mungkin uang belanja dari Reno cukup? Hanya seperempat kilo, Dinara ingin Azka makan protein, tetapi dengan tega Reno merampasnya. "Besok Mama masakin ayam lagi, ya, Nak," bisik Dinara sambil mengelus lembut rambut putranya. "Iya, Ma. Apapun masakan Mama, aku suka." Azka terus makan dengan lahap, membuat batin Dinara trenyuh. Wanita itu semakin bertekad kuat untuk memberikan kehidupan yang lebih layak, ia tidak mau mengeluh dan memilih berusaha sendiri. Suara deru motor terdengar memasuki halaman, Bu Yuyun bergegas menyambut putranya yang baru pulang dari kantor. Reno langsung masuk kamar setelah memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada ibunya. Namun, niatnya berganti pakaian terhenti saat melihat ponsel Dinara berdering. "Siapa yang menelepon? Kok mau diangkat sudah mati?" gumamnya. Reno membuka ponsel itu, dadanya bergemuruh mendapati nama seorang pria terpampang di daftar panggilan tak terjawab. "Dinara ...!" teriak pria itu dengan suara lantang. Dinara yang masih mencuci piring tak ayal tersentak, ia langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari ke kamar. "Kenapa teriak-teriak, sih, Mas?" tanyanya setelah berdiri di hadapan Reno. "Ini siapa, hah?! Pak Gerald itu siapa ...?!" Reno menyodorkan ponsel di depan wajah Dinara, sementara wanita itu hanya menanggapi santai. "Pak Gerald River, anak laki-laki Pak Renaldy River, pemilik perusahaan tempatku bekerja. River Coorporation," jelas Dinara. Reno mengernyitkan dahi, Dinara segera mengambil alih ponselnya dan memasukkan ke dalam saku. "Periksa saja di g****e kalau nggak percaya, Mas. Nama Pak Renaldy River ada di sana, informasi pribadi dan tentang perusahaannya juga ada. Termasuk informasi tentang putranya yang akan mewarisi River Coorporation." "Berarti dia bosmu? Apa yang kemarin kemejanya kena tumpahan kopi?" tanya Reno yang langsung diangguki oleh Dinara. Pria itu terhenyak, kemudian kembali bertanya, "kenapa dia menelepon staf sepertimu? Apa kau membuat masalah lagi?" "Nggak tahu, Mas. Kayaknya mau komplain kemejanya yang salah saat ku cuci," jawab Dinara asal, ia tidak mau jujur karena takut Reno berpikir yang tidak-tidak. Padahal Dinara yakin atasannya menelepon karena ingin bertanya kesiapan untuk agenda besok, beruntung tadi Reno belum sempat mengangkat panggilan. Dinara tidak bermaksud berbohong, apalagi berkhianat. Ia hanya khawatir kalau Reno marah dan terdengar ke telinga Azka, putra kesayangannya bisa sedih dan mentalnya terganggu. "Dasar ceroboh! Baru pertama kerja sudah buat banyak masalah. Pokoknya kamu harus selesaikan sendiri, awas kalau minta uangku untuk mengganti kemeja mahal itu!" sentak Reno. Wanita itu mengangguk lega, beruntung suaminya langsung percaya. Pria itu kembali masuk kamar dan mengganti pakaian, lalu menuju dapur untuk mengambil makanan. Ia tidak lagi peduli pada Dinara, kesempatan ini digunakan Dinara untuk membalas pesan dari Gerald, ia mengatakan sudah siap untuk besok dan akan datang jam enam pagi seperti perintah atasannya. • Malam harinya. Entah jam berapa, Dinara terbangun karena merasa haus. Sayup-sayup telinganya mendengar suara suaminya dan seorang wanita. Dinara ingat betul bahwa ia sempat mematikan lampu sebelum tidur, tetapi kenapa seperti ada cahaya? Perlahan-lahan wanita itu membalikkan badan. Membuat Reno langsung diam untuk beberapa saat. Dinara merasakan tangan Reno dikibaskan di depan wajahnya, setelah beberapa saat pria itu sepertinya percaya kalau ia masih terlelap. "Maaf, Sayang. Tadi istriku gerak, aku diam dulu karena takut dia bangun," bisik Reno yang sontak membuat Dinara meradang. Siapa yang dipanggil sayang? Netranya sedikit mengintip, ternyata Reno tengah melakukan video call dengan seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu memakai lingerie berwana merah, sangat kontras dengan kulit putihnya. "Apa Mas Reno selingkuh?" batin Dinara dengan perasaan nyeri tak terkira. Meskipun ia kesal dengan Reno yang sering memperlakukannya kasar, tetapi hatinya sakit saat dikhianati. Dinara merasa tidak berguna, padahal ia setia meskipun dirinya kerap tidak dianggap. "Kapan kamu menceraikan Dinara, Mas? Aku sudah nggak sabar menikah dan hidup bahagia sama kamu," kata wanita di seberang telepon itu. "Secepatnya, Sayang. Aku harus membuat alasan yang masuk akal, biar kita nggak ketahuan kalau menjalin hubungan gelap dan aku nggak disalahkan. Aku mau ... Dinara lah yang terlihat salah di mata orang lain," bisik Reno. Dinara menekan dada dengan sebelah tangan, matanya terpejam erat mendengar tawa dari dua manusia tak punya hati itu. Apakah Reno akan membuat fitnah untuknya? Ah, kejam sekali! "Aku lelah gini-gini terus. Tiga bulan kita backstreet, Mas!" gerutu wanita itu. Dinara kembali menajamkan gendang telinganya. "Oh, ternyata ini alasan Mas Reno nggak nyentuh aku selama tiga bulan terakhir ini?! Ternyata dia sudah punya wanita lain. Baiklah ... aku akan menikmati drama kalian," batinnya. Hatinya perih tak terperi, pedih mendapati kesetiaannya tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Apakah dirinya tidak berharga? Hingga tidak pantas dicintai dengan tulus? Dari rahimnya sudah lahir seorang putra yang sejak dulu diidam-idamkan Reno, tetapi itu tidak cukup membuat Reno puas dan menetap. Siapa yang salah di sini? Dirinya, atau Reno yang tidak bisa bersyukur? Pikiran Dinara terus berkecamuk, berperang antara hari dan akal sehatnya. "Tunggu pembalasan dariku! Aku bukan wanita yang bisa ditindas. Kalian salah besar telah memantik api amarahku!" pekiknya, dalam hati."Tumben pagi-pagi sudah matang?" tanya Reno yang baru saja masuk dapur, semua makanan sudah tertata di meja."Aku ada kerjaan, diajak Bosku nanti. Sama temen-temenku juga."Pria itu mengernyit heran. "Office girl diajak Bos? Kamu nggak menggoda biar diajak 'kan?"Dinara menghentikan gerakan tangan yang tengah memasukkan makan siang ke kotak bekal, kilatan matanya menatap nyalang ke depan."Aku bukan wanita seperti itu.""Ya, bisa saja 'kan? Jaman sekarang banyak wanita nggak tahu malu, menggoda atasan untuk mendapatkan jabatan," ujar Reno."Ngomong apa, sih, Mas? Nggak bisa, ya, sehari saja nggak nuduh-nuduh aku? Oh, iya ... bukannya yang suka menuduh itu malah yang melakukan, ya?" sindir Dinara."Apa maksudmu?!" ketus pria itu dengan mata melotot."Kamu menuduhku, berarti kamu punya pengalaman dengan itu. Atau jangan-jangan ... kamu juga digoda stafmu dan uangmu diporoti, ya? Makanya jatah bulananku sering tidak diberikan!" netra cantik itu melirik ke arah Reno, Dinara tidak peduli m
Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara."Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu."Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut."Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald."Bak, Pak. Saya akan melakukannya."Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati.""Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya,
Dinara tiba di rumah dan langsung memasak, wanita itu tidak terlalu fokus saat memasukkan bumbu karena masih memikirkan ucapan Nada tadi. "Bagaimana cara mengumpulkan bukti perselingkuhan? Ponselnya Mas Reno dikunci, aku nggak bisa buka sesukanya," batin Dinara.Terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak sadar ikannya gosong. Baunya menyeruak ke seluruh dapur hingga rumah, membuat Yuyun yang tengah bersantai di depan televisi beranjak ke dapur."Ya ampun, Dinara ... kamu ini mau masak atau bakar dapur?!" Dinara gelagapan mendengar teriakan mertuanya, tangannya segera mematikan kompor dan mengangkat dua ekor ikan yang tampak mengenaskan. "Sudah tahu harga gas naik, malah dibuang-buang! Minyaknya juga gosong, nggak enak kalau buat masak lagi. Kamu ini bisanya cuma boros, belum gajian sudah menghabiskan bahan dapur. Pasti besok akan minta uang anakku buat beli bahan-bahan yang kamu buang ini!" ketus wanita paruh baya itu.Yuyun mengambil sendok dan mencicipi tumis kangkung yang terliha
Gerald datang ke kantor pagi-pagi sekali, sengaja karena ingin menunggu Dinara. Pria itu berencana meluapkan kekesalannya, kepalanya masih berdenyut memikirkan desakan orang tuanya yang semakin hari semakin tidak masuk akal."Nah, itu dia!" pekiknya saat melihat Dinara keluar dari lift karyawan.Kedua tangannya penuh dengan alat pel, kain lap tersampir di pundaknya.Namun, bukannya ilfeel, Gerald malah semakin kagum dengan Dinara. Apalagi saat Dinara menguncir rambutnya ke belakang, leher jenjang nan putih itu membuat mata Gerald tidak bisa berkedip."Kamu terlambat, harus menerima hukuman," celetuknya yang jelas saja membuat Dinara kaget.Dinara melihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sedangkan jam kerjanya dimulai jam tujuh. Bagaimana bisa dikatakan terlambat? Padahal absennya saja lebih pagi dari jam masuk."Maaf, Pak. Setahu saya, saya mulai bekerja jam tujuh. Dan sekarang masih jam tujuh kurang, saya juga sudah absen di bawah. Jadi, saya tidak bisa
"Kenapa lama sekali angkat teleponnya?" sentak Gerald dari seberang telepon."Maaf, Pak. Saya baru sampai rumah. Ada apa, ya, Pak?" tanya Dinara."Aku butuh seseorang yang bisa ku ajak ke pesta bisnis nanti malam, aku akan membawa banyak kado untuk kolega-kolegaku. Tidak mungkin aku membawanya sendiri, jadi ... aku berpikir kau bisa membawanya," jelas Gerald.Wanita itu mengerutkan kening. "Maksudnya bagaimana, ya, Pak?""Kau bertanya maksudku? Kenapa kau tidak bisa langsung paham?!"Dinara menjauhkan ponselnya saat gendang telinganya berdengung. Gerald benar-benar tidak berprikemanusiaan, berbicara langsung atau dari telepon tetap saja suka membentak-bentak."Maaf, Pak. Saya memang tidak paham maksud Bapak," jawabnya.Terdengar helaan napas kasar. "Kau ini memancing kekesalan saja bisanya. Maksudnya aku memintamu untuk ikut ke pesta bisnis, tugasmu nanti membawakan kado-kado untuk para kolega.""Hah ... s-saya ikut ke pesta bisnis, Pak?" "Dasar bodoh! Jangan memintaku untuk mengulan
"Papa ...," panggil Azka yang baru pulang bermain, anak kecil itu memegang bola, tatapan matanya bingung melihat ketiga orang dewasa yang tengah berseteru. "Suara Papa terdengar dari luar, apa Papa sedang marah?""Sayang." Reno langsung menurunkan tangan dan berbalik badan, pria itu menghampiri putranya lalu menggendong tubuh mungil itu. "Tidak, Nak. Mungkin kamu hanya salah dengar."Yuyun ikut khawatir kalau cucunya mendengar suara yang tidak-tidak. Bibirnya mencebik, menganggap Dinara adalah penyebab dari kesalahpahaman sang cucu."Gara-gara kamu cucuku jadi salah paham. Awas aja kalau sampai Azka tanya macam-macam! Dan ... kali ini kamu memang aman, tapi lihat saja suatu saat nanti kalau kamu masih berani mencari gara-gara kepada Bella," bisiknya tepat di telinga Dinara.Yuyun menghampiri cucunya yang ada di gendongan Reno, ia mengajak Azka mandi dan anak laki-laki itu langsung mengangguk.Meninggalkan Reno dan Dinara di depan kamar mereka. "Untung saja ada putraku, Din. Jadi aku
Setelah sampai di Kediaman Nada, Dinara langsung mendudukkan dirinya di ruang tamu. Nada tinggal sendirian, wanita itu sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. "Yang kamu katakan di pesan chat tadi beneran?!" tanya Nada yang baru saja keluar dari kamar. Kedua bola matanya membelalak, terkejut saat sahabatnya mengirim pesan dan mengatakan bahwa mereka akan diajak ke pesta bisnis oleh Gerald.Dinara mengangguk. "Memang beneran, kok. Katanya kita disuruh bawa kado yang akan diberikan untuk kolega-koleganya Pak Gerald. Kayaknya ada banyak kado, deh. Soalnya kalau hanya sedikit nggak mungkin beliau mengajak kita, beliau cukup dengan asisten pribadinya saja.""Iya juga, sih," sahut Nada. "Tapi aku nggak punya baju bagus, nanti malu-maluin nggak, ya?""Ayo aku bantu siap-siap di kamar. Tiga puluh menit lagi mungkin Pak Gerald sudah sampai, jangan sampai kita belum siap. Nanti kena marah," kata Dinara.Nada mengangguk dan lantas bangkit dari duduk, kedua wanita itu beran
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, pesta baru berakhir. Mobil mewah itu membawa Dinara dan Nada pulang, tidak lupa Gerald memberikan bonus besar untuk dua wanita itu."Nad, kita kemalaman banget. Ini sudah jam setengah satu. Maaf, ya," ucap Dinara."Kenapa harus minta maaf? Malah aku berterimakasih karena kamu ajak, aku dapat banyak bonus dari Pak Gerald," sahut Nada.Dinara memeluk erat sahabatnya, mengucapkan banyak terima kasih telah menemani malam ini."Kamu tidur sini saja, Din.""Kasihan Azka kalau aku nginep sini, nanti dia nyariin. Azka suka kebangun malam-malam, nanti Mas Reno marah kalau anaknya nyariin aku tapi aku nggak ada," jelas Dinara. "Yakin?" Nada menatap khawatir, jalanan sepi dan takut Dinara kenapa-napa.Namun, Dinara terus meyakinkan Nada hingga akhirnya sahabatnya itu mengizinkannya pulang. Dinara menitipkan gaun mahal pemberian Gerald di rumah Nada, khawatir Reno melihatnya nanti.Beruntung Dinara punya satu kunci cadangan, jadi dia bisa langsung masuk r
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah