Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
"Ini kopinya, Mas," ucap Dinara yang baru saja keluar dari dapur.Wanita cantik berusia 29 tahun itu terlihat sederhana dalam balutan daster, ia tidak pernah berpenampilan mewah, bahkan riasan saja hanya bedak tabur biasa. Untuk wewangian ia memilih parfum isi ulang, semua itu ia lakukan demi kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan tabungan masa tua aman.Suaminya bekerja sebagai staf admin di sebuah perusahaan swasta. Gajinya tidak kecil, tetapi entah kenapa pria berusia 32 tahun itu pelit sekali pada Dinara.Reno Adikusumo, pria berkulit sawo matang dengan postur tinggi tegap itu terlihat tampan karena memiliki bentuk rahang tegas dan alis tebal. Hidung mancung ia wariskan kepada Azka — putra pertama mereka yang masih berusia tujuh tahun."Gas habis, Mas. Itu tadi tinggal sedikit, untung masih cukup untuk merebus air," ucap Dinara seraya mendudukkan diri di sofa empuk itu."Cepet banget habisnya, makanya kamu jangan boros jadi, dong."Sret! Wanita pemilik iris coklat itu sontak menoleh
Dinara keluar dari ruang HRD dengan senyum lebar, ia langsung memeluk Nada saat tahu dirinya diterima di perusahaan. "Ayo kita langsung kerja saja, Din. Aku kenalkan Bu Lina, atasan kita," ucap Nada sambil menggandeng tangan Dinara. "Eh, aku langsung kerja hari ini?" Dinara mengehentikan langkah yang membuat Nada langsung berbalik badan. "Kata HRD tadi bagaimana?" "Nggak bilang apa-apa, sih. Suruh tanya atasan gitu," jawab Dinara. "Tapi aku belum pamit sama Azka, Nad. Nanti kalau dia nyariin bagaimana? Terus kalau suami dan mertuaku marah ... aku takut nggak dibolehin keluar lagi besok," imbuhnya. Wanita berambut sebahu itu mengelus lembut lengan Dinara sambil memasang senyum manis. "Sudah, nggak usah khawatir. Yang penting kita ketemu Bu Lina dulu, beliau bisa ngerti kok masalahmu." Kedua wanita itu menghadap seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, kali ini Bu Lina mengizinkan Dinara pulang jam dua belas siang, baru besok bisa bekerja sampai jam lima sore. "Tugas kamu di la
"Sudah matang semua, Din? Tumben jam enam sudah siap semua?" tanya Yuyun yang baru saja keluar kamar."Mulai hari aku kerja, Bu. Nanti pulangnya jam lima sore."Sebuah senyum terukir lebar di bibir keriput itu, kedua matanya mendelik sempurna."Nah ... gitu, dong. Sebagai perempuan harus kerja, jangan berpangku tangan kepada laki-laki. Ibu bangga kalau kamu kerja, nanti jangan lupa kasih ibu uang bulanan, ya."Helaan napas kasar terdengar dari mulut Dinara, belum juga gajian sudah ditodong uang bulanan. Padahal Yuyun selalu mendapat jatah dari Reno.Dinara melenggang pergi menuju kamarnya, ia melihat Azka yang sudah berpakaian rapi. Putranya selalu rajin, di usia tujuh tahun sudah bisa mengurus keperluannya sendiri."Nanti mama pulang sore, ya, Sayang," ucap Dinara."Iya, Ma."Wanita itu mengangguk. "Sekarang kamu sarapan saja, nanti mama antar sekalian mama berangkat kerja."Azka bergegas menuju dapur, sementara ia langsung memakai seragamnya dan berdandan tipis. Dinara tidak peduli
Dinara baru pulang saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, ia harus lembur kerena kedatangan petinggi perusahaan hari ini."Baru pulang?" tanya Reno saat melihat istrinya baru masuk rumah.Pria itu melipat kedua tangan di depan dada, tubuhnya bersandar di pintu kamar. Kilatan matanya menatap remeh ke arah Dinara, tanpa peduli wajah lelah sang istri."Katanya sampai jam lima saja? Ini, kok, jam tujuh baru pulang? Jangan-jangan kamu ketemuan sama cowok, ya?""Jaga mulutmu, Mas! Hari ini aku lembur karena petinggi perusahaan datang, kamu nggak tahu apa-apa jangan nuduh sembarangan," sanggah Dinara.Reno menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya apa kepentingan petinggi perusahaan sama kamu? Kamu 'kan hanya office girl.""Lalu siapa yang nyiapin makanan dan minuman? Kamu kira staf lain?!" sahut Dinara yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya.Membuat Reno membelalak kaget. "Baru kerja sehari saja sudah berani bentak-bentak suami. Memang nggak ada adab kamu, Din. Kalau dengan bekerja malah mem
"Aku dipaksa nikah sama papa dan mama, demi dapetin warisannya kakek. Mau menikah sama siapa?! Calon saja nggak punya, sedangkan aku hanya dikasih waktu satu minggu," ucap Gerald, kepada sahabatnya yang ada di seberang telepon.Pria itu berdiri di balkon sambil tangannya memegang segelas wine, kepalanya mendadak pusing memikirkan desakan orang tuanya."Ashley?" tanya Jacob, pria yang sudah menemani Gerald sejak kecil."Dia belum siap menikah. Lagipula ... bagaimana aku bisa mencari wanita lain kalau masih mencintai Ashley? Aku tidak yakin bisa menyukai wanita lain, hanya Ashley yang aku pikirkan setiap hari." Gerald meracau setelah menghabiskan satu botol wine, membuat Jacob hanya bisa menghela napas kasar."Carilah wanita lain, Gerald. Masalah perasaan bisa dipaksa, apalagi sekarang sudah nggak asing sama pernikahan kontrak. Yang penting kamu bisa klaim warisannya, urusan pernikahanmu biar dipikirkan sambil jalan," saran Jacob."Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi keluargaku
Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari."Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi."Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak.""Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara.Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk.Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah.Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang."Enak banget!" pekik Azka.Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang mel
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah