Share

Bukan Wanita Simpanan
Bukan Wanita Simpanan
Penulis: Els Arrow

Dituduh Boros

"Ini kopinya, Mas," ucap Dinara yang baru saja keluar dari dapur.

Wanita cantik berusia 29 tahun itu terlihat sederhana dalam balutan daster, ia tidak pernah berpenampilan mewah, bahkan riasan saja hanya bedak tabur biasa. Untuk wewangian ia memilih parfum isi ulang, semua itu ia lakukan demi kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan tabungan masa tua aman.

Suaminya bekerja sebagai staf admin di sebuah perusahaan swasta. Gajinya tidak kecil, tetapi entah kenapa pria berusia 32 tahun itu pelit sekali pada Dinara.

Reno Adikusumo, pria berkulit sawo matang dengan postur tinggi tegap itu terlihat tampan karena memiliki bentuk rahang tegas dan alis tebal. Hidung mancung ia wariskan kepada Azka — putra pertama mereka yang masih berusia tujuh tahun.

"Gas habis, Mas. Itu tadi tinggal sedikit, untung masih cukup untuk merebus air," ucap Dinara seraya mendudukkan diri di sofa empuk itu.

"Cepet banget habisnya, makanya kamu jangan boros jadi, dong."

Sret! Wanita pemilik iris coklat itu sontak menoleh, matanya memicing memperhatikan suaminya yang tengah meminum kopi.

"Boros katamu? Itu saja sudah hampir satu bulan lalu aku belinya, kamu jangan lupa kalau gasnya beli pakai uangku."

"Halah, gitu saja diungkit-ungkit. Toh hasil masakannya juga masuk ke perutmu, perut anakmu juga! Kenapa diributkan?"

Dinara semakin naik pitam, kesabarannya yang setipis tisu dibelah dua itu semakin menipis melihat suaminya yang tampak tidak peduli.

"Gaji doang gede, ganti uang gas 20 ribu nggak mampu!" desisnya.

"Hei!" Reno membalikkan badan, menghadap wanita yang sudah dinikahinya selama 7 tahun itu. "Kenapa sekarang jadi perhitungan? Oh ... kalau kamu mau perhitungan, sekalian saja kita hitung biaya listrik dan air. Siapa yang membayarnya kalau tidak aku?!" ucapnya lagi setengah berteriak.

"Heh, Mas! Kita sudah berumah tangga selama delapan tahun, selama itu juga kamu tidak paham tugas kepala keluarga. Aku rela menggunakan uang dari ibuku untuk beli kebutuhan dapur, masak, bahkan bayar sekolahnya Azka. Apa kamu lupa kalau sebagian besar perabotan di rumah ini disumbang ibuku? Kamu hanya nyumbang bayar listrik sama air saja sudah sombong!" jelas Dinara panjang lebar dengan napas terengah-engah.

Tangannya berpegangan pada rak piring, dadanya naik turun sambil menatap tajam ke arah suaminya yang juga tengah melotot.

"Dasar wanita perhitungan! Rugi aku menikahimu," desis Reno. Rahangnya mengetat, urat-urat wajahnya tampak menonjol.

"Seharusnya aku yang bilang begitu, Mas," sahut Dinara yang tidak mau kalah. "Aku kurang apa selama jadi istri kamu. Selama ini aku diam meskipun nggak kamu kasih uang, aku cari sendiri buat kebutuhan kita. Padahal aku tahu gajimu nggak sedikit, tapi entah untuk apa uangnya."

"Jadi kamu nggak ikhlas?! Kamu selalu ungkit-ungkit, Din. Aku ini kepala rumah tangga yang nggak ada harga dirinya kalau di hadapan kamu. Punya gaji saja merasa lebih tinggi dari suami, padahal cuma jualan online yang dulu modalnya dari aku," sahut Reno.

Dinara menggelengkan kepala, lagi-lagi Reno membahas modal?

"Aku sudah mengembalikan modalnya tahun lalu kalau kamu lupa, Mas!"

Reno hendak menyahut, tetapi urung saat melihat sesosok wanita paruh baya memasuki dapur.

"Ada apa, sih, ini? Suara kalian terdengar sampai depan, loh." Yuyun, ibunya Reno alias mertua Dinara datang dengan kening mengerut bingung.

Ah, Bu Yuyun, seperti belum terbiasa saja dengan pertengkaran anak dan menantunya.

"Dinara, ada apa?" Yuyun menelisik menantunya dari atas sampai bawah. "Kamu ini perempuan, tapi suaranya keras sekali. Bagaimana laki-laki mau hormat kalau kamu seperti itu? Kamu harus tunduk, jangan mengungguli suamimu," ucapnya dengan suara lirih.

"Kamu 'kan tahu Reno kerja dari pagi sampai sore, anakku pasti capek. Tapi kamu malah ngomel-ngomel. Seharusnya kalau kurang, tuh, kamu bangun kerja. Bukan protes saja bisanya." Yuyun kembali bersuara yang semakin membuat telinga Dinara panas.

Wanita cantik itu memutar bola matanya dengan malas. "Iya, Bu," jawabnya.

Lebih baik mengalah kalau mertua sudah bersabda, pikir Dinara. Ia masih ingin waras agar bisa merawat putranya, ia tidak mau jantungan dan tensinya naik gara-gara menghadapi suami dan mertuanya.

'Lebih baik aku pergi dari pada berdebat sama dua orang gila ini,' batin Dinara sambil melenggang pergi menuju kamarnya.

Masih terdengar kasak-kusuk dari arah dapur, tetapi ia memilih untuk tidak peduli.

Selama ini ia tidak pernah menganggap ucapan mertuanya, selalu masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.

Ia tidak mau sakit hati, karena putranya yang akan menjadi korban. Ia ingin fokus membesarkan Azka agar tidak seperti papanya, pokoknya Dinara ingin memutus mata rantai kekejaman suami dan mertuanya.

"Aku harus cari kerja. Tapi di mana?" gumam Dinara sambil mengubek-ubek isi lemari.

Ia menemukan ijazah S1-nya, hatinya kembali bersedih, lebih sedih dibanding saat mengingat perlakuan suaminya tadi.

"Ini sudah tujuh tahun lalu, apa aku masih diterima kalau melamar di perusahaan?" gumamnya dengan perasaan gundah.

Dinara langsung menikah setelah ia lulus kuliah, ijazahnya nganggur dan tidak jarang menjadi bahan olok-olokan mertuanya.

Jelas saja ia sakit hati, tetapi wanita itu pintar menyembunyikannya. Telinga dan hatinya sudah kebal selama tujuh tahun ini.

Sebuah dering ponsel menyentaknya, ia meraih ponsel dan mendapati sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Nada.

[Din, ada lowongan pekerjaan di perusahaan tempatku bekerja sebagai office girl. Kamu mau atau tidak? Kalau mau, bisa langsung datang.] tulis Nada yang langsung membuat Dinara memekik senang.

"Terima kasih, Ya Tuhan. Engkau langsung menjawab kegundahanku," gumam Dinara.

Ia tidak masalah dengan pekerjaan apapun, asal bisa mendapatkan uang dengan cara halal.

Dinara segera menyiapkan berkas untuk melamar pekerjaan, ia menulis tangan serapi mungkin dan lekas berdandan mengenakan kemeja polos dan celana hitam.

Kakinya melangkah cepat keluar rumah, beruntung suaminya sudah berangkat kerja dan mertuanya sudah masuk kamar. Jadi Dinara bisa pergi dengan leluasa.

Wanita itu menuju tempat foto kopi untuk membeli materai dan map, setelahnya ia naik kendaraan umum menuju River Corporation, perusahaan tempatnya melamar kerja.

Tidak lama kemudian kendaraan sudah berhenti di depan gedung pencakar yang sangat megah, Dinara menatap kagum ke sana. Detik berikutnya ia masuk dengan jantung berdegup kencang, ternyata Nada sudah menunggunya di depan lobi.

"Ayo aku antar ke HRD, Din. Kamu harus wawancara dulu. Semoga kamu diterima dan bisa langsung bekerja di sini," kata Nada menuntun Dinara naik tangga menuju ruang HRD.

"Apa aku bisa, Nad? Aku bukan fresh graduate," bisik Dinara.

"Bisa, lah. Kamu 'kan pintar, jadi kamu harus yakin." Nada menatap teduh ke dalam menik coklat sahabatnya. "Semua akan baik-baik saja. Kamu harus bisa, demi Azka."

Dinara mengangguk dengan senyum lebar, ia seakan kembali mendapatkan semangatnya

'Ya, benar. Aku harus kuat demi Azka. Setelah aku mendapatkan banyak uang, aku akan pergi membawa putraku dan memberikannya kehidupan yang lebih layak,' batin Dinara penuh tekad.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status