Share

Penolakan

"Tumben pagi-pagi sudah matang?" tanya Reno yang baru saja masuk dapur, semua makanan sudah tertata di meja.

"Aku ada kerjaan, diajak Bosku nanti. Sama temen-temenku juga."

Pria itu mengernyit heran. "Office girl diajak Bos? Kamu nggak menggoda biar diajak 'kan?"

Dinara menghentikan gerakan tangan yang tengah memasukkan makan siang ke kotak bekal, kilatan matanya menatap nyalang ke depan.

"Aku bukan wanita seperti itu."

"Ya, bisa saja 'kan? Jaman sekarang banyak wanita nggak tahu malu, menggoda atasan untuk mendapatkan jabatan," ujar Reno.

"Ngomong apa, sih, Mas? Nggak bisa, ya, sehari saja nggak nuduh-nuduh aku? Oh, iya ... bukannya yang suka menuduh itu malah yang melakukan, ya?" sindir Dinara.

"Apa maksudmu?!" ketus pria itu dengan mata melotot.

"Kamu menuduhku, berarti kamu punya pengalaman dengan itu. Atau jangan-jangan ... kamu juga digoda stafmu dan uangmu diporoti, ya? Makanya jatah bulananku sering tidak diberikan!" netra cantik itu melirik ke arah Reno, Dinara tidak peduli meskipun wajah Reno sudah memerah.

"Kurang ajar! Jaga mulut kotormu itu, Din."

Dinara reflek memejamkan mata mendengar bentakan itu, tetapi nyalinya tidak menciut.

"Jangan sampai aku memukulmu, seharusnya kau bersyukur karena aku masih sabar. Malah seenaknya ngomong yang enggak-enggak!" sentak Reno.

"Kamu yang memulai, Mas. Aku hanya mengimbangi. Kenapa harus marah?" Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, membuat Reno merasa diremehkan.

Baru saja mulutnya terbuka hendak menjawab, tetapi urung saat melihat Azka keluar kamar.

Reno menggendong putranya, menciumi wajah gembul itu dan membuat Azka tertawa riang.

Pemandangan itu membuat hati Dinara semakin sakit, kenapa seorang ayah hanya mencintai putranya, tidak dengan ibunya?

Jarum menunjukkan pukul enam kurang lima belas, Dinara pamit berangkat kerja kepada putranya dan lantas mencegat ojek. Ia sampai di depan gerbang River Coorporation, masih sepi dan hanya ada satpam yang berjaga.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Kaca mobil terbuka, menampilkan pria tampan dalam balutan jas berwarna putih.

"Masuk!" titah Gerald sambil membukakan pintu dari dalam.

"S-saya di belakang saja, Pak," ucap Dinara, lirih. Takut atasannya itu tersinggung.

"Kau kira aku supirmu?! Enak saja di belakang."

Dinara langsung masuk dan duduk di samping Gerald, bibirnya mengucapkan permisi yang hanya diangguki oleh sosok pria angkuh itu.

"Aku akan mengantarmu ke salon. Tidak mungkin membawamu dengan penampilan seperti itu, yang ada aku jadi bahan olok-olokan," ucap Gerald.

Dinara gatal sekali ingin menjawab, tetapi takut tubuhnya dilempar keluar.

"Undangan hari ini adalah reuni, ada banyak teman-temanku di sana, terutama yang dari luar negeri. Kau jangan katakan apapun saat di sana, cukup mengikutiku ke mana saja. Aku yakin kau tidak akan paham pembahasan kami, jadi lebih baik diam daripada membuat malu!" perintah Gerald.

Dinara mengerutkan kening. Bukankah kemarin atasannya itu mengatakan ada urusan pekerjaan? Dan ia disuruh membawakan barang-barang karena asisten pribadinya Gerald libur? Lagipula, mana ada reuni jam enam pagi?

Kenapa sekarang berubah? Bosnya itu sungguh tidak masuk akal.

"Ya sudahlah, mungkin setelah reuni ngurus kerajaannya. Aku nggak bisa protes sekarang," batin Dinara, berusaha menyakinkan diri meskipun ada perasaan mengganjal.

Mobil berhenti di sebuah butik besar dan terkenal di kota ini, Gerald mengajak Dinara masuk dan meminta salah satu staf untuk mendandani.

Pria itu memilih satu gaun panjang berwarna hitam, lantas memberikan kepada staf agar dipakaikan ke tubuh Dinara.

Menit berlalu ....

Setelah menunggu lama, pintu ruang fitting terbuka. Gerald menoleh, kedua pupil matanya membesar melihat Dinara yang sudah sangat berbeda.

"Gil4! D-dia beneran cantik," batinnya.

Aroma parfum menguar, riasan soft itu menyatu di wajah dan semakin terlihat cantik, membuat Gerald terlena oleh penampilan official girl-nya.

Pria itu hampir khilaf andai saja tidak ingat status Dinara, sejurus kemudian ia langsung memalingkan muka dan beranjak menuju kasir.

"Ayo!" ajak Gerald.

Dinara melihat jam yang terpajang di dinding, matanya membelalak saat mendapati sudah pukul delapan.

"Astaga ... dua jam aku didandani? Pantas saja mengantuk dari tadi," batinnya.

Kakinya melangkah pelan menuju mobil, khawatir gaunnya rusak. Uang dari mana untuk mengganti? Sementara tanggal gajian masih lama.

Beruntung Gerald memilih sepatu hak pendek, jadi langkahnya bisa tetap nyaman.

Dinara duduk dengan hati-hati, ia tidak banyak bergerak seakan takut gaunnya kenapa-napa.

"Saat di pesta nanti, kau harus pura-pura jadi kekasihku. Kita harus kelihatan mesra di depan banyak orang. Aku akan memberimu bonus besar nanti, dan gaun serta sepatu itu jadi milikmu," ucap Gerald, tanpa menoleh ke samping.

Tangannya masih fokus menyetir, sehingga ia juga tidak sadar kalau tubuh Dinara tersentak.

"Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, tapi saya tidak bisa melakukannya. Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya bukan wanita yang bisa dibayar untuk hal itu, meskipun saya miskin, tapi saya punya prinsip. Saya mau disuruh membawakan barang-barang Anda, tapi tidak untuk berpura-pura jadi kekasih Anda," jawab Dinara yang membuat Gerald sontak menginjak rem.

Belum ada yang menolaknya selama ini, dan Dinara menjadi orang pertama.

"Kau nggak tahu kekuasaanku?! Aku bisa memecatmu dan meminta ganti rugi atas gaun dan sepatu mahal itu. Berani sekali kau menolakku!" desis pria itu.

Dinara menarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan degup jantung karena kaget mobil berhenti mendadak. Dan kini, bertambah menghadapi kemarahan Gerald.

"Saya tahu Anda pemilik perusahaan tempat saya bekerja, dan saya tahu posisi saya. Maka dari itu, saya menolak perintah Anda, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf." Dinara menundukkan kepala, menahan air mata yang mendesak keluar karena terus dibentak.

Ia tidak mau dianggap sebagai wanita murahan, meskipun bonus yang ditawarkan Gerald bernominal besar. Dinara menghormati pernikahannya, ia tetap menjaga batasan meskipun suaminya sendiri tidak setia.

"Jangan membuatku marah, s14l4n! Kau ini staf rendahan, aku sudah baik mengajakmu. Tapi kau menolaknya. Sombong sekali kau! Seperti tidak butuh uang saja." Gerald mencengkram setir dengan erat, kehormatannya seperti dicoreng sekarang.

"Maaf, Pak. Saya hanya akan bekerja untuk uang halal," bisik Dinara.

"Bedeb4h! Keluar kau dari mobilku. Aku mu4k melihat wanita sok jual mahal, kau sok suci dengan menolakku. Pulang sendiri ke kantor dan tunggu surat pemecatannya!" bentak Gerald.

Dinara menganggukkan kepala, tanpa berkata apapun ia langsung turun dan menutup pintu perlahan.

Hal itu semakin membuat Gerald tersentak, ia tidak menyangka Dinara benar-benar keluar. Padahal ia hanya menggertak tadi.

Gerald penasaran siapa sebenarnya Dinara, tidak mungkin seorang staf berani melawan atasannya. Pria itu mengambil ponsel, menelepon Bu Lina untuk meminta data diri Dinara.

"Dia sepetinya bukan wanita sembarangan. S14lan! Dia satu-satunya yang berani menentangku. Lihat saja, aku akan menghancurkan keras kepalanya," gumam Gerald, matanya terus memperhatikan Dinara yang berjalan kaki di trotoar menjauhi mobilnya.

Ponselnya berdenting, sebuah pesan dari Bu Lina langsung membuatnya fokus pada benda pipih itu.

Jemarinya membuka file dokumen yang dikirimkan Bu Lina, ia membaca teliti setiap kalimat yang tertera pada daftar riwayat hidup Dinara.

Detik berikutnya Gerald terbelalak, tidak percaya dengan yang dibacanya. Mulutnya melongo, membaca berulangkali pendidikan terakhir Dinara.

"Sarjana Marketing Communication? T-tidak mungkin. Bagaimana bisa wanita itu seorang sarjana? Oh, astaga ... pantas dia keras sekali!" pekik River.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status