Share

Penolakan

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Tumben pagi-pagi sudah matang?" tanya Reno yang baru saja masuk dapur, semua makanan sudah tertata di meja.

"Aku ada kerjaan, diajak Bosku nanti. Sama temen-temenku juga."

Pria itu mengernyit heran. "Office girl diajak Bos? Kamu nggak menggoda biar diajak 'kan?"

Dinara menghentikan gerakan tangan yang tengah memasukkan makan siang ke kotak bekal, kilatan matanya menatap nyalang ke depan.

"Aku bukan wanita seperti itu."

"Ya, bisa saja 'kan? Jaman sekarang banyak wanita nggak tahu malu, menggoda atasan untuk mendapatkan jabatan," ujar Reno.

"Ngomong apa, sih, Mas? Nggak bisa, ya, sehari saja nggak nuduh-nuduh aku? Oh, iya ... bukannya yang suka menuduh itu malah yang melakukan, ya?" sindir Dinara.

"Apa maksudmu?!" ketus pria itu dengan mata melotot.

"Kamu menuduhku, berarti kamu punya pengalaman dengan itu. Atau jangan-jangan ... kamu juga digoda stafmu dan uangmu diporoti, ya? Makanya jatah bulananku sering tidak diberikan!" netra cantik itu melirik ke arah Reno, Dinara tidak peduli meskipun wajah Reno sudah memerah.

"Kurang ajar! Jaga mulut kotormu itu, Din."

Dinara reflek memejamkan mata mendengar bentakan itu, tetapi nyalinya tidak menciut.

"Jangan sampai aku memukulmu, seharusnya kau bersyukur karena aku masih sabar. Malah seenaknya ngomong yang enggak-enggak!" sentak Reno.

"Kamu yang memulai, Mas. Aku hanya mengimbangi. Kenapa harus marah?" Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, membuat Reno merasa diremehkan.

Baru saja mulutnya terbuka hendak menjawab, tetapi urung saat melihat Azka keluar kamar.

Reno menggendong putranya, menciumi wajah gembul itu dan membuat Azka tertawa riang.

Pemandangan itu membuat hati Dinara semakin sakit, kenapa seorang ayah hanya mencintai putranya, tidak dengan ibunya?

Jarum menunjukkan pukul enam kurang lima belas, Dinara pamit berangkat kerja kepada putranya dan lantas mencegat ojek. Ia sampai di depan gerbang River Coorporation, masih sepi dan hanya ada satpam yang berjaga.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Kaca mobil terbuka, menampilkan pria tampan dalam balutan jas berwarna putih.

"Masuk!" titah Gerald sambil membukakan pintu dari dalam.

"S-saya di belakang saja, Pak," ucap Dinara, lirih. Takut atasannya itu tersinggung.

"Kau kira aku supirmu?! Enak saja di belakang."

Dinara langsung masuk dan duduk di samping Gerald, bibirnya mengucapkan permisi yang hanya diangguki oleh sosok pria angkuh itu.

"Aku akan mengantarmu ke salon. Tidak mungkin membawamu dengan penampilan seperti itu, yang ada aku jadi bahan olok-olokan," ucap Gerald.

Dinara gatal sekali ingin menjawab, tetapi takut tubuhnya dilempar keluar.

"Undangan hari ini adalah reuni, ada banyak teman-temanku di sana, terutama yang dari luar negeri. Kau jangan katakan apapun saat di sana, cukup mengikutiku ke mana saja. Aku yakin kau tidak akan paham pembahasan kami, jadi lebih baik diam daripada membuat malu!" perintah Gerald.

Dinara mengerutkan kening. Bukankah kemarin atasannya itu mengatakan ada urusan pekerjaan? Dan ia disuruh membawakan barang-barang karena asisten pribadinya Gerald libur? Lagipula, mana ada reuni jam enam pagi?

Kenapa sekarang berubah? Bosnya itu sungguh tidak masuk akal.

"Ya sudahlah, mungkin setelah reuni ngurus kerajaannya. Aku nggak bisa protes sekarang," batin Dinara, berusaha menyakinkan diri meskipun ada perasaan mengganjal.

Mobil berhenti di sebuah butik besar dan terkenal di kota ini, Gerald mengajak Dinara masuk dan meminta salah satu staf untuk mendandani.

Pria itu memilih satu gaun panjang berwarna hitam, lantas memberikan kepada staf agar dipakaikan ke tubuh Dinara.

Menit berlalu ....

Setelah menunggu lama, pintu ruang fitting terbuka. Gerald menoleh, kedua pupil matanya membesar melihat Dinara yang sudah sangat berbeda.

"Gil4! D-dia beneran cantik," batinnya.

Aroma parfum menguar, riasan soft itu menyatu di wajah dan semakin terlihat cantik, membuat Gerald terlena oleh penampilan official girl-nya.

Pria itu hampir khilaf andai saja tidak ingat status Dinara, sejurus kemudian ia langsung memalingkan muka dan beranjak menuju kasir.

"Ayo!" ajak Gerald.

Dinara melihat jam yang terpajang di dinding, matanya membelalak saat mendapati sudah pukul delapan.

"Astaga ... dua jam aku didandani? Pantas saja mengantuk dari tadi," batinnya.

Kakinya melangkah pelan menuju mobil, khawatir gaunnya rusak. Uang dari mana untuk mengganti? Sementara tanggal gajian masih lama.

Beruntung Gerald memilih sepatu hak pendek, jadi langkahnya bisa tetap nyaman.

Dinara duduk dengan hati-hati, ia tidak banyak bergerak seakan takut gaunnya kenapa-napa.

"Saat di pesta nanti, kau harus pura-pura jadi kekasihku. Kita harus kelihatan mesra di depan banyak orang. Aku akan memberimu bonus besar nanti, dan gaun serta sepatu itu jadi milikmu," ucap Gerald, tanpa menoleh ke samping.

Tangannya masih fokus menyetir, sehingga ia juga tidak sadar kalau tubuh Dinara tersentak.

"Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, tapi saya tidak bisa melakukannya. Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya bukan wanita yang bisa dibayar untuk hal itu, meskipun saya miskin, tapi saya punya prinsip. Saya mau disuruh membawakan barang-barang Anda, tapi tidak untuk berpura-pura jadi kekasih Anda," jawab Dinara yang membuat Gerald sontak menginjak rem.

Belum ada yang menolaknya selama ini, dan Dinara menjadi orang pertama.

"Kau nggak tahu kekuasaanku?! Aku bisa memecatmu dan meminta ganti rugi atas gaun dan sepatu mahal itu. Berani sekali kau menolakku!" desis pria itu.

Dinara menarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan degup jantung karena kaget mobil berhenti mendadak. Dan kini, bertambah menghadapi kemarahan Gerald.

"Saya tahu Anda pemilik perusahaan tempat saya bekerja, dan saya tahu posisi saya. Maka dari itu, saya menolak perintah Anda, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf." Dinara menundukkan kepala, menahan air mata yang mendesak keluar karena terus dibentak.

Ia tidak mau dianggap sebagai wanita murahan, meskipun bonus yang ditawarkan Gerald bernominal besar. Dinara menghormati pernikahannya, ia tetap menjaga batasan meskipun suaminya sendiri tidak setia.

"Jangan membuatku marah, s14l4n! Kau ini staf rendahan, aku sudah baik mengajakmu. Tapi kau menolaknya. Sombong sekali kau! Seperti tidak butuh uang saja." Gerald mencengkram setir dengan erat, kehormatannya seperti dicoreng sekarang.

"Maaf, Pak. Saya hanya akan bekerja untuk uang halal," bisik Dinara.

"Bedeb4h! Keluar kau dari mobilku. Aku mu4k melihat wanita sok jual mahal, kau sok suci dengan menolakku. Pulang sendiri ke kantor dan tunggu surat pemecatannya!" bentak Gerald.

Dinara menganggukkan kepala, tanpa berkata apapun ia langsung turun dan menutup pintu perlahan.

Hal itu semakin membuat Gerald tersentak, ia tidak menyangka Dinara benar-benar keluar. Padahal ia hanya menggertak tadi.

Gerald penasaran siapa sebenarnya Dinara, tidak mungkin seorang staf berani melawan atasannya. Pria itu mengambil ponsel, menelepon Bu Lina untuk meminta data diri Dinara.

"Dia sepetinya bukan wanita sembarangan. S14lan! Dia satu-satunya yang berani menentangku. Lihat saja, aku akan menghancurkan keras kepalanya," gumam Gerald, matanya terus memperhatikan Dinara yang berjalan kaki di trotoar menjauhi mobilnya.

Ponselnya berdenting, sebuah pesan dari Bu Lina langsung membuatnya fokus pada benda pipih itu.

Jemarinya membuka file dokumen yang dikirimkan Bu Lina, ia membaca teliti setiap kalimat yang tertera pada daftar riwayat hidup Dinara.

Detik berikutnya Gerald terbelalak, tidak percaya dengan yang dibacanya. Mulutnya melongo, membaca berulangkali pendidikan terakhir Dinara.

"Sarjana Marketing Communication? T-tidak mungkin. Bagaimana bisa wanita itu seorang sarjana? Oh, astaga ... pantas dia keras sekali!" pekik River.

Related chapters

  • Bukan Wanita Simpanan    Ketidakberdayaan

    Gerald sampai di kantor dan langsung keluar dari mobil, ia menyerahkan kunci mobil kepada bodyguard yang akan memarkirkan mobilnya.Kakinya melangkah menuju ruang HRD, menanyakan tantang surat lamaran Dinara."Apa kau tidak melihat kalau dia sarjana marketing? Seharusnya dia tidak melamar untuk posisi office girl. Meksipun bukan fresh graduate, tapi masih bisa dipertimbangkan," cecar pria itu."Saya melihat, Pak. Tapi saat ini tidak ada lowongan untuk staf pemasaran," jelas HRD ber-name tag Bayu tersebut."Panggil Dinara untuk interview, kalau kemampuannya mumpuni, tempatkan dia di staf pemasaran," ucap Gerald."Bak, Pak. Saya akan melakukannya."Gerald menaruh map berisi surat lamaran kerja Dinara ke atas meja. "Tapi jangan langsung dipindahkan tugas, biarkan selama satu bulan dulu dia jadi office girl. Aku mau lihat apakah dia sombong, atau tetap rendah hati.""Baik, Pak." Bayu mengangguk hormat, selanjutnya Gerald bangkit dan beranjak keluar.Pria itu menemui Bu Lina di ruangannya,

  • Bukan Wanita Simpanan    Bukti Perselingkuhan

    Dinara tiba di rumah dan langsung memasak, wanita itu tidak terlalu fokus saat memasukkan bumbu karena masih memikirkan ucapan Nada tadi. "Bagaimana cara mengumpulkan bukti perselingkuhan? Ponselnya Mas Reno dikunci, aku nggak bisa buka sesukanya," batin Dinara.Terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak sadar ikannya gosong. Baunya menyeruak ke seluruh dapur hingga rumah, membuat Yuyun yang tengah bersantai di depan televisi beranjak ke dapur."Ya ampun, Dinara ... kamu ini mau masak atau bakar dapur?!" Dinara gelagapan mendengar teriakan mertuanya, tangannya segera mematikan kompor dan mengangkat dua ekor ikan yang tampak mengenaskan. "Sudah tahu harga gas naik, malah dibuang-buang! Minyaknya juga gosong, nggak enak kalau buat masak lagi. Kamu ini bisanya cuma boros, belum gajian sudah menghabiskan bahan dapur. Pasti besok akan minta uang anakku buat beli bahan-bahan yang kamu buang ini!" ketus wanita paruh baya itu.Yuyun mengambil sendok dan mencicipi tumis kangkung yang terliha

  • Bukan Wanita Simpanan    Tidak Cemburu

    Gerald datang ke kantor pagi-pagi sekali, sengaja karena ingin menunggu Dinara. Pria itu berencana meluapkan kekesalannya, kepalanya masih berdenyut memikirkan desakan orang tuanya yang semakin hari semakin tidak masuk akal."Nah, itu dia!" pekiknya saat melihat Dinara keluar dari lift karyawan.Kedua tangannya penuh dengan alat pel, kain lap tersampir di pundaknya.Namun, bukannya ilfeel, Gerald malah semakin kagum dengan Dinara. Apalagi saat Dinara menguncir rambutnya ke belakang, leher jenjang nan putih itu membuat mata Gerald tidak bisa berkedip."Kamu terlambat, harus menerima hukuman," celetuknya yang jelas saja membuat Dinara kaget.Dinara melihat jam tangan, jarumnya menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, sedangkan jam kerjanya dimulai jam tujuh. Bagaimana bisa dikatakan terlambat? Padahal absennya saja lebih pagi dari jam masuk."Maaf, Pak. Setahu saya, saya mulai bekerja jam tujuh. Dan sekarang masih jam tujuh kurang, saya juga sudah absen di bawah. Jadi, saya tidak bisa

  • Bukan Wanita Simpanan    Pelakor VS Istri Sah

    "Kenapa lama sekali angkat teleponnya?" sentak Gerald dari seberang telepon."Maaf, Pak. Saya baru sampai rumah. Ada apa, ya, Pak?" tanya Dinara."Aku butuh seseorang yang bisa ku ajak ke pesta bisnis nanti malam, aku akan membawa banyak kado untuk kolega-kolegaku. Tidak mungkin aku membawanya sendiri, jadi ... aku berpikir kau bisa membawanya," jelas Gerald.Wanita itu mengerutkan kening. "Maksudnya bagaimana, ya, Pak?""Kau bertanya maksudku? Kenapa kau tidak bisa langsung paham?!"Dinara menjauhkan ponselnya saat gendang telinganya berdengung. Gerald benar-benar tidak berprikemanusiaan, berbicara langsung atau dari telepon tetap saja suka membentak-bentak."Maaf, Pak. Saya memang tidak paham maksud Bapak," jawabnya.Terdengar helaan napas kasar. "Kau ini memancing kekesalan saja bisanya. Maksudnya aku memintamu untuk ikut ke pesta bisnis, tugasmu nanti membawakan kado-kado untuk para kolega.""Hah ... s-saya ikut ke pesta bisnis, Pak?" "Dasar bodoh! Jangan memintaku untuk mengulan

  • Bukan Wanita Simpanan    Sindiran Pedas

    "Papa ...," panggil Azka yang baru pulang bermain, anak kecil itu memegang bola, tatapan matanya bingung melihat ketiga orang dewasa yang tengah berseteru. "Suara Papa terdengar dari luar, apa Papa sedang marah?""Sayang." Reno langsung menurunkan tangan dan berbalik badan, pria itu menghampiri putranya lalu menggendong tubuh mungil itu. "Tidak, Nak. Mungkin kamu hanya salah dengar."Yuyun ikut khawatir kalau cucunya mendengar suara yang tidak-tidak. Bibirnya mencebik, menganggap Dinara adalah penyebab dari kesalahpahaman sang cucu."Gara-gara kamu cucuku jadi salah paham. Awas aja kalau sampai Azka tanya macam-macam! Dan ... kali ini kamu memang aman, tapi lihat saja suatu saat nanti kalau kamu masih berani mencari gara-gara kepada Bella," bisiknya tepat di telinga Dinara.Yuyun menghampiri cucunya yang ada di gendongan Reno, ia mengajak Azka mandi dan anak laki-laki itu langsung mengangguk.Meninggalkan Reno dan Dinara di depan kamar mereka. "Untung saja ada putraku, Din. Jadi aku

  • Bukan Wanita Simpanan    Pesta Bisnis

    Setelah sampai di Kediaman Nada, Dinara langsung mendudukkan dirinya di ruang tamu. Nada tinggal sendirian, wanita itu sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. "Yang kamu katakan di pesan chat tadi beneran?!" tanya Nada yang baru saja keluar dari kamar. Kedua bola matanya membelalak, terkejut saat sahabatnya mengirim pesan dan mengatakan bahwa mereka akan diajak ke pesta bisnis oleh Gerald.Dinara mengangguk. "Memang beneran, kok. Katanya kita disuruh bawa kado yang akan diberikan untuk kolega-koleganya Pak Gerald. Kayaknya ada banyak kado, deh. Soalnya kalau hanya sedikit nggak mungkin beliau mengajak kita, beliau cukup dengan asisten pribadinya saja.""Iya juga, sih," sahut Nada. "Tapi aku nggak punya baju bagus, nanti malu-maluin nggak, ya?""Ayo aku bantu siap-siap di kamar. Tiga puluh menit lagi mungkin Pak Gerald sudah sampai, jangan sampai kita belum siap. Nanti kena marah," kata Dinara.Nada mengangguk dan lantas bangkit dari duduk, kedua wanita itu beran

  • Bukan Wanita Simpanan    Tatapannya Berbeda

    Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, pesta baru berakhir. Mobil mewah itu membawa Dinara dan Nada pulang, tidak lupa Gerald memberikan bonus besar untuk dua wanita itu."Nad, kita kemalaman banget. Ini sudah jam setengah satu. Maaf, ya," ucap Dinara."Kenapa harus minta maaf? Malah aku berterimakasih karena kamu ajak, aku dapat banyak bonus dari Pak Gerald," sahut Nada.Dinara memeluk erat sahabatnya, mengucapkan banyak terima kasih telah menemani malam ini."Kamu tidur sini saja, Din.""Kasihan Azka kalau aku nginep sini, nanti dia nyariin. Azka suka kebangun malam-malam, nanti Mas Reno marah kalau anaknya nyariin aku tapi aku nggak ada," jelas Dinara. "Yakin?" Nada menatap khawatir, jalanan sepi dan takut Dinara kenapa-napa.Namun, Dinara terus meyakinkan Nada hingga akhirnya sahabatnya itu mengizinkannya pulang. Dinara menitipkan gaun mahal pemberian Gerald di rumah Nada, khawatir Reno melihatnya nanti.Beruntung Dinara punya satu kunci cadangan, jadi dia bisa langsung masuk r

  • Bukan Wanita Simpanan    Berubah Sikap

    Hari-hari berlalu begitu cepat sejak ajakan ke pesta bisnis itu, Dinara mengerjakan pekerjaan dengan baik meskipun seluruh badannya pegal linu.Pagi ini, tiba-tiba Yuyun berteriak-teriak memanggil namanya, memintanya untuk datang ke kamar wanita paruh baya itu."Ada apa, Ma?" tanya Dinara yang datang tergopoh-gopoh."Lama banget, sih?!" sentak Yuyun. "Badan Mama nggak enak, kayaknya masuk angin. Kamu kerokin dulu, ya."Dinara melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Wanita itu mengangguk, lantas mendekat ke ranjang dan mulai melakukan permintaan mertuanya."Agak kenceng, Din. Biar kerasa"."Iya, Ma." Dinara juga mengoleskan minyak urut, hingga Yuyun beberapa kali bersendawa."Merah, Din?" tanya Yuyun sambil menengok sedikit ke belakang."Iya, Ma. Beneran masuk angin ini."Wanita paruh baya itu mendengus kasar. "Ya beneran, lah. Masa Mama sakit bohongan, ini gara-gara kecapekan ngurus Azka."Dinara tidak menyahut, ia memilih cepat-cepat menyelesaikan agar bisa seg

Latest chapter

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 86

    Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 85 || Ingin Pergi

    Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 84 || Pulang

    Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 83 || Mau Pulang!

    Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 82 || Ashley

    Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 81 || Masa Lalu Kembali

    Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 80 || Dinara Bangun

    Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 79 || Amarah Bella

    Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 78 || Siang Panas

    Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah

DMCA.com Protection Status