Waktu menunjukkan pukul dua belas malam, pesta baru berakhir. Mobil mewah itu membawa Dinara dan Nada pulang, tidak lupa Gerald memberikan bonus besar untuk dua wanita itu."Nad, kita kemalaman banget. Ini sudah jam setengah satu. Maaf, ya," ucap Dinara."Kenapa harus minta maaf? Malah aku berterimakasih karena kamu ajak, aku dapat banyak bonus dari Pak Gerald," sahut Nada.Dinara memeluk erat sahabatnya, mengucapkan banyak terima kasih telah menemani malam ini."Kamu tidur sini saja, Din.""Kasihan Azka kalau aku nginep sini, nanti dia nyariin. Azka suka kebangun malam-malam, nanti Mas Reno marah kalau anaknya nyariin aku tapi aku nggak ada," jelas Dinara. "Yakin?" Nada menatap khawatir, jalanan sepi dan takut Dinara kenapa-napa.Namun, Dinara terus meyakinkan Nada hingga akhirnya sahabatnya itu mengizinkannya pulang. Dinara menitipkan gaun mahal pemberian Gerald di rumah Nada, khawatir Reno melihatnya nanti.Beruntung Dinara punya satu kunci cadangan, jadi dia bisa langsung masuk r
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak ajakan ke pesta bisnis itu, Dinara mengerjakan pekerjaan dengan baik meskipun seluruh badannya pegal linu.Pagi ini, tiba-tiba Yuyun berteriak-teriak memanggil namanya, memintanya untuk datang ke kamar wanita paruh baya itu."Ada apa, Ma?" tanya Dinara yang datang tergopoh-gopoh."Lama banget, sih?!" sentak Yuyun. "Badan Mama nggak enak, kayaknya masuk angin. Kamu kerokin dulu, ya."Dinara melihat jam tangannya, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Wanita itu mengangguk, lantas mendekat ke ranjang dan mulai melakukan permintaan mertuanya."Agak kenceng, Din. Biar kerasa"."Iya, Ma." Dinara juga mengoleskan minyak urut, hingga Yuyun beberapa kali bersendawa."Merah, Din?" tanya Yuyun sambil menengok sedikit ke belakang."Iya, Ma. Beneran masuk angin ini."Wanita paruh baya itu mendengus kasar. "Ya beneran, lah. Masa Mama sakit bohongan, ini gara-gara kecapekan ngurus Azka."Dinara tidak menyahut, ia memilih cepat-cepat menyelesaikan agar bisa seg
"Nad, kamu mau makan apa? Aku mau beli makan di cafe depan," kata Dinara saat baru saja keluar dari ruangan Gerald. "Makan? Aku nggak lapar, tadi sudah sarapan. Kamu beli saja sendiri," jawab wanita berambut sebahu itu. "Aku belikan minum sama cemilan, ya. Tadi Pak Gerald kasih seratus ribu, katanya suruh beli sarapan," bisik Dinara, ujung netranya melirik ke pintu ruangan CEO. "Tapi jangan bilang-bilang kalau aku bagi uangnya sama kamu." Nada mengangguk paham, wanita itu menunjukkan jempol kepada sahabatnya. "Tapi tumben Pak Gerald kasih uang. Ada apa?" tanya Nada, dengan suara lirih. "Beliau tadi tanya aku sudah sarapan apa belum, dan aku jawab belum. Akhirnya kasih uang buat beli makanan, katanya takut aku kemas dan perusahaan harus mengeluarkan biaya mahal buat bayar dokter kalau aku kenapa-napa," jelas Dinara. Nada menatap penuh selidik, seakan tidak percaya kalau hanya itu alasan atasannya memperhatikan Dinara. "Ya ... aku bersyukur, Nad. Pak Gerald sudah nggak ter
"Din ... langsung masak, ya. Nanti malam ada arisan, mama belum masak sama sekali. Itu 'kan tugas kamu yang biasanya masak," ucap Yuyun saat melihat menantunya baru masuk rumah. "Oh, iya ... bersihkan ruang tamunya dulu. Jadi, nanti kalau teman-teman mama datang, semuanya sudah rapi," sambungnya.Tidak peduli Dinara yang capek baru pulang kerja, sudah disuruh memasak dan beres-beres."Arisannya jam berapa, Ma?" tanya Dinara dengan malas."Jam tujuh malam. Nggak banyak, kok, masaknya. Cuma penyetan ayam sama sayur asem untuk dua puluh orang."Dinara melongo tidak percaya."Hanya dua jam, Ma, waktunya? Itu singkat banget. Meskipun hanya penyetan, tapi untuk dua puluh orang itu juga banyak," kata Dinara dengan suara lirih.Yuyun mencebik emosi. "Kamu mau bantu mama apa nggak? Mama nggak butuh ceramah. Kalau nggak bantu pergi saja sana ke kamar, menantu satu bisanya cuma nyusahin nggak mau bantuin orang tua. Nyesel mama merestui Reno saat menikahimu dulu," cecar Yuyun yang meremek ke mana
Dinara membiarkan makanan teronggok begitu saja di meja makan, dia memilih ke kamar Azka untuk istirahat. Entah sudah jam berapa, wanita itu terbangun karena merasa kantong kemihnya penuh. Kepalanya melihat ke samping, Azka sudah terlelap. Dinara beranjak ke kamar mandi, matanya membola melihat sampah bekas makanan dan minuman tercecer di ruang tamu."Apa mereka nggak bisa membersihkan?!" pekik Dinara. Netranya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari, Dinara meneruskan langkah ke kamar mandi. Baru setelahnya membereskan ruang tamu."Sampah kayak gini tinggal masukin kantong plastik, lalu dibuang besok pagi memangnya apa susahnya? Mama bisa saja mencarikan pekerjaan untukku." Wanita itu geram sekali.Kalau tidak dibersihkan, mertuanya akan marah-marah. Padahal kekacauan ini juga ulah mertuanya."Akhirnya selesai juga," gumamnya saat semua sampah sudah terkumpul menjadi satu di kantong plastik besar.Dinara hendak membawa ke dapur, tetapi suara deru motor yang memasu
"Turun!" Gerald mengatakannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dinara.Sangat dingin, mengalahkan AC mobil mewah ini. "Baik, Pak. Terima kasih untuk tumpangannya," kata wanita itu sambil melepaskan tautan sabuk pengaman. Dinara turun dan menutup pintu mobil dengan pelan, khawatir mobil mahal itu lecet. Jarak dari kantor masih seratus meter, Dinara berjalan santai setelah mobil atasannya melaju lebih dulu. Di gerbang, ternyata Nada telah menunggunya. Sahabatnya itu kaget karena Dinara jalan kaki. "Biasanya kamu naik ojek? Ngapain sekarang jalan?" "Tadi ojeknya berhenti di sana, Nad." Dinara menunjuk ke arah dia berjalan tadi. "Aku sengaja nggak minta berhenti di depan gerbang, pengen jalan saja biar sedikit sehat."Nada mengangguk sambil terus memperhatikan sahabatnya yang tampak aneh, wajah Dinara seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, Nada urung bertanya lebih lanjut karena mereka harus segera masuk karena sepuluh menit lagi jam kerja sudah dimulai."Aku kaget waktu Bu Lina me
"Ada apa ini?" tanya Reno yang baru saja pulang dari kantor.Yuyun menghampiri putranya. "Ini, loh .., tadi Mama pakai uang Dinara buat belanja sama bayar arisan, tapi dia marah-marah sampai tega membentak Mama."Reno menatap tajam istrinya, kilatan matanya terlihat begitu kelam. "Kamu tega membentak Mama?"Pertanyaan itu membuat Dinara semakin panas. Kenapa tidak ada yang membelanya?"Itu uang untuk jaga bayar study tournya Azka, Mas," bisik Dinara."Bayar study tour biasanya juga pakai uangku, kok. Biarkan saja Mama pakai uangmu, apa yang menjadi milikmu juga menjadi milik Mama. Karena kamu tinggal di rumahnya Mama, Din," jawab Reno.Dinara semakin menganga mendengarnya. Enteng sekali suaminya mengatakan seperti itu, tanpa peduli perasaannya."Nggak bisa kayak gitu, dong, Mas. Aku kerja mati-matian cari uang, tapi yang menikmati hasilnya malah Mama. Aku sendiri nahan-nahan buat nggak belanja, kenapa Mama tega belanja pakai uangku? Nggak ngomong apa-apa lagi," rintih Dinara.Air mata
Gerald memanggil Dinara untuk masuk ke ruangannya, pria itu meminta Dinara membersihkan kamar mandi. Dinara dengan sigap melakukannya, meskipun hari ini belum jadwalnya membersihkan kamar mandi. Setelah hampir setengah jam, Dinara sudah selesai. Dia keluar sambil membawa alat kebersihan. "Saya sudah selesai, Pak." "Oh, iya, sekalian bersihkan kaca jendela," kata Gerald yang membuat Dinara langsung mengangguk patuh. Memangnya dia bisa apa lagi? Ini memang tugasnya sebagai office girl. Dinara tidak sadar kalau Gerald memperhatikan tubuhnya dari belakang, diam-diam pria itu mengagumi Dinara. Ingin rasanya segera membawa Dinara ke hadapan orang tuanya, tetapi masih bingung bagaimana cara mengatakan. Dia tidak mau menerima penolakan dari Dinara untuk yang kedua kalinya, itu hanya akan merendahkan harga diri. "Setelah ini jangan lupa buang sampah," ujar Gerald. "Baik, Pak." Dinara masih terus membersihkan kaca jendela, sebenarnya tidak sopan saat bosnya bekerja dia bersih-bersih.