"Nad, kamu mau makan apa? Aku mau beli makan di cafe depan," kata Dinara saat baru saja keluar dari ruangan Gerald. "Makan? Aku nggak lapar, tadi sudah sarapan. Kamu beli saja sendiri," jawab wanita berambut sebahu itu. "Aku belikan minum sama cemilan, ya. Tadi Pak Gerald kasih seratus ribu, katanya suruh beli sarapan," bisik Dinara, ujung netranya melirik ke pintu ruangan CEO. "Tapi jangan bilang-bilang kalau aku bagi uangnya sama kamu." Nada mengangguk paham, wanita itu menunjukkan jempol kepada sahabatnya. "Tapi tumben Pak Gerald kasih uang. Ada apa?" tanya Nada, dengan suara lirih. "Beliau tadi tanya aku sudah sarapan apa belum, dan aku jawab belum. Akhirnya kasih uang buat beli makanan, katanya takut aku kemas dan perusahaan harus mengeluarkan biaya mahal buat bayar dokter kalau aku kenapa-napa," jelas Dinara. Nada menatap penuh selidik, seakan tidak percaya kalau hanya itu alasan atasannya memperhatikan Dinara. "Ya ... aku bersyukur, Nad. Pak Gerald sudah nggak ter
"Din ... langsung masak, ya. Nanti malam ada arisan, mama belum masak sama sekali. Itu 'kan tugas kamu yang biasanya masak," ucap Yuyun saat melihat menantunya baru masuk rumah. "Oh, iya ... bersihkan ruang tamunya dulu. Jadi, nanti kalau teman-teman mama datang, semuanya sudah rapi," sambungnya.Tidak peduli Dinara yang capek baru pulang kerja, sudah disuruh memasak dan beres-beres."Arisannya jam berapa, Ma?" tanya Dinara dengan malas."Jam tujuh malam. Nggak banyak, kok, masaknya. Cuma penyetan ayam sama sayur asem untuk dua puluh orang."Dinara melongo tidak percaya."Hanya dua jam, Ma, waktunya? Itu singkat banget. Meskipun hanya penyetan, tapi untuk dua puluh orang itu juga banyak," kata Dinara dengan suara lirih.Yuyun mencebik emosi. "Kamu mau bantu mama apa nggak? Mama nggak butuh ceramah. Kalau nggak bantu pergi saja sana ke kamar, menantu satu bisanya cuma nyusahin nggak mau bantuin orang tua. Nyesel mama merestui Reno saat menikahimu dulu," cecar Yuyun yang meremek ke mana
Dinara membiarkan makanan teronggok begitu saja di meja makan, dia memilih ke kamar Azka untuk istirahat. Entah sudah jam berapa, wanita itu terbangun karena merasa kantong kemihnya penuh. Kepalanya melihat ke samping, Azka sudah terlelap. Dinara beranjak ke kamar mandi, matanya membola melihat sampah bekas makanan dan minuman tercecer di ruang tamu."Apa mereka nggak bisa membersihkan?!" pekik Dinara. Netranya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari, Dinara meneruskan langkah ke kamar mandi. Baru setelahnya membereskan ruang tamu."Sampah kayak gini tinggal masukin kantong plastik, lalu dibuang besok pagi memangnya apa susahnya? Mama bisa saja mencarikan pekerjaan untukku." Wanita itu geram sekali.Kalau tidak dibersihkan, mertuanya akan marah-marah. Padahal kekacauan ini juga ulah mertuanya."Akhirnya selesai juga," gumamnya saat semua sampah sudah terkumpul menjadi satu di kantong plastik besar.Dinara hendak membawa ke dapur, tetapi suara deru motor yang memasu
"Turun!" Gerald mengatakannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dinara.Sangat dingin, mengalahkan AC mobil mewah ini. "Baik, Pak. Terima kasih untuk tumpangannya," kata wanita itu sambil melepaskan tautan sabuk pengaman. Dinara turun dan menutup pintu mobil dengan pelan, khawatir mobil mahal itu lecet. Jarak dari kantor masih seratus meter, Dinara berjalan santai setelah mobil atasannya melaju lebih dulu. Di gerbang, ternyata Nada telah menunggunya. Sahabatnya itu kaget karena Dinara jalan kaki. "Biasanya kamu naik ojek? Ngapain sekarang jalan?" "Tadi ojeknya berhenti di sana, Nad." Dinara menunjuk ke arah dia berjalan tadi. "Aku sengaja nggak minta berhenti di depan gerbang, pengen jalan saja biar sedikit sehat."Nada mengangguk sambil terus memperhatikan sahabatnya yang tampak aneh, wajah Dinara seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, Nada urung bertanya lebih lanjut karena mereka harus segera masuk karena sepuluh menit lagi jam kerja sudah dimulai."Aku kaget waktu Bu Lina me
"Ada apa ini?" tanya Reno yang baru saja pulang dari kantor.Yuyun menghampiri putranya. "Ini, loh .., tadi Mama pakai uang Dinara buat belanja sama bayar arisan, tapi dia marah-marah sampai tega membentak Mama."Reno menatap tajam istrinya, kilatan matanya terlihat begitu kelam. "Kamu tega membentak Mama?"Pertanyaan itu membuat Dinara semakin panas. Kenapa tidak ada yang membelanya?"Itu uang untuk jaga bayar study tournya Azka, Mas," bisik Dinara."Bayar study tour biasanya juga pakai uangku, kok. Biarkan saja Mama pakai uangmu, apa yang menjadi milikmu juga menjadi milik Mama. Karena kamu tinggal di rumahnya Mama, Din," jawab Reno.Dinara semakin menganga mendengarnya. Enteng sekali suaminya mengatakan seperti itu, tanpa peduli perasaannya."Nggak bisa kayak gitu, dong, Mas. Aku kerja mati-matian cari uang, tapi yang menikmati hasilnya malah Mama. Aku sendiri nahan-nahan buat nggak belanja, kenapa Mama tega belanja pakai uangku? Nggak ngomong apa-apa lagi," rintih Dinara.Air mata
Gerald memanggil Dinara untuk masuk ke ruangannya, pria itu meminta Dinara membersihkan kamar mandi. Dinara dengan sigap melakukannya, meskipun hari ini belum jadwalnya membersihkan kamar mandi. Setelah hampir setengah jam, Dinara sudah selesai. Dia keluar sambil membawa alat kebersihan. "Saya sudah selesai, Pak." "Oh, iya, sekalian bersihkan kaca jendela," kata Gerald yang membuat Dinara langsung mengangguk patuh. Memangnya dia bisa apa lagi? Ini memang tugasnya sebagai office girl. Dinara tidak sadar kalau Gerald memperhatikan tubuhnya dari belakang, diam-diam pria itu mengagumi Dinara. Ingin rasanya segera membawa Dinara ke hadapan orang tuanya, tetapi masih bingung bagaimana cara mengatakan. Dia tidak mau menerima penolakan dari Dinara untuk yang kedua kalinya, itu hanya akan merendahkan harga diri. "Setelah ini jangan lupa buang sampah," ujar Gerald. "Baik, Pak." Dinara masih terus membersihkan kaca jendela, sebenarnya tidak sopan saat bosnya bekerja dia bersih-bersih.
Di sisi lain, Dinara yang sudah bersiap untuk pulang pun urung tatkala mendengar ponselnya berdering. Gegas dia membukanya, ternyata pesan dari Gerald yang mengatakan besok ingin dibawakan menu sarapan. "Tumben banget Pak Gerald nyuruh bikinin sarapan? Ah, apa ini juga job desk office girl, ya?" Dinara langsung mengiyakan karena tidak terlalu paham, toh dia tadi sudah menerima bonus banyak. Moodnya kembali baik, dia akan menuruti permintaan Gerald tanpa protes kali ini. Tidak lupa menanyakan ingin dibawakan menu apa, sambil menunggu balasan atasannya, Dinara melihat-lihat pesan teks yang belum sempat dibukanya tadi. Sejenak kemudian keningnya mengerut saat mendapati nomor suaminya mengirimkannya pesan. "Tumben Mas Reno kirim foto. Biasanya nggak pernah," gumamnya. Namun, karena rasa penasaran yang cukup tinggi, akhirnya Dinara membukanya. Sepersekian detik kemudian matanya melotot dengan mulut yang menganga lebar. Jantungnya seolah berhenti, dia bisa merasakan seluruh dara
Bella menahan napas guna meredam amarahnya. Ini pertama kalinya ia kalah berargumen dengan orang lain, apalagi Reno yang hanya diam saja. Ah, kekalahan pagi ini semakin membuatnya muak.kenapa juga Reno tidak membelanya? Apa kekasihnya itu sudah lupa tentang yang mereka lakukan semalam, hingga rela melihat dirinya di hina begitu saja? Ah, menyebalkan! "Awas saja kamu, Din. Suatu saat aku akan balas kamu dengan lebih memalukan dari ini. Jangan kamu lupa,. mertuamu ada di pihakku.""Aku tunggu," timpal Dinara.Bella menggeram kesal. Sekali lagi netranya melirik pada Reno yang masih diam saja, paginya kali ini benar-benar kacau."Aku kecewa sama kamu, Mas. Setelah apa yang kuberikan, kamu nggak membelaku saat dihina oleh istrimu!" pekik Bella."Bukan begitu maksudku, Bell. Aku baru pulang, loh. Badanku capek banget. Hari ini saja aku izin nggak masuk, takut nggak fokus bekerja." Pria itu menarik napas dalam kemudian menghembuskannya kasar. "Tapi kamu malah datang marah-marah"Bella memb