"Ada apa ini?" tanya Reno yang baru saja pulang dari kantor.Yuyun menghampiri putranya. "Ini, loh .., tadi Mama pakai uang Dinara buat belanja sama bayar arisan, tapi dia marah-marah sampai tega membentak Mama."Reno menatap tajam istrinya, kilatan matanya terlihat begitu kelam. "Kamu tega membentak Mama?"Pertanyaan itu membuat Dinara semakin panas. Kenapa tidak ada yang membelanya?"Itu uang untuk jaga bayar study tournya Azka, Mas," bisik Dinara."Bayar study tour biasanya juga pakai uangku, kok. Biarkan saja Mama pakai uangmu, apa yang menjadi milikmu juga menjadi milik Mama. Karena kamu tinggal di rumahnya Mama, Din," jawab Reno.Dinara semakin menganga mendengarnya. Enteng sekali suaminya mengatakan seperti itu, tanpa peduli perasaannya."Nggak bisa kayak gitu, dong, Mas. Aku kerja mati-matian cari uang, tapi yang menikmati hasilnya malah Mama. Aku sendiri nahan-nahan buat nggak belanja, kenapa Mama tega belanja pakai uangku? Nggak ngomong apa-apa lagi," rintih Dinara.Air mata
Gerald memanggil Dinara untuk masuk ke ruangannya, pria itu meminta Dinara membersihkan kamar mandi. Dinara dengan sigap melakukannya, meskipun hari ini belum jadwalnya membersihkan kamar mandi. Setelah hampir setengah jam, Dinara sudah selesai. Dia keluar sambil membawa alat kebersihan. "Saya sudah selesai, Pak." "Oh, iya, sekalian bersihkan kaca jendela," kata Gerald yang membuat Dinara langsung mengangguk patuh. Memangnya dia bisa apa lagi? Ini memang tugasnya sebagai office girl. Dinara tidak sadar kalau Gerald memperhatikan tubuhnya dari belakang, diam-diam pria itu mengagumi Dinara. Ingin rasanya segera membawa Dinara ke hadapan orang tuanya, tetapi masih bingung bagaimana cara mengatakan. Dia tidak mau menerima penolakan dari Dinara untuk yang kedua kalinya, itu hanya akan merendahkan harga diri. "Setelah ini jangan lupa buang sampah," ujar Gerald. "Baik, Pak." Dinara masih terus membersihkan kaca jendela, sebenarnya tidak sopan saat bosnya bekerja dia bersih-bersih.
Di sisi lain, Dinara yang sudah bersiap untuk pulang pun urung tatkala mendengar ponselnya berdering. Gegas dia membukanya, ternyata pesan dari Gerald yang mengatakan besok ingin dibawakan menu sarapan. "Tumben banget Pak Gerald nyuruh bikinin sarapan? Ah, apa ini juga job desk office girl, ya?" Dinara langsung mengiyakan karena tidak terlalu paham, toh dia tadi sudah menerima bonus banyak. Moodnya kembali baik, dia akan menuruti permintaan Gerald tanpa protes kali ini. Tidak lupa menanyakan ingin dibawakan menu apa, sambil menunggu balasan atasannya, Dinara melihat-lihat pesan teks yang belum sempat dibukanya tadi. Sejenak kemudian keningnya mengerut saat mendapati nomor suaminya mengirimkannya pesan. "Tumben Mas Reno kirim foto. Biasanya nggak pernah," gumamnya. Namun, karena rasa penasaran yang cukup tinggi, akhirnya Dinara membukanya. Sepersekian detik kemudian matanya melotot dengan mulut yang menganga lebar. Jantungnya seolah berhenti, dia bisa merasakan seluruh dara
Bella menahan napas guna meredam amarahnya. Ini pertama kalinya ia kalah berargumen dengan orang lain, apalagi Reno yang hanya diam saja. Ah, kekalahan pagi ini semakin membuatnya muak.kenapa juga Reno tidak membelanya? Apa kekasihnya itu sudah lupa tentang yang mereka lakukan semalam, hingga rela melihat dirinya di hina begitu saja? Ah, menyebalkan! "Awas saja kamu, Din. Suatu saat aku akan balas kamu dengan lebih memalukan dari ini. Jangan kamu lupa,. mertuamu ada di pihakku.""Aku tunggu," timpal Dinara.Bella menggeram kesal. Sekali lagi netranya melirik pada Reno yang masih diam saja, paginya kali ini benar-benar kacau."Aku kecewa sama kamu, Mas. Setelah apa yang kuberikan, kamu nggak membelaku saat dihina oleh istrimu!" pekik Bella."Bukan begitu maksudku, Bell. Aku baru pulang, loh. Badanku capek banget. Hari ini saja aku izin nggak masuk, takut nggak fokus bekerja." Pria itu menarik napas dalam kemudian menghembuskannya kasar. "Tapi kamu malah datang marah-marah"Bella memb
Gerald melemparkan kotak makan itu ke pot bunga besar, berharap nanti Dinara melihatnya dan segera mengambil. Nanti saja dia jelaskan, dia yakin Dinara akan mengerti. "Mama ... kenapa nggak kasih kabar dulu kalau mau ke sini?" tanya Darren. "Memangnya sejak kapan Mama kasih kabar kalau ke kantor suami Mama sendiri?" Antonia balik bertanya, selanjutnya melangkah masuk ke ruangan putranya. Wanita paruh baya itu duduk di sofa panjang, Gerald segera meminta Nada untuk mengantarkan minuman. Sekaligus mengambil kotak bekal Dinara. "Kalau Mama telepon, aku bisa jemput di depan. Papa biasanya juga telepon," sahut Gerald. Antonia menggeleng. "Nggak perlu telepon-telepon, kayak sama siapa saja. Kedatangan Mama ke sini untuk menanyakan sesuatu, tentunya kamu sudah tahu apa." Senyum merekah di bibir merah itu membuat Gerald mendesah kasar. "Aku 'kan sudah minta jangka waktu dua bulan, bukannya Mama sama Papa setuju? Kenapa sekarang rewel lagi?" Antonia mendelik mendengar ucapan putr
"Eugh ...."Bella melenguh sambil mengerjapkan kelopak matanya. Wanita itu merasakan sesuatu yang berbeda pada area sensitifnya, sebuah sentuhan yang membuatnya sontak berg4ir4h. Benar saja. Saat dia membuka lebar kelopak matanya, kekasih gelapnya itu tengah bermain-main di puncak d4d4nya. Layaknya bayi yang kelaparan, Reno menyesap dengan begitu lahap.Siang tadi, Reno menghubungi Bella untuk datang ke rumah. Pria itu meminta maaf atas perlakuan cueknya tadi pagi, beruntung Bella memaafkan. Kini, entah sudah berapa ronde panas sebagai ucapan maaf Reno, nyatanya sampai sore mereka tidak kunjung keluar kamar dan masih asyik bergumul di dalam selimut."S-sayang ....""Kenapa, Bell?" tanya Reno dengan masih terus menyusu di sana."Kamu nggak capek?" "Mana ada aku capek, yang ada aku ketagihan terus. Kamu selalu bisa memuaskanku, Bell," bisik Reno.Mulutnya masih penuh dengan buah kenyal itu, sementara tangan sebelahnya asyik memelintir pucuk ranum pada buah satunya."Aaaahh ...." Bell
Dinara yang merasa curiga langsung berlari ke rumah kepala desa yang tidak jauh dari rumahnya, wanita itu menjelaskan kecurigaannya dan kebetulan Bu Kades sempat melihat Bella masuk rumah."Saya pikir itu saudaranya Bu Yuyun, Mbak Din. Kalau saya tahu itu hanya rekan kerjanya Mas Reno, kami sudah bertindak dari tadi," ucap Bu Kades menggebu-gebu."Bukan saudara, Bu. Bahkan saya ada foto perselingkuhan mereka," kata Dinara sambil mengambil ponsel dari dalam tas.Jemarinya berselancar di layar, mencari foto syur yang sempat dikirimkan Bella beberapa hari lalu.Bu Kades dan Pak Kades sama-sama memelototkan mata, keduanya mengelus dada dan langsung beranjak bangkit menuju rumah Dinara.Tidak lupa mereka juga mengajak beberapa warga untuk menggerebek Reno dan Bella. Keadaan ini membuat Dinara tersenyum senang, meskipun dia harus menahan malu saat menunjukkan foto syur suaminya."Mas Reno ...!" teriak Pak Kades sambil menggedor-gedor pintu, sementara Dinara sibuk menghubungi Nada untuk menj
"Ada apa ini rame-rame?" tanya Yuyun yang baru saja pulang, netranya menatap semua orang yang berkumpul di rumahnya. Saat bola mata itu tertuju pada Bella, Yuyun tidak mampu menahan keterkejutan melihat penampilan bela yang sangat amburadul. Dia tahu jelas itu selimut putranya, kenapa melilit tubuh Bella? Belum lagi bekas kissmark yang memenuhi leher dan dada bagian atas. "Ada apa ini sebenarnya?" Yuyun kembali bertanya, memandang penuh selidik ke arah putranya yang hanya mampu duduk terdiam. "Mas Reno dan Mbak Bella kami temukan tengah melakukan hubungan badan, Bu Yuyun. Kami baru saja menggerebek mereka, jujur kami sangat kecewa. Mas Reno dan Mbak Bella sudah mengotori kampung ini, ini bisa menjadi berita yang tidak mengenakkan kalau sampai tersebar ke luar kampung. Apalagi kalau atasan saya mendengar, saya bisa dikenai sanksi," ujar Pak Kades. Wanita paruh baya itu menggeleng. "Nggak mungkin, Pak. anak saya nggak mungkin seperti ini, saya tahu betul seperti apa Reno. Dia sanga
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah