Dinara yang merasa curiga langsung berlari ke rumah kepala desa yang tidak jauh dari rumahnya, wanita itu menjelaskan kecurigaannya dan kebetulan Bu Kades sempat melihat Bella masuk rumah."Saya pikir itu saudaranya Bu Yuyun, Mbak Din. Kalau saya tahu itu hanya rekan kerjanya Mas Reno, kami sudah bertindak dari tadi," ucap Bu Kades menggebu-gebu."Bukan saudara, Bu. Bahkan saya ada foto perselingkuhan mereka," kata Dinara sambil mengambil ponsel dari dalam tas.Jemarinya berselancar di layar, mencari foto syur yang sempat dikirimkan Bella beberapa hari lalu.Bu Kades dan Pak Kades sama-sama memelototkan mata, keduanya mengelus dada dan langsung beranjak bangkit menuju rumah Dinara.Tidak lupa mereka juga mengajak beberapa warga untuk menggerebek Reno dan Bella. Keadaan ini membuat Dinara tersenyum senang, meskipun dia harus menahan malu saat menunjukkan foto syur suaminya."Mas Reno ...!" teriak Pak Kades sambil menggedor-gedor pintu, sementara Dinara sibuk menghubungi Nada untuk menj
"Ada apa ini rame-rame?" tanya Yuyun yang baru saja pulang, netranya menatap semua orang yang berkumpul di rumahnya. Saat bola mata itu tertuju pada Bella, Yuyun tidak mampu menahan keterkejutan melihat penampilan bela yang sangat amburadul. Dia tahu jelas itu selimut putranya, kenapa melilit tubuh Bella? Belum lagi bekas kissmark yang memenuhi leher dan dada bagian atas. "Ada apa ini sebenarnya?" Yuyun kembali bertanya, memandang penuh selidik ke arah putranya yang hanya mampu duduk terdiam. "Mas Reno dan Mbak Bella kami temukan tengah melakukan hubungan badan, Bu Yuyun. Kami baru saja menggerebek mereka, jujur kami sangat kecewa. Mas Reno dan Mbak Bella sudah mengotori kampung ini, ini bisa menjadi berita yang tidak mengenakkan kalau sampai tersebar ke luar kampung. Apalagi kalau atasan saya mendengar, saya bisa dikenai sanksi," ujar Pak Kades. Wanita paruh baya itu menggeleng. "Nggak mungkin, Pak. anak saya nggak mungkin seperti ini, saya tahu betul seperti apa Reno. Dia sanga
"Sudah-sudah, tidak akan ada gunanya kalau terus berdebat. Lebih baik kita langsung menikahkan saja," kata Pak Kades yang berusaha menengahi.Robert mengangguk setuju, lantas bertanya, "apa maharnya?"Bella menatap ke arah Reno, membuat semua orang juga mengikuti arah pandangnya."Eum ... saya belum gajian, dan hanya ada dua ratus ribu di dompet. Mungkin, saya akan berikan mahar seratus ribu," ujar Reno.Udara di ruang tamu terasa panas, dipenuhi dengan ketegangan yang mencekik. Robert duduk di kursi dengan wajah merah padam menahan amarah. Di hadapannya, Reno, juga terduduk kepalanya menunduk, tangannya mengepal erat."Seratus ribu? Itu maharnya?! Kau kira anakku barang murah yang bisa ditebus dengan uang sepele?" Robert berteriak, suaranya menggema di ruangan.Reno terdiam, matanya menatap lantai. Dia memang belum gajian, dan seratus ribu adalah uang yang dia punya untuk diberikan sebagai mahar."Apa kau bisa membahagiakan Bella dengan uang segitu?!" cibir pria paruh baya itu. "
"sekali lagi saya mohon aaf, Dinara. Maafkan kekhilafan anakku," ucap Leanna lirih, matanya berkaca-kaca. Namun, raut wajahnya masih dipenuhi amarah. Dinara hanya mengangguk, berpura-pura bahwa hatinya masih terluka. "Aku harap kamu bisa mengerti," tambah Leanna, suaranya sedikit gemetar.Setelah meminta maaf kepada Dinara, Leanna langsung menghampiri Robert, suaminya. Wajahnya merah padam, matanya berkilat-kilat menahan amarah. "Nikahin mereka! Sekarang juga!" desaknya, jari telunjuknya menunjuk Reno dan Bella.Robert menghela napas. Ia tahu, tak mungkin menentang Leanna yang sedang dilanda amarah. "Baiklah, kita akan menikahkan mereka," katanya pasrah.Suasana ijab kabul terasa mencekam. Robert, yang sedari awal sudah kesal, semakin geram saat melihat mahar yang diberikan Reno kepada Bella hanya seratus ribu rupiah.Benar-benar satu lembar warna merah bergambar dua pahlawan proklamasi. Ck, dia kira Reno tadi hanya bercanda, ternyata memang kenyataanya miskin."Mahar segitu? Apa pant
Reno dan Bella diarak oleh warga keliling kampung. Mereka dipaksa berjalan di tengah kerumunan orang, diiringi cemoohan dan makian. "Pezina! Pelakor!" teriak warga, suaranya bergema di udara.Reno dan Bella hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah mereka yang memerah karena malu. Tak berani menatap mata orang-orang yang mengejek mereka."Lihat! Itu dia pasangan pezina yang merusak rumah tangga orang!" teriak seorang wanita paruh baya, jari telunjuknya menunjuk ke arah Reno dan Bella."Hina! Mereka pantas dihukum!" teriak warga lainnya.Beberapa orang bahkan melempari mereka dengan sampah. Reno dan Bella berusaha menghindar, namun mereka tak bisa menghindar dari semua lemparan."Ampun! Kami mohon ampun!" teriak Bella, suaranya bergetar. "Kami menyesal! Kami tidak akan mengulangi kesalahan kami!"Namun, teriakan Bella tak didengar oleh warga. Mereka terus menerus mengejek dan menghukum Reno dan Bella.Reno, yang melihat Bella tersiksa, merasa sangat bersalah. Ia tak menyang
Malam harinya, Dinara memutuskan untuk pergi ke rumah Nada, sahabatnya. Ia ingin melihat putranya, Azka, yang dititipkan di sana. Dinara muak terus berdiam diri ke rumahnya. Ia kesal melihat Reno dan Bella, dan juga Yuyun yang selalu memihak Bella."Aku ingin menenangkan hati dan menemani Azka tidur," gumam Dinara, sambil berjalan menuju rumah Nada. "Kasihan dia, pasti sore tadi bingung karena aku titipkan kepada Nada."Ia tak memberitahu mertuanya atau suaminya tentang kepergiannya. Ia ingin melupakan sejenak semua masalah yang dihadapinya.Sesampainya di rumah Nada, Dinara disambut hangat oleh sahabatnya itu. "Din, kamu kenapa murung gitu? Kok nggak ngasih kabar kalau mau ke sini?" tanya Nada, khawatir.Nada mengajak sahabatnya ke kamar untuk bertemu Azka, dia tahu Dinara merindukan Azka.Dinara langsung mendekat ke ranjang, tersenyum lega melihat putranya tidur nyenyak dan baik-baik saja."Aku nggak enak badan. Aku mau nginep di sini aja," jawab Dinara, sambil mengelus kepala Azk
Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemecatan untuk Reno dan Bella ke rumah Yuyun. Yang mengantarkan surat pemecatan itu adalah HRD dari perusahaan, seorang wanita berpakaian rapi dengan name tag bertuliskan "Bu Dewi"."Selamat pagi, Bu. Saya dari perusahaan tempat Pak Reno bekerja. Ini surat pemecatan untuk beliau dan juga untuk Bu Bella," kata Bu Dewi, sambil menyerahkan surat itu kepada Yuyun.Yuyun tertegun. Ia tak menyangka, Reno dan Bella akan dipecat. "Kenapa? Kenapa mereka dipecat?" tanya Yuyun, suaranya bergetar.Bu Dewi tersenyum simpati, "Pak Budi, Direktur Utama, memutuskan untuk memecat Pak Reno dan Bu Bella karena mereka sudah membuat malu perusahaan dengan berselingkuh. Perusahaan kami tidak mentolerir perilaku yang tidak profesional seperti itu."Yuyun terdiam. Ingin protes pun, dia takut malah semakin memperkeruh keadaan. "Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas," kata Bu Dewi, sambil menunduk. "Semoga keluarga Anda baik-baik saja."Yuyun hanya menganggu
Reno mengusap wajahnya dengan kasar, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang menampilkan email pemberitahuan pemecatan. "Sialan! Ternyata mereka nggak hanya mengirimkan surat, tapi juga melalui email. Perusahaan benar-benar sudah tidak menginginkan kita lagi, Bella!" umpatnya. "Ini semua gara-gara Dinara."Di sebelahnya, Bella terisak pelan, tubuhnya gemetar. "Aku tidak menyangka," lirihnya. "Aku benar-benar mencintai kamu, Mas. Aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Kenapa malah istrimu itu membuatku sengsara, dia terus-terusan membuat keadaan kita susah. Dari mulai menggerebek, sampai mengatakan perselingkuhan ke atasan."Reno meraih tangan Bella, berusaha menenangkannya. "Tenanglah, Sayang. Kita akan baik-baik saja. Kita akan mencari pekerjaan baru."Namun, kata-kata Reno terdengar hampa. Dia sendiri pun merasa putus asa. Dia tahu, Dinara lah yang telah melaporkan hubungan mereka ke perusahaan setelah beberapa saat lalu mencecar Bu Dewi. Dia tidak pernah menyangka
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah