Malam harinya, Dinara memutuskan untuk pergi ke rumah Nada, sahabatnya. Ia ingin melihat putranya, Azka, yang dititipkan di sana. Dinara muak terus berdiam diri ke rumahnya. Ia kesal melihat Reno dan Bella, dan juga Yuyun yang selalu memihak Bella."Aku ingin menenangkan hati dan menemani Azka tidur," gumam Dinara, sambil berjalan menuju rumah Nada. "Kasihan dia, pasti sore tadi bingung karena aku titipkan kepada Nada."Ia tak memberitahu mertuanya atau suaminya tentang kepergiannya. Ia ingin melupakan sejenak semua masalah yang dihadapinya.Sesampainya di rumah Nada, Dinara disambut hangat oleh sahabatnya itu. "Din, kamu kenapa murung gitu? Kok nggak ngasih kabar kalau mau ke sini?" tanya Nada, khawatir.Nada mengajak sahabatnya ke kamar untuk bertemu Azka, dia tahu Dinara merindukan Azka.Dinara langsung mendekat ke ranjang, tersenyum lega melihat putranya tidur nyenyak dan baik-baik saja."Aku nggak enak badan. Aku mau nginep di sini aja," jawab Dinara, sambil mengelus kepala Azk
Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemecatan untuk Reno dan Bella ke rumah Yuyun. Yang mengantarkan surat pemecatan itu adalah HRD dari perusahaan, seorang wanita berpakaian rapi dengan name tag bertuliskan "Bu Dewi"."Selamat pagi, Bu. Saya dari perusahaan tempat Pak Reno bekerja. Ini surat pemecatan untuk beliau dan juga untuk Bu Bella," kata Bu Dewi, sambil menyerahkan surat itu kepada Yuyun.Yuyun tertegun. Ia tak menyangka, Reno dan Bella akan dipecat. "Kenapa? Kenapa mereka dipecat?" tanya Yuyun, suaranya bergetar.Bu Dewi tersenyum simpati, "Pak Budi, Direktur Utama, memutuskan untuk memecat Pak Reno dan Bu Bella karena mereka sudah membuat malu perusahaan dengan berselingkuh. Perusahaan kami tidak mentolerir perilaku yang tidak profesional seperti itu."Yuyun terdiam. Ingin protes pun, dia takut malah semakin memperkeruh keadaan. "Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas," kata Bu Dewi, sambil menunduk. "Semoga keluarga Anda baik-baik saja."Yuyun hanya menganggu
Reno mengusap wajahnya dengan kasar, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang menampilkan email pemberitahuan pemecatan. "Sialan! Ternyata mereka nggak hanya mengirimkan surat, tapi juga melalui email. Perusahaan benar-benar sudah tidak menginginkan kita lagi, Bella!" umpatnya. "Ini semua gara-gara Dinara."Di sebelahnya, Bella terisak pelan, tubuhnya gemetar. "Aku tidak menyangka," lirihnya. "Aku benar-benar mencintai kamu, Mas. Aku tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Kenapa malah istrimu itu membuatku sengsara, dia terus-terusan membuat keadaan kita susah. Dari mulai menggerebek, sampai mengatakan perselingkuhan ke atasan."Reno meraih tangan Bella, berusaha menenangkannya. "Tenanglah, Sayang. Kita akan baik-baik saja. Kita akan mencari pekerjaan baru."Namun, kata-kata Reno terdengar hampa. Dia sendiri pun merasa putus asa. Dia tahu, Dinara lah yang telah melaporkan hubungan mereka ke perusahaan setelah beberapa saat lalu mencecar Bu Dewi. Dia tidak pernah menyangka
Kaca spion motor Nada memantulkan wajah Dinara yang pucat. Mata sembabnya masih terlihat, bekas tangisan semalam yang tak tertahankan. "Kamu yakin bisa, Nar?" tanya Nada, suaranya lembut. Dinara tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kepedihan yang menggerogoti hatinya. "Ya, aku harus kuat. Azka butuh aku, Nad." Hidup Dinara hampir hancur berkeping-keping. Suaminya, yang selama bertahun-tahun dia percayai, ternyata berselingkuh dan bahkan sudah menikahi selingkuhannya. Rasa sakit, amarah, dan kekecewaan bercampur aduk dalam dirinya. Namun, Dinara tahu, dia harus kuat. Dia punya Azka, putranya yang masih berusia tujuh tahun, yang sangat membutuhkannya. Azka, dengan senyum polosnya, memeluk erat Dinara. "Mama, aku mau susu coklat!" Dinara mengelus rambut Azka, hatinya luluh. "Iya, Sayang. Nanti Mama buatkan." Setiap pagi, Dinara mengantar Azka ke sekolah. Setelah itu, dia dan Nada berangkat bersama ke kantor. Rumah Nada menjadi tempat tinggal sementara Dinara dan Azka. "Ngg
Azka, dengan mata polosnya, menatap Dinara penuh tanya. "Mama, kapan kita pulang ke rumah Papa?" Dinara menghela napas. Sudah berulang kali Azka bertanya hal yang sama. Hatinya pedih melihat putranya merindukan sang papa. "Sayang, kita tinggal di sini dulu, ya?" jawabnya lembut. "Kenapa? Aku kangen Papa," rengek Azka. Dinara mendekap erat Azka dalam pelukannya. "Mama juga kangen Papa, Sayang. Tapi, Papa lagi sibuk, jadi kita tinggal di sini dulu, bareng Tante Nada." "Sibuk apa, Ma?" tanya Azka, matanya masih berkaca-kaca. Dinara terdiam. Bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Azka tentang perselingkuhan dan pernikahan Reno? Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa pria yang selama ini Azka panggil Papa, kini telah menikah dengan wanita lain? "Papa lagi kerja keras, Sayang. Biar kita bisa bahagia," jawab Dinara, suaranya bergetar. "Tapi, aku pengen ketemu Papa," Azka kembali merengek. "Nanti, ya, Sayang. Nanti kita ketemu Papa. Sekarang, kamu main dulu sama mainan kamu, ya?" Dinara be
Pagi itu, udara di kantor terasa dingin dan mencekam. Dinara berjalan gugup menuju ruangan Gerald, CEO yang terkenal kejam dan kasar. Jantungnya berdebar kencang. "Masuk!" Suara Gerald yang dingin dan menusuk memecah keheningan. Dinara menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu. Dia tidak menyangka atasannya sudah tiba sepagi ini. "Duduk!" perintah Gerald tanpa menatapnya. Dinara duduk di kursi berhadapan dengan meja besar Gerald, jantungnya masih berdebar-debar. "Beberapa minggu lalu, kamu ikut tes HRD," ujar Gerald, akhirnya menatapnya. "Tes itu bukan untuk posisi office girl." Dinara mengerutkan kening. "Maksudnya, Pak?" "Tes itu untuk menguji kemampuanmu," jawab Gerald tajam. "Apakah kamu masih bisa menguasai ilmu admin pemasaran?" Dinara tertegun. "Tapi saya kan office girl, Pak." "Itu dulu," Gerald menyeringai. "Sekarang, kamu akan menjadi staf pemasaran." Dinara tercengang. "Apa? Saya?" "Ya, kamu," Gerald berkata dengan nada datar. "Kamu lolos tes. Dan aku y
Gerald mengerutkan kening saat ponselnya berdering, tangannya meraih benda pipih itu, membaca pesan teks yang masuk dari mamanya. [Kakek akan pulang dua bulan lagi. Kamu harus segera punya istri.] Pesan itu membuatnya berdecak kesal. Ia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa ia tidak ingin buru-buru menikah, tetapi mamanya tetap keras menekan hal itu. Padahal, dia juga sudah pernah meminta kelonggaran waktu. Papa dan Mamanya hanya iya-iya saja saat itu, tetapi nyatanya tetap mendesak. Hingga membuat perasaannya kembali tidak nyaman.[Kakek mau lihat cucu. Kamu harus menikah sebelum kakek pulang.] Satu pesan teks kembali masuk.Gerald menggeleng kesal. "Dinara ...." gumamnya, matanya menatap pesan dari mamanya lagi. "Mungkin Dinara bisa menjadi solusi."Gerald tertawa kecut. Gara-gara desakan itu dia harus merayu wanita kelas bawah, yang berada jauh berbeda dengan kasta keluarganya."Jika aku bisa membuatnya jatuh cinta padaku, maka
Dinara kembali ke depan sambil membawa peralatan pel untuk membersihkan ruang tamu, tanpa diduga suaminya keluar dari kamar dengan wajah merah padam. Menyadari hawa panas dan bau pertengkaran, Bella langsung masuk kamar tanpa menghiraukan suami serta kakak madunya.Reno mendelik, tatapannya tajam menembus Dinara. "Kenapa kamu pulang tanpa bawa Azka? Aku kangen sama anak kita!" suaranya bergetar, mengungkapkan kekecewaan yang mendalam.Dinara menatap Reno dengan tatapan yang tak kalah tajam. "Azka tak boleh melihat kamu menikah lagi. Aku takut mentalnya terganggu," jawabnya, suaranya tegas dan berani."Terganggu? Apa kamu bercanda? Aku adalah papanya! Dia berhak tahu tentang hidup papa kandungnya!" Reno berteriak, kemarahannya memuncak."Aku tak mau Azka melihat papa kandungnya menikah dengan wanita lain setelah aku. Itu akan menyakitkan hatinya," jawab Dinara, suaranya tetap teguh."Kau tak punya hak