Gerald mengerutkan kening saat ponselnya berdering, tangannya meraih benda pipih itu, membaca pesan teks yang masuk dari mamanya. [Kakek akan pulang dua bulan lagi. Kamu harus segera punya istri.] Pesan itu membuatnya berdecak kesal. Ia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa ia tidak ingin buru-buru menikah, tetapi mamanya tetap keras menekan hal itu. Padahal, dia juga sudah pernah meminta kelonggaran waktu. Papa dan Mamanya hanya iya-iya saja saat itu, tetapi nyatanya tetap mendesak. Hingga membuat perasaannya kembali tidak nyaman.[Kakek mau lihat cucu. Kamu harus menikah sebelum kakek pulang.] Satu pesan teks kembali masuk.Gerald menggeleng kesal. "Dinara ...." gumamnya, matanya menatap pesan dari mamanya lagi. "Mungkin Dinara bisa menjadi solusi."Gerald tertawa kecut. Gara-gara desakan itu dia harus merayu wanita kelas bawah, yang berada jauh berbeda dengan kasta keluarganya."Jika aku bisa membuatnya jatuh cinta padaku, maka
Dinara kembali ke depan sambil membawa peralatan pel untuk membersihkan ruang tamu, tanpa diduga suaminya keluar dari kamar dengan wajah merah padam. Menyadari hawa panas dan bau pertengkaran, Bella langsung masuk kamar tanpa menghiraukan suami serta kakak madunya.Reno mendelik, tatapannya tajam menembus Dinara. "Kenapa kamu pulang tanpa bawa Azka? Aku kangen sama anak kita!" suaranya bergetar, mengungkapkan kekecewaan yang mendalam.Dinara menatap Reno dengan tatapan yang tak kalah tajam. "Azka tak boleh melihat kamu menikah lagi. Aku takut mentalnya terganggu," jawabnya, suaranya tegas dan berani."Terganggu? Apa kamu bercanda? Aku adalah papanya! Dia berhak tahu tentang hidup papa kandungnya!" Reno berteriak, kemarahannya memuncak."Aku tak mau Azka melihat papa kandungnya menikah dengan wanita lain setelah aku. Itu akan menyakitkan hatinya," jawab Dinara, suaranya tetap teguh."Kau tak punya hak
Malam itu, udara terasa dingin menusuk kulit. Yuyun, dengan wajah berkerut dan bibir yang mengerucut, melangkah masuk ke rumah. Aroma wangi parfum arisan masih tercium samar-samar di sekujur tubuhnya. Matanya langsung tertuju pada ruang tamu yang sepi."Dinara!" panggilnya dengan suara yang sedikit meninggi.Dinara, yang sedang duduk di sofa, mengangkat wajahnya. Tatapannya datar, tanpa sedikitpun rasa takut atau gugup."Kamu sudah pulang?" tanya Yuyun, suaranya bergetar menahan amarah."Iya, Ma," jawab Dinara, suaranya terdengar tenang."Kenapa kamu baru pulang? Sudah lima hari kamu pergi! Lalu ... mana Azka?" tanya Yuyun, suaranya semakin meninggi."Azka tidak ada di sini, Ma," jawab Dinara, matanya tertuju pada lantai."Tidak di sini gimana maksudnya? Kamu nggak bawa cucuku pulang, hah ..?! Lalu dia ada di mana?" Tangan keriputnya berkacak pinggang, menatap Dinara dengan pandangan kesal. "Jangan harap kamu bisa nguasai Azka sendirian!" Yuyun kembali berteriak."Azka lebih baik tida
Keesokan paginya, Dinara bangun lebih awal. Dia bersiap untuk bekerja, memakai seragam kantornya yang rapi. Blouse putih berkancing dan rok hitam berlipit. Dia memperhatikan detail penampilannya, menata rambutnya dengan cermat, dan menyelipkan sebuah bros kecil di dadanya.Saat keluar kamar, Dinara berpapasan dengan Reno. Reno yang sedang menikmati kopi pagi, terkejut melihat penampilan Dinara."Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" tanya Reno dengan nada dingin."Kenapa? Tidak suka?" jawab Dinara dengan nada yang sama dinginnya."Biasanya kamu memakai seragam office girl. Kenapa sekarang berbeda?" tanya Reno, suaranya terdengar sedikit tegang."Aku sudah diangkat menjadi staf pemasaran," jawab Dinara dengan santai, "Bukan office girl lagi."Reno terdiam, matanya menatap Dinara dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia merasa iri dengan Dinara. Dia tidak menyukai perubahan yang terjadi p
Dinara melangkah memasuki kantor dengan langkah percaya diri. Seragam kerjanya yang rapi dan wajahnya yang segar menunjukkan tekadnya untuk memulai hari baru dengan semangat. Namun, ketika memasuki kantor, Gerald, atasannya yang terkenal dengan aura dingin dan arogan, sudah menunggunya di depan pintu."Dinara, ayo ikuti aku," kata Gerald dengan nada datar.Dinara pun mengikuti Gerald menuju ruangan yang lebih besar dan ramai. Gerald menuntunnya ke depan sekelompok orang yang sedang berbincang."Ini Dinara, admin baru di divisi pemasaran," kata Gerald dengan nada dingin, tanpa menunjukkan sedikitpun senyum.Tatapan semua orang di ruangan itu langsung tertuju pada Dinara. Dinara merasa sedikit tak nyaman dengan tatapan mereka yang terkesan menilai."Selamat datang, Dinara," kata salah satu staf pemasaran, tetapi suaranya terdengar sedikit sinis.Dinara mencoba menunjukkan senyum terbaiknya, tetapi senyum itu terasa k
Dinara melangkah keluar dari ruangan, matanya mencari sosok Nada di antara kerumunan karyawan yang hilir mudik. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat Nada sedang berbincang dengan seorang cleaning service di dekat mesin kopi."Din!" panggil Nada, melambaikan tangannya. Dinara menghampiri Nada, raut wajahnya sedikit muram."Din, kenapa muka kamu kusut gitu?" tanya Nada, mengerutkan kening. "Bukannya seharusnya senang kerja jadi admin pemasaran?"Dinara menghela napas, duduk di kursi di dekat Nada. "Gak tau, Nad. Semua orang di divisi pemasaran kayak ngeliatin aku dengan tatapan sinis gitu. Seolah-olah aku ini musuh mereka."Nada mengelus punggung Dinara dengan lembut. "Sabar, Din. Mungkin mereka cuma kaget aja ada muka baru di tim. Kamu kan baru masuk hari ini.""Tapi, Nad, gak ada satupun yang mau ngajak aku makan siang. Aku makan sendirian di kantin. Rasanya sepi banget." Dinara menunduk, matanya berkaca-kaca.Nada menggenggam tangan Dinara erat. "Udahlah, Din.
"Dinara ... keluar kamu!" teriak Bella, menggedor-gedor pintu kamar Dinara dengan keras. Di tangannya memegang kantong plastik besar berisi snack yang baru ia beli dari warung, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Reno yang tengah bersantai di ruang tamu, membaca koran sambil menyeruput teh, mengernyit heran. "Kenapa sih, Bella? Ribut-ribut aja," tanyanya, sedikit jengkel.Bella menghembuskan napas kasar, matanya melotot tajam. "Dinara baru pulang, Mas. Diantar mobil mewah!"Reno mengerutkan kening. "Mobil mewah? Dari mana kamu tahu?""Aku lihat sendiri, Mas, waktu mau pulang dari warung. Dia turun dari mobil sport warna merah, Mas! Yang harganya pasti mahal banget!" Bella menggerutu, tangannya mengepal erat.Reno menghela napas. "Kamu jangan ngawur, Bella. Mungkin itu mobil temannya Dinara.""Teman? Teman macam apa yang mau nganterin Dinara pulang? Jangan-jangan ...." Bella menunjuk ke arah kamar Dinara dengan jari telunjuknya, matanya berbinar-binar penuh kecurigaan. "Jang
Dinara keluar dari kamar mandi, tubuhnya segar setelah mandi. Dia langsung berganti pakaian, lalu mengambil tasnya dan beranjak menuju pintu. Dia menuju ke rumah sahabatnya untuk menjemput Azka."Azka, sayang. Mama jemput ya," ucap Dinara sambil tersenyum, matanya berbinar menatap foto Azka yang terpajang di meja rias.Dia mencium foto Azka dengan lembut, lalu keluar dari rumah. Dia berjalan menuju rumah Nada, sahabatnya yang sudah seperti saudara baginya.Dinara sudah menitipkan Azka di rumah Nada selama beberapa hari terakhir. Dinara harus bekerja, dia terpaksa menitipkan Azka di rumah Nada.Tidak mungkin ditinggal di rumah mertuanya, takut Bella menyakiti putranya nanti. Mengingat kemarin Bella mengatakan tidak akan bisa menerima Azka."Nad ... aku datang," sapa Dinara, sambil mengetuk pintu rumah Nada."Eh, langsung masuk saja," jawab Nada, membukakan pintu. "Azka sudah nungguin kamu, tuh. Katanya kangen.''"Azka, sayang. Mama udah datang," ucap Dinara, sambil mengulurkan tang