Dinara keluar dari kamar mandi, tubuhnya segar setelah mandi. Dia langsung berganti pakaian, lalu mengambil tasnya dan beranjak menuju pintu. Dia menuju ke rumah sahabatnya untuk menjemput Azka."Azka, sayang. Mama jemput ya," ucap Dinara sambil tersenyum, matanya berbinar menatap foto Azka yang terpajang di meja rias.Dia mencium foto Azka dengan lembut, lalu keluar dari rumah. Dia berjalan menuju rumah Nada, sahabatnya yang sudah seperti saudara baginya.Dinara sudah menitipkan Azka di rumah Nada selama beberapa hari terakhir. Dinara harus bekerja, dia terpaksa menitipkan Azka di rumah Nada.Tidak mungkin ditinggal di rumah mertuanya, takut Bella menyakiti putranya nanti. Mengingat kemarin Bella mengatakan tidak akan bisa menerima Azka."Nad ... aku datang," sapa Dinara, sambil mengetuk pintu rumah Nada."Eh, langsung masuk saja," jawab Nada, membukakan pintu. "Azka sudah nungguin kamu, tuh. Katanya kangen.''"Azka, sayang. Mama udah datang," ucap Dinara, sambil mengulurkan tang
Keesokan paginya.Yuyun, mertua Dinara, masuk ke rumah dengan langkah lebar. Semalam dia menginap di rumah saudaranya. Langkahnya terhenti mendadak di ambang pintu saat melihat Azka, cucu kesayangannya.Bibirnya tersenyum lebar melihat Azka sudah pulang, dia langsung menghampiri anak laki-laki itu untuk meluapkan kerinduan."Azka, Sayang ... Nenek pulang! Nenek bawa oleh-oleh, lho!" teriak Yuyun, matanya terus tertuju pada Azka.Azka yang sedang bermain mobil-mobilan di ruang tamu langsung berlari ke arah neneknya, "Nenek! Azka kangen!"Yuyun langsung memeluk Azka erat, menciumnya dengan gemas. "Nenek juga kangen Azka, sayang. Nenek bawa makanan enak buat Azka, nih!" Yuyun menunjukkan kantong plastik berisi makanan yang dia bawa. Tadi dia mau makan sendiri, tetapi kini langsung memberikan kepada Azka karena semua yang dia beli memang favorit Azka. Azka langsung berbinar-binar, "Wah, apa itu, Nek?"Yuyun mengeluarkan makanan dari dalam kantong plastik. "Ini ayam goreng kesuka
"Nanti siang, kita meeting di hotel," kata Gerald setelah Dinara baru saja masuk ke ruangannya, suaranya terdengar sangat datar. "Aku butuh admin pemasaran, dan kamu yang akan dipilih." Dinara tertegun. "Meeting di hotel?," batinnya, merasa tak nyaman. "Kenapa di hotel, Pak?" tanyanya lagi, suaranya sedikit gugup. "Itu urusan aku," jawab Gerald, suaranya dingin dan angkuh. "Kamu cukup datang saja." Dinara mengangguk, merasa tak enak. "Baik, Pak," jawabnya, sambil berusaha tersenyum. Gerald kembali fokus pada pekerjaannya. Dinara pun beranjak dari kursi, kemudian keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. "Semoga semuanya baik-baik saja," gumamnya, sambil berjalan kembali ke ruangan divisi pemasaran. Namun, di balik rasa lega, Dinara masih merasa tertekan. Dia merasa seperti sedang diawasi, takut melakukan kesalahan. "Kapan, sih, aku bisa tenang?" batinnya, sambil menghela napas. Dinara melangkah lebar ke ruangannya, berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, tatapan
Kamar itu luas dan mewah, dengan pemandangan kota yang indah dari jendela besar. Namun, Dinara tak bisa menikmati keindahan itu. Pikirannya dipenuhi rasa takut dan ketidakpastian.Gerald langsung duduk di sofa, wajahnya tetap datar dan tenang. "Duduk, Dinara," katanya, sambil menunjuk sofa di hadapannya.Dinara pun duduk, sambil menautkan kedua tangannya di atas paha. Dia merasa gugup, tak tahu apa yang akan terjadi."Dinara," kata Gerald, suaranya terdengar lembut, berbeda dari biasanya. "Aku ingin menawarkan sesuatu padamu."Dinara terdiam, merasa tak percaya. "Apa, Pak?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar."Jadilah kekasihku," kata Gerald, sambil menatap Dinara dengan tatapan tajam.Dinara terkesiap, merasa tak percaya. "Kekasih?" batinnya, merasa kaget. "Apa, Pak?" tanya Dinara lagi, suaranya terdengar gugup."Jadilah kekasihku," kata Gerald lagi, suaranya tegas. "Aku akan memberimu apa pun yang kamu inginkan."Dinara terdiam, merasa bingung.
"Turun sekarang, kita ketemu klien di restoran," Gerald berkata, suaranya terdengar ketus. Dinara menghela napas lega. Syukurlah, pertemuan ini benar-benar ada. Dia sempat khawatir Gerald hanya mengarang cerita untuk membawanya ke hotel ini."Baik, Pak," jawab Dinara, berusaha bersikap tenang. Dia mengikuti Gerald keluar dari kamar hotel, matanya mengamati sekeliling. Dia masih sedikit gugup, tapi berusaha menyembunyikannya. Hingga akhirnya mereka tiba di restoran hotel, mewah dan tentunya berbintang. Restoran ini dihiasi dengan banyak lampu kristal dan musik mengalun lembut. Gerald melangkah ke sofa pojok, di mana seorang pria datang bersama seorang wanita yang mungkin saja sekretaris perusahaan. "Untungnya aku bawa notebook," batin Dinara.Gerald menyalami kliennya, lantas duduk di hadapan pria dengan setelan jas berwarna biru tua itu. Gerald melirik Dinara, meminta untuk duduk di sampingnya lewat sorot mata. Tanpa menunggu lagi, wanita itu langsung mendudukkan diri sambil m
Malam harinya."Azka, coba baca lagi paragraf ini," kata Dinara lembut, menunjuk kalimat di buku pelajaran Azka. Azka mengerutkan kening, mencoba berkonsentrasi. Namun, suara musik keras yang sejak tadi terdengar dari kamar Bella, membuat konsentrasinya buyar."Mama, suara musiknya kencang banget," keluh Azka. "Azka nggak bisa konsentrasi."Dinara menghela napas. "Sabar, Sayang. Mama coba bicarakan sama Tante Bella."Dinara berdiri dan berjalan menuju kamar Bella. Dia mengetuk pintu dengan keras. "Bella, bisa tolong pelan-pelan musiknya?" tanyanya, suaranya terdengar sangat kesal.Pintu terbuka dan Bella muncul dengan wajah cemberut. "Kenapa sih, Dinara?" tanyanya, suaranya terdengar ketus. "Kenapa kamu?!""Musiknya kencang banget," kata Dinara. "Azka lagi belajar, dia nggak bisa konsentrasi.""Emang kenapa? Ini juga rumahku, aku mau dengerin musik kencang-kencang pun bukan urusanmu. Itu hakku dan kamu nggak berhak ngelarang," jawab Bella, suaranya sem
"Ini kopinya, Mas," ucap Dinara yang baru saja keluar dari dapur.Wanita cantik berusia 29 tahun itu terlihat sederhana dalam balutan daster, ia tidak pernah berpenampilan mewah, bahkan riasan saja hanya bedak tabur biasa. Untuk wewangian ia memilih parfum isi ulang, semua itu ia lakukan demi kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan tabungan masa tua aman.Suaminya bekerja sebagai staf admin di sebuah perusahaan swasta. Gajinya tidak kecil, tetapi entah kenapa pria berusia 32 tahun itu pelit sekali pada Dinara.Reno Adikusumo, pria berkulit sawo matang dengan postur tinggi tegap itu terlihat tampan karena memiliki bentuk rahang tegas dan alis tebal. Hidung mancung ia wariskan kepada Azka — putra pertama mereka yang masih berusia tujuh tahun."Gas habis, Mas. Itu tadi tinggal sedikit, untung masih cukup untuk merebus air," ucap Dinara seraya mendudukkan diri di sofa empuk itu."Cepet banget habisnya, makanya kamu jangan boros jadi, dong."Sret! Wanita pemilik iris coklat itu sontak menoleh
Dinara keluar dari ruang HRD dengan senyum lebar, ia langsung memeluk Nada saat tahu dirinya diterima di perusahaan. "Ayo kita langsung kerja saja, Din. Aku kenalkan Bu Lina, atasan kita," ucap Nada sambil menggandeng tangan Dinara. "Eh, aku langsung kerja hari ini?" Dinara mengehentikan langkah yang membuat Nada langsung berbalik badan. "Kata HRD tadi bagaimana?" "Nggak bilang apa-apa, sih. Suruh tanya atasan gitu," jawab Dinara. "Tapi aku belum pamit sama Azka, Nad. Nanti kalau dia nyariin bagaimana? Terus kalau suami dan mertuaku marah ... aku takut nggak dibolehin keluar lagi besok," imbuhnya. Wanita berambut sebahu itu mengelus lembut lengan Dinara sambil memasang senyum manis. "Sudah, nggak usah khawatir. Yang penting kita ketemu Bu Lina dulu, beliau bisa ngerti kok masalahmu." Kedua wanita itu menghadap seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, kali ini Bu Lina mengizinkan Dinara pulang jam dua belas siang, baru besok bisa bekerja sampai jam lima sore. "Tugas kamu di la