Kamar itu luas dan mewah, dengan pemandangan kota yang indah dari jendela besar. Namun, Dinara tak bisa menikmati keindahan itu. Pikirannya dipenuhi rasa takut dan ketidakpastian.Gerald langsung duduk di sofa, wajahnya tetap datar dan tenang. "Duduk, Dinara," katanya, sambil menunjuk sofa di hadapannya.Dinara pun duduk, sambil menautkan kedua tangannya di atas paha. Dia merasa gugup, tak tahu apa yang akan terjadi."Dinara," kata Gerald, suaranya terdengar lembut, berbeda dari biasanya. "Aku ingin menawarkan sesuatu padamu."Dinara terdiam, merasa tak percaya. "Apa, Pak?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar."Jadilah kekasihku," kata Gerald, sambil menatap Dinara dengan tatapan tajam.Dinara terkesiap, merasa tak percaya. "Kekasih?" batinnya, merasa kaget. "Apa, Pak?" tanya Dinara lagi, suaranya terdengar gugup."Jadilah kekasihku," kata Gerald lagi, suaranya tegas. "Aku akan memberimu apa pun yang kamu inginkan."Dinara terdiam, merasa bingung.
"Turun sekarang, kita ketemu klien di restoran," Gerald berkata, suaranya terdengar ketus. Dinara menghela napas lega. Syukurlah, pertemuan ini benar-benar ada. Dia sempat khawatir Gerald hanya mengarang cerita untuk membawanya ke hotel ini."Baik, Pak," jawab Dinara, berusaha bersikap tenang. Dia mengikuti Gerald keluar dari kamar hotel, matanya mengamati sekeliling. Dia masih sedikit gugup, tapi berusaha menyembunyikannya. Hingga akhirnya mereka tiba di restoran hotel, mewah dan tentunya berbintang. Restoran ini dihiasi dengan banyak lampu kristal dan musik mengalun lembut. Gerald melangkah ke sofa pojok, di mana seorang pria datang bersama seorang wanita yang mungkin saja sekretaris perusahaan. "Untungnya aku bawa notebook," batin Dinara.Gerald menyalami kliennya, lantas duduk di hadapan pria dengan setelan jas berwarna biru tua itu. Gerald melirik Dinara, meminta untuk duduk di sampingnya lewat sorot mata. Tanpa menunggu lagi, wanita itu langsung mendudukkan diri sambil m
Malam harinya."Azka, coba baca lagi paragraf ini," kata Dinara lembut, menunjuk kalimat di buku pelajaran Azka. Azka mengerutkan kening, mencoba berkonsentrasi. Namun, suara musik keras yang sejak tadi terdengar dari kamar Bella, membuat konsentrasinya buyar."Mama, suara musiknya kencang banget," keluh Azka. "Azka nggak bisa konsentrasi."Dinara menghela napas. "Sabar, Sayang. Mama coba bicarakan sama Tante Bella."Dinara berdiri dan berjalan menuju kamar Bella. Dia mengetuk pintu dengan keras. "Bella, bisa tolong pelan-pelan musiknya?" tanyanya, suaranya terdengar sangat kesal.Pintu terbuka dan Bella muncul dengan wajah cemberut. "Kenapa sih, Dinara?" tanyanya, suaranya terdengar ketus. "Kenapa kamu?!""Musiknya kencang banget," kata Dinara. "Azka lagi belajar, dia nggak bisa konsentrasi.""Emang kenapa? Ini juga rumahku, aku mau dengerin musik kencang-kencang pun bukan urusanmu. Itu hakku dan kamu nggak berhak ngelarang," jawab Bella, suaranya sem
Dinara menggandeng tangan Azka, berjalan kaki menuju gerbang sekolah. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan. Dia menikmati waktu bersama anaknya sebelum kembali berhadapan dengan drama rumah tangganya."Mama, aku mau main sama teman-teman dulu, ya," kata Azka, sambil menunjuk ke arah teman-temannya yang sedang bermain di halaman sekolah."Iya, Sayang," jawab Dinara, sambil mencium kening Azka. "Nanti pulang sekolah jangan langsung main, ya. Pulang dulu ganti baju, lalu makan. Baru boleh main."Azka mengangguk dan berlari menuju teman-temannya. Dinara menatap Azka yang bermain dengan gembira, merasakan sebuah rasa bahagia. Dia berharap bisa selalu melindungi Azka dari perselisihan rumah tangganya.Dinara menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Dia harus fokus pada pekerjaannya untuk masa depannya serta sang putra.Dia mencari ojek online di pinggir jalan. Tiba-tiba, mobil mew
"Nad, aku harus cerita sesuatu sama kamu," ujar Dinara, suaranya terdengar lirih. Nada mengerutkan kening, matanya menatap Dinara dengan penuh tanya. "Apa, Din? Kamu kenapa?" tanya Nada, suaranya lembut.Dinara menghela napas, matanya berkaca-kaca. "Kemarin siang, Pak Gerald ngajakin aku jadi kekasih rahasianya."Nada terbelalak. "Hah?! Seriusan, Din? Kok bisa ...?!"Dinara mengangguk. "Iya, Nad. Dia ngajakin aku ke hotel, terus ngomong gitu."Nada mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, dia masih kaget mendengar hal ini. Ingin tidak percaya, tetapi sahabatnya sendiri yang mengatakan. Dia tahu Dinara tidak pernah berbohong, untuk apa juga berbohong? Mereka sudah mengenal bertahun-tahun lamanya, Nada sudah hafal ekspresi raut muka sahabatnya. Dia kembali menatap lurus ke dalam sepasang manik bening sahabatnya, dan hanya ada kejujuran di sana. "Din, ini seriusan? Pak Gerald ngajakin kamu jadi kekasih rahasia?!" Nada mengerutkan kening, matanya terbelalak lebar.Dinara meng
Kegaduhan di ruangan divisi pemasaran terhenti seketika. Semua orang terdiam, menatap pintu dengan jantung berdebar kencang saat CEO perusahaan, baru saja memasuki ruangan. Tatapannya yang tajam dan dingin menyapu ruangan, membuat suasana menjadi mencekam.Dinara, yang masih terisak, langsung berhenti menangis. Dia menundukkan kepala, berusaha menghindar dari tatapan tajam Pak Gerald. Dia merasa jantungnya berdebar kencang, seolah-olah ingin meloncat keluar dari dadanya."Ada apa ini?" tanya Pak Gerald, suaranya dingin dan berwibawa.Semua orang terdiam, tak berani menjawab pertanyaan Pak Gerald. Rini, yang sebelumnya paling lantang mengejek Dinara, langsung menundukkan kepala, wajahnya pucat pasi."Kenapa kalian berisik?!" tanya Pak Gerald lagi, suaranya sedikit meninggi."Maaf, Pak. Kami sedang membahas presentasi minggu depan," jawab Pak Roy, sengaja menutupi yang sebenarnya."Presentasi? Kenapa kalian berisik seperti sedang bertengkar?" tanya Pak Gerald, tatapannya masih tajam."T
Dinara membuka pintu rumah dengan perasaan lelah. Hari ini, selain menghadapi drama di kantor, dia juga harus menghadapi kenyataan bahwa rumah berantakan seperti kapal pecah. Kesal sekali rasanya."Ya Tuhan ...," gumam Dinara, sambil melemparkan tas ke sofa. Dia memanggil Bella, istri kedua suaminya, dengan nada tinggi."Bella! Kamu di mana sih? Rumah ini berantakan banget! Kayak kapal pecah!"Bella muncul dari kamar, dengan wajah yang cuek dan sikap angkuh."Emang kenapa? Kamu kan udah biasa beresin, ya beresin aja nggak usah ngomel-ngomel. Lagian, Mas Reno lagi keluar, gak ada Mas Reno di rumah aku males beres-beres," jawab Bella, dengan nada ketus."Ya, tapi 'kan aku juga capek kerja seharian. Masa aku harus ngeberesin rumah lagi?" protes Dinara."Ya, emang tugas kamu. Lagian, kamu kan gak ngasih nafkah, jadi tugas kamu ya ngurus rumah," jawab Bella, dengan nada mengejek."Nggak ngasih nafkah, matamu ..?! Kamu lupa siapa yang bekerja di rumah ini dan mencukupi semua kebutuhan, bahk
Matahari pagi menyinari kamar Dinara, membangunkannya dari tidur. Ia melirik jam di nakas, pukul enam lewat lima belas menit. Dinara menghela napas, ia harus bersiap-siap untuk bekerja."Dinara, bangun! Kenapa kamu masih tidur?" Suara Yuyun menggema dari luar kamar. Dinara mengerang dalam hati, hari ini pasti akan menjadi hari yang panjang. Kenapa juga mertuanya sudah pulang? Kenapa tidak menginap di rumah sepupunya dalam waktu lama saja? Pikirnya.Dinara bangkit dan menuju keluar kamar. Suara Yuyun terdengar semakin keras. "Kenapa rumah ini berantakan? Dinara, kamu tidak pernah membersihkan rumah ini, hah?! Mentang-mentang nggak ada Mama jangan pikir kamu bisa seenaknya, ya." Dinara menghela napas lagi. Yuyun selalu mencaci dirinya, berbeda dengan Bella yang selalu mendapat perlakuan istimewa. Padahal Dinara bekerja keras untuk menghidupi keluarga, sementara Bella hanya berdiam diri di rumah."Mama, aku sudah membersihkan rumah kemarin," jawab Dinara dengan tenang, berusaha menaha
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah