"Turun sekarang, kita ketemu klien di restoran," Gerald berkata, suaranya terdengar ketus. Dinara menghela napas lega. Syukurlah, pertemuan ini benar-benar ada. Dia sempat khawatir Gerald hanya mengarang cerita untuk membawanya ke hotel ini."Baik, Pak," jawab Dinara, berusaha bersikap tenang. Dia mengikuti Gerald keluar dari kamar hotel, matanya mengamati sekeliling. Dia masih sedikit gugup, tapi berusaha menyembunyikannya. Hingga akhirnya mereka tiba di restoran hotel, mewah dan tentunya berbintang. Restoran ini dihiasi dengan banyak lampu kristal dan musik mengalun lembut. Gerald melangkah ke sofa pojok, di mana seorang pria datang bersama seorang wanita yang mungkin saja sekretaris perusahaan. "Untungnya aku bawa notebook," batin Dinara.Gerald menyalami kliennya, lantas duduk di hadapan pria dengan setelan jas berwarna biru tua itu. Gerald melirik Dinara, meminta untuk duduk di sampingnya lewat sorot mata. Tanpa menunggu lagi, wanita itu langsung mendudukkan diri sambil m
Malam harinya."Azka, coba baca lagi paragraf ini," kata Dinara lembut, menunjuk kalimat di buku pelajaran Azka. Azka mengerutkan kening, mencoba berkonsentrasi. Namun, suara musik keras yang sejak tadi terdengar dari kamar Bella, membuat konsentrasinya buyar."Mama, suara musiknya kencang banget," keluh Azka. "Azka nggak bisa konsentrasi."Dinara menghela napas. "Sabar, Sayang. Mama coba bicarakan sama Tante Bella."Dinara berdiri dan berjalan menuju kamar Bella. Dia mengetuk pintu dengan keras. "Bella, bisa tolong pelan-pelan musiknya?" tanyanya, suaranya terdengar sangat kesal.Pintu terbuka dan Bella muncul dengan wajah cemberut. "Kenapa sih, Dinara?" tanyanya, suaranya terdengar ketus. "Kenapa kamu?!""Musiknya kencang banget," kata Dinara. "Azka lagi belajar, dia nggak bisa konsentrasi.""Emang kenapa? Ini juga rumahku, aku mau dengerin musik kencang-kencang pun bukan urusanmu. Itu hakku dan kamu nggak berhak ngelarang," jawab Bella, suaranya sem
"Ini kopinya, Mas," ucap Dinara yang baru saja keluar dari dapur.Wanita cantik berusia 29 tahun itu terlihat sederhana dalam balutan daster, ia tidak pernah berpenampilan mewah, bahkan riasan saja hanya bedak tabur biasa. Untuk wewangian ia memilih parfum isi ulang, semua itu ia lakukan demi kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan tabungan masa tua aman.Suaminya bekerja sebagai staf admin di sebuah perusahaan swasta. Gajinya tidak kecil, tetapi entah kenapa pria berusia 32 tahun itu pelit sekali pada Dinara.Reno Adikusumo, pria berkulit sawo matang dengan postur tinggi tegap itu terlihat tampan karena memiliki bentuk rahang tegas dan alis tebal. Hidung mancung ia wariskan kepada Azka — putra pertama mereka yang masih berusia tujuh tahun."Gas habis, Mas. Itu tadi tinggal sedikit, untung masih cukup untuk merebus air," ucap Dinara seraya mendudukkan diri di sofa empuk itu."Cepet banget habisnya, makanya kamu jangan boros jadi, dong."Sret! Wanita pemilik iris coklat itu sontak menoleh
Dinara keluar dari ruang HRD dengan senyum lebar, ia langsung memeluk Nada saat tahu dirinya diterima di perusahaan. "Ayo kita langsung kerja saja, Din. Aku kenalkan Bu Lina, atasan kita," ucap Nada sambil menggandeng tangan Dinara. "Eh, aku langsung kerja hari ini?" Dinara mengehentikan langkah yang membuat Nada langsung berbalik badan. "Kata HRD tadi bagaimana?" "Nggak bilang apa-apa, sih. Suruh tanya atasan gitu," jawab Dinara. "Tapi aku belum pamit sama Azka, Nad. Nanti kalau dia nyariin bagaimana? Terus kalau suami dan mertuaku marah ... aku takut nggak dibolehin keluar lagi besok," imbuhnya. Wanita berambut sebahu itu mengelus lembut lengan Dinara sambil memasang senyum manis. "Sudah, nggak usah khawatir. Yang penting kita ketemu Bu Lina dulu, beliau bisa ngerti kok masalahmu." Kedua wanita itu menghadap seorang wanita paruh baya bertubuh gempal, kali ini Bu Lina mengizinkan Dinara pulang jam dua belas siang, baru besok bisa bekerja sampai jam lima sore. "Tugas kamu di la
"Sudah matang semua, Din? Tumben jam enam sudah siap semua?" tanya Yuyun yang baru saja keluar kamar."Mulai hari aku kerja, Bu. Nanti pulangnya jam lima sore."Sebuah senyum terukir lebar di bibir keriput itu, kedua matanya mendelik sempurna."Nah ... gitu, dong. Sebagai perempuan harus kerja, jangan berpangku tangan kepada laki-laki. Ibu bangga kalau kamu kerja, nanti jangan lupa kasih ibu uang bulanan, ya."Helaan napas kasar terdengar dari mulut Dinara, belum juga gajian sudah ditodong uang bulanan. Padahal Yuyun selalu mendapat jatah dari Reno.Dinara melenggang pergi menuju kamarnya, ia melihat Azka yang sudah berpakaian rapi. Putranya selalu rajin, di usia tujuh tahun sudah bisa mengurus keperluannya sendiri."Nanti mama pulang sore, ya, Sayang," ucap Dinara."Iya, Ma."Wanita itu mengangguk. "Sekarang kamu sarapan saja, nanti mama antar sekalian mama berangkat kerja."Azka bergegas menuju dapur, sementara ia langsung memakai seragamnya dan berdandan tipis. Dinara tidak peduli
Dinara baru pulang saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, ia harus lembur kerena kedatangan petinggi perusahaan hari ini."Baru pulang?" tanya Reno saat melihat istrinya baru masuk rumah.Pria itu melipat kedua tangan di depan dada, tubuhnya bersandar di pintu kamar. Kilatan matanya menatap remeh ke arah Dinara, tanpa peduli wajah lelah sang istri."Katanya sampai jam lima saja? Ini, kok, jam tujuh baru pulang? Jangan-jangan kamu ketemuan sama cowok, ya?""Jaga mulutmu, Mas! Hari ini aku lembur karena petinggi perusahaan datang, kamu nggak tahu apa-apa jangan nuduh sembarangan," sanggah Dinara.Reno menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya apa kepentingan petinggi perusahaan sama kamu? Kamu 'kan hanya office girl.""Lalu siapa yang nyiapin makanan dan minuman? Kamu kira staf lain?!" sahut Dinara yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya.Membuat Reno membelalak kaget. "Baru kerja sehari saja sudah berani bentak-bentak suami. Memang nggak ada adab kamu, Din. Kalau dengan bekerja malah mem
"Aku dipaksa nikah sama papa dan mama, demi dapetin warisannya kakek. Mau menikah sama siapa?! Calon saja nggak punya, sedangkan aku hanya dikasih waktu satu minggu," ucap Gerald, kepada sahabatnya yang ada di seberang telepon.Pria itu berdiri di balkon sambil tangannya memegang segelas wine, kepalanya mendadak pusing memikirkan desakan orang tuanya."Ashley?" tanya Jacob, pria yang sudah menemani Gerald sejak kecil."Dia belum siap menikah. Lagipula ... bagaimana aku bisa mencari wanita lain kalau masih mencintai Ashley? Aku tidak yakin bisa menyukai wanita lain, hanya Ashley yang aku pikirkan setiap hari." Gerald meracau setelah menghabiskan satu botol wine, membuat Jacob hanya bisa menghela napas kasar."Carilah wanita lain, Gerald. Masalah perasaan bisa dipaksa, apalagi sekarang sudah nggak asing sama pernikahan kontrak. Yang penting kamu bisa klaim warisannya, urusan pernikahanmu biar dipikirkan sambil jalan," saran Jacob."Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi keluargaku
Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari."Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi."Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak.""Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara.Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk.Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah.Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang."Enak banget!" pekik Azka.Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang mel