Keesokan paginya, Dinara bangun lebih awal. Dia bersiap untuk bekerja, memakai seragam kantornya yang rapi. Blouse putih berkancing dan rok hitam berlipit. Dia memperhatikan detail penampilannya, menata rambutnya dengan cermat, dan menyelipkan sebuah bros kecil di dadanya.Saat keluar kamar, Dinara berpapasan dengan Reno. Reno yang sedang menikmati kopi pagi, terkejut melihat penampilan Dinara."Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" tanya Reno dengan nada dingin."Kenapa? Tidak suka?" jawab Dinara dengan nada yang sama dinginnya."Biasanya kamu memakai seragam office girl. Kenapa sekarang berbeda?" tanya Reno, suaranya terdengar sedikit tegang."Aku sudah diangkat menjadi staf pemasaran," jawab Dinara dengan santai, "Bukan office girl lagi."Reno terdiam, matanya menatap Dinara dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia merasa iri dengan Dinara. Dia tidak menyukai perubahan yang terjadi p
Dinara melangkah memasuki kantor dengan langkah percaya diri. Seragam kerjanya yang rapi dan wajahnya yang segar menunjukkan tekadnya untuk memulai hari baru dengan semangat. Namun, ketika memasuki kantor, Gerald, atasannya yang terkenal dengan aura dingin dan arogan, sudah menunggunya di depan pintu."Dinara, ayo ikuti aku," kata Gerald dengan nada datar.Dinara pun mengikuti Gerald menuju ruangan yang lebih besar dan ramai. Gerald menuntunnya ke depan sekelompok orang yang sedang berbincang."Ini Dinara, admin baru di divisi pemasaran," kata Gerald dengan nada dingin, tanpa menunjukkan sedikitpun senyum.Tatapan semua orang di ruangan itu langsung tertuju pada Dinara. Dinara merasa sedikit tak nyaman dengan tatapan mereka yang terkesan menilai."Selamat datang, Dinara," kata salah satu staf pemasaran, tetapi suaranya terdengar sedikit sinis.Dinara mencoba menunjukkan senyum terbaiknya, tetapi senyum itu terasa k
Dinara melangkah keluar dari ruangan, matanya mencari sosok Nada di antara kerumunan karyawan yang hilir mudik. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat Nada sedang berbincang dengan seorang cleaning service di dekat mesin kopi."Din!" panggil Nada, melambaikan tangannya. Dinara menghampiri Nada, raut wajahnya sedikit muram."Din, kenapa muka kamu kusut gitu?" tanya Nada, mengerutkan kening. "Bukannya seharusnya senang kerja jadi admin pemasaran?"Dinara menghela napas, duduk di kursi di dekat Nada. "Gak tau, Nad. Semua orang di divisi pemasaran kayak ngeliatin aku dengan tatapan sinis gitu. Seolah-olah aku ini musuh mereka."Nada mengelus punggung Dinara dengan lembut. "Sabar, Din. Mungkin mereka cuma kaget aja ada muka baru di tim. Kamu kan baru masuk hari ini.""Tapi, Nad, gak ada satupun yang mau ngajak aku makan siang. Aku makan sendirian di kantin. Rasanya sepi banget." Dinara menunduk, matanya berkaca-kaca.Nada menggenggam tangan Dinara erat. "Udahlah, Din.
"Dinara ... keluar kamu!" teriak Bella, menggedor-gedor pintu kamar Dinara dengan keras. Di tangannya memegang kantong plastik besar berisi snack yang baru ia beli dari warung, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Reno yang tengah bersantai di ruang tamu, membaca koran sambil menyeruput teh, mengernyit heran. "Kenapa sih, Bella? Ribut-ribut aja," tanyanya, sedikit jengkel.Bella menghembuskan napas kasar, matanya melotot tajam. "Dinara baru pulang, Mas. Diantar mobil mewah!"Reno mengerutkan kening. "Mobil mewah? Dari mana kamu tahu?""Aku lihat sendiri, Mas, waktu mau pulang dari warung. Dia turun dari mobil sport warna merah, Mas! Yang harganya pasti mahal banget!" Bella menggerutu, tangannya mengepal erat.Reno menghela napas. "Kamu jangan ngawur, Bella. Mungkin itu mobil temannya Dinara.""Teman? Teman macam apa yang mau nganterin Dinara pulang? Jangan-jangan ...." Bella menunjuk ke arah kamar Dinara dengan jari telunjuknya, matanya berbinar-binar penuh kecurigaan. "Jang
Dinara keluar dari kamar mandi, tubuhnya segar setelah mandi. Dia langsung berganti pakaian, lalu mengambil tasnya dan beranjak menuju pintu. Dia menuju ke rumah sahabatnya untuk menjemput Azka."Azka, sayang. Mama jemput ya," ucap Dinara sambil tersenyum, matanya berbinar menatap foto Azka yang terpajang di meja rias.Dia mencium foto Azka dengan lembut, lalu keluar dari rumah. Dia berjalan menuju rumah Nada, sahabatnya yang sudah seperti saudara baginya.Dinara sudah menitipkan Azka di rumah Nada selama beberapa hari terakhir. Dinara harus bekerja, dia terpaksa menitipkan Azka di rumah Nada.Tidak mungkin ditinggal di rumah mertuanya, takut Bella menyakiti putranya nanti. Mengingat kemarin Bella mengatakan tidak akan bisa menerima Azka."Nad ... aku datang," sapa Dinara, sambil mengetuk pintu rumah Nada."Eh, langsung masuk saja," jawab Nada, membukakan pintu. "Azka sudah nungguin kamu, tuh. Katanya kangen.''"Azka, sayang. Mama udah datang," ucap Dinara, sambil mengulurkan tang
Keesokan paginya.Yuyun, mertua Dinara, masuk ke rumah dengan langkah lebar. Semalam dia menginap di rumah saudaranya. Langkahnya terhenti mendadak di ambang pintu saat melihat Azka, cucu kesayangannya.Bibirnya tersenyum lebar melihat Azka sudah pulang, dia langsung menghampiri anak laki-laki itu untuk meluapkan kerinduan."Azka, Sayang ... Nenek pulang! Nenek bawa oleh-oleh, lho!" teriak Yuyun, matanya terus tertuju pada Azka.Azka yang sedang bermain mobil-mobilan di ruang tamu langsung berlari ke arah neneknya, "Nenek! Azka kangen!"Yuyun langsung memeluk Azka erat, menciumnya dengan gemas. "Nenek juga kangen Azka, sayang. Nenek bawa makanan enak buat Azka, nih!" Yuyun menunjukkan kantong plastik berisi makanan yang dia bawa. Tadi dia mau makan sendiri, tetapi kini langsung memberikan kepada Azka karena semua yang dia beli memang favorit Azka. Azka langsung berbinar-binar, "Wah, apa itu, Nek?"Yuyun mengeluarkan makanan dari dalam kantong plastik. "Ini ayam goreng kesuka
"Nanti siang, kita meeting di hotel," kata Gerald setelah Dinara baru saja masuk ke ruangannya, suaranya terdengar sangat datar. "Aku butuh admin pemasaran, dan kamu yang akan dipilih." Dinara tertegun. "Meeting di hotel?," batinnya, merasa tak nyaman. "Kenapa di hotel, Pak?" tanyanya lagi, suaranya sedikit gugup. "Itu urusan aku," jawab Gerald, suaranya dingin dan angkuh. "Kamu cukup datang saja." Dinara mengangguk, merasa tak enak. "Baik, Pak," jawabnya, sambil berusaha tersenyum. Gerald kembali fokus pada pekerjaannya. Dinara pun beranjak dari kursi, kemudian keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. "Semoga semuanya baik-baik saja," gumamnya, sambil berjalan kembali ke ruangan divisi pemasaran. Namun, di balik rasa lega, Dinara masih merasa tertekan. Dia merasa seperti sedang diawasi, takut melakukan kesalahan. "Kapan, sih, aku bisa tenang?" batinnya, sambil menghela napas. Dinara melangkah lebar ke ruangannya, berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, tatapan
Kamar itu luas dan mewah, dengan pemandangan kota yang indah dari jendela besar. Namun, Dinara tak bisa menikmati keindahan itu. Pikirannya dipenuhi rasa takut dan ketidakpastian.Gerald langsung duduk di sofa, wajahnya tetap datar dan tenang. "Duduk, Dinara," katanya, sambil menunjuk sofa di hadapannya.Dinara pun duduk, sambil menautkan kedua tangannya di atas paha. Dia merasa gugup, tak tahu apa yang akan terjadi."Dinara," kata Gerald, suaranya terdengar lembut, berbeda dari biasanya. "Aku ingin menawarkan sesuatu padamu."Dinara terdiam, merasa tak percaya. "Apa, Pak?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar."Jadilah kekasihku," kata Gerald, sambil menatap Dinara dengan tatapan tajam.Dinara terkesiap, merasa tak percaya. "Kekasih?" batinnya, merasa kaget. "Apa, Pak?" tanya Dinara lagi, suaranya terdengar gugup."Jadilah kekasihku," kata Gerald lagi, suaranya tegas. "Aku akan memberimu apa pun yang kamu inginkan."Dinara terdiam, merasa bingung.
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb
Gerald menatap Dinara yang terus saja mengamuk di ranjang rumah sakit. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara semakin meronta, tubuhnya yang lemah tak sanggup untuk benar-benar melawan, tapi semangatnya yang terluka membuat ia terus memberontak. "Dinara, tolong tenang. Aku cuma mau membantu," kata Gerald dengan nada setenang mungkin, meski di dalam dirinya, ia tak bisa menahan rasa frustasi. "Kamu butuh istirahat, kamu terlalu lemah untuk berbuat seperti ini." Dinara menatap Gerald dengan mata yang penuh kebencian. "Anda pikir saya perlu bantuan dari Anda?!" teriaknya, suaranya pecah. "Anda yang buat saya jadi begini! Anda pikir saya mau istirahat setelah semua yang Anda lakukan?!" Gerald menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia tahu Dinara marah, tapi ia tak menyangka kemarahan itu begitu dalam. Setiap kali ia mencoba mendekat, Dinara hanya semakin berteriak. Akhirnya, Gerald menoleh pada dokter yang baru saja masuk ke ruangan. "Dokter, tolong berikan
Di tempat lain, suasana di rumah sakit terasa tegang. Dinara baru saja membuka matanya, berusaha bangkit dari tempat tidur, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia memaksa suster agar mengizinkannya pulang, merasa yakin bahwa ia sudah cukup sehat. Namun, di balik keyakinannya, ada keinginan kuat untuk menjauh secepat mungkin dari tempat ini dan dari Gerald. Gerald, yang berdiri tak jauh dari ranjang Dinara, memandang dengan raut wajah penuh amarah. "Dinara! Apa yang kamu pikirkan? Kamu baru sadar dari pingsan, dan sekarang kamu sudah mau pulang? Kamu nggak serius, kan?" suaranya meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. Dinara menghindari tatapan tajam Gerald, memalingkan wajahnya, seolah tak ingin terlibat lebih jauh dalam percakapan. Setiap kali Gerald berbicara, bayangan tentang kejadian semalam seolah kembali menghantam pikirannya. Tangan Gerald yang menyentuh tubuhnya, perasaan terjebak, ketidakberdayaannya. Semua itu terasa terlalu jelas dalam benaknya. "Pak Gerald, sa
Bella terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia menarik napas panjang, mencoba memahami situasi di sekelilingnya. Saat pandangannya mulai jelas, Bella mendapati tubuhnya terbalut selimut tanpa sehelai pakaian pun. Jantungnya langsung berdetak kencang."Apa yang terjadi …?" pikirnya, panik mulai merambat. Ia memandangi tubuhnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi otaknya memaksa untuk memahami. Ia menoleh ke samping, dan pemandangan yang dilihatnya membuatnya semakin terkejut. Arga sedang terlelap di sebelahnya, napasnya tenang dan teratur.Bella langsung terhenyak. "Arga ? Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia di sampingku … d-dan kenapa aku ...?" Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikirannya dalam sekejap, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Ia merasa cemas, tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa.Dengan tergesa, Bella bangkit dari tempat tidur. Gerakannya cepat dan
Bella berdiri di depan gang, tempat biasa ia menunggu mobil Arga. Udara siang ini sedikit dingin lantaran mendung, tetapi Bella tak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh kekesalan terhadap Reno, dan ia berharap pertemuan dengan Arga bisa sedikit meredakan emosinya. Ia mengenakan dress seksi yang panjangnya jauh di atas lutut, sengaja dipilih untuk menarik perhatian, meski dibalut cardigan tipis untuk menutupi lengannya. Angin berembus lembut, membuat ujung dress-nya sedikit bergoyang, tetapi Bella tak terusik.Tak lama kemudian, mobil Arga berhenti tepat di depannya. Bella langsung tersenyum, senyum hangat yang mungkin hanya ditujukan pada Arga. Dengan cepat, ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutupnya pelan.“Hai, Ga,” sapanya lembut, suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya ia rasakan.Arga menoleh sejenak, menatap Bella dari atas ke bawah, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Mata Arga tertuju pada dress Bella yang tampak begitu terbuka, terutama di bagian pah